POV Alya
Sampai di rumah, aku langsung mencari keberadaan Mama.
“Mama mana, Bi?” tanyaku pada Bi Nani. Asisten rumah tangga kami.
“Ada di halaman belakang, Non,” jawabnya.
Aku segera jalan ke belakang. Masih lagi di depan pintu, aku melihat Mama yang duduk melamun di gazebo yang ada di halaman belakang. Segera kuayunkan langkah mendekati Mama.
“Ma.” Aku menyapanya pelan, agar Mama tidak terkejut. Mama hanya tersenyum, terlihat hambar.
“Mama nggak papa, kan?” tanyaku untuk mengawali perbincangan kami.
“Nggak. Kamu kenapa cepat pulang. Ini hari pertama kamu kerja di kantor, jangan sesuka hati mentang-mentanh itu kantor Papa,” ucap Mama menasehatiku.
Ah, sepertinya Mama sedang ingin menggiring pembicaraan kami ke arah yang lain.
“Tadi Alya lihat Mama sama Papa di rumah perempuan itu,” kataku. Mama melihatku.
“Perempuan mana maksud kamu?”
“Laras.”
Mama menghela nafas, lalu memandang ke arah yang berbeda. Tak ada yang bisa dilihat lebih jauh di halaman belakang rumah kami ini, selain tanaman-tanaman bunga yang Mama tanam sendiri.
“Alya juga dengar, apa yang kalian bicarakan.”
Raut wajah Mama tampak tegang ketika aku bilang begitu. “Apa yang kamu dengar?”
“Nggak banyak. Yang Alya tau, kalau perempuan itu dulunya pernah bekerja di rumah kita,” jawabku. Entah kenapa, topik tentang perempuan itu cukup menarik hatiku. Seperti ada sesuatu yang memang harus aku ketahui tentang dia. “Ma, sebenarnya siapa dia?”
Mama bukannya menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Beliau malah bangkit dan jalan meninggalkanku.
“Ma.” Aku memanggilnya dan membuat Mama berhenti melangkah, hanya saja tetap membelakangiku.
“Siapa dia sebenarnya? Kenapa Mama terlihat tak suka dia datang ke kota ini? Apa dia pernah berselingkuh sama Papa?” Aku mencecar Mama dengan banyak pertanyaan.
Mama bukannya menjawab, tetapi terus jalan. Akhirnya aku menyusul Mama dengan langkah lebar. Entah kenapa, aku merasa harus tau apa yang terjadi dulu, antara Mama, Papa dan wanita bernama Laras itu.
“Mama.” Aku menahan tangan Mama, memaksanya untuk melihat ke arahku. “Alya ingin tau siapa dia.”
Mama menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku bisa merasakan ada beban besar yang sedang ia tahan. Tapi kenapa? Apa yang membuatnya begitu sulit untuk sekadar menjawab pertanyaanku?
"Alya, tolong jangan tanya tentang itu lagi," katanya akhirnya, suaranya pelan tapi sangat tegas.
Aku menggeleng. "Kenapa? Karena ini sesuatu yang Mama dan Papa sembunyikan dari Alya?”
Mama menghela napas panjang. Ia menatapku lama, lalu menunduk. Tapi akhirnya, ia hanya berkata, "Percayalah, lebih baik kalau kamu tidak tahu."
Darahku berdesir. Jawaban itu justru membuatku semakin penasaran.
“Ma, apa ini ada hubungannya sama Alya?” selidikku.
Mama tak menjawab, tetapi malah pergi meninggalkan aku. Aku melihat Mama. Sepertinya percuma bicara sama Mama. Berarti aku harus bicara sama Papa. Kalau bisa keduanya.
Kulihat jam tanganku, sudah mulai sore. Percuma juga aku balik ke kantor. Mungkin aku lebih baik mandi, dan menunggu Papa pulang. Pokoknya, nanti malam aku harus tahu, siapa sebenarnya perempuan itu. Entahlah, sejak melihat perempuan itu, aku merasa ada sesuatu yang mengikat di antara kami.
~~~~~~~
Sore harinya.
Aku mendengar suara mobil Papa. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku. Aku akan tunggu sampai Papa duduk tenang. Biasanya, selesai mandi, Papa suka duduk di halaman belakang atau nonton berita sore bersama Mama.
Sambil menunggu Papa, aku memantau sosial mediaku. Tetapi, pikiranku tetap berfokus pada perempuan itu. Aku berharap, Papa akan mau memberikan jawaban, agar aku tidak penasaran lagi.
Setelah menunggu lebih kurang satu jam, aku keluar dari kamar. Aku lihat Papa duduk sendirian di ruang keluarga. Beliau duduk di atas karpet, sambil menonton berita sore, dengan bersandar di sofa. Sudah ada cemilan dan teh panas yang menemani. Tetapi, Mama tidak terlihat menemani. Padahal, biasanya mereka selalu bersama, meski Papa hanya fokus dengan televisi. Ya, setidaknya mereka menciptakan suasana yang harmonis, menurutku.
“Mama mana, Pa?” Aku memulai dengan basa basi.
“Di kamar,” jawab Papa singkat. Aku diam. Mindaku sedang mencari kata-kata apalagi yang tepat untuk memulai bertanya tentang perempuan bernama Laras itu.
“Pa, tadi … Alya sudah bicara sama Mama,” kataku. Sumpah, rasanya kaku sekali. Jujur aja, aku masih kecewa sama Papa. Tapi kalau aku nggak bicara, aku nggak akan pernah tau, siapa perempuan itu.
“Bicara soal apa?” tanya Papa, tetapi matanya hanya fokus pada televisi.
“Tentang Laras.” Langsung saja aku menyebutkan nama perempuan itu, sekalian ingin tahu reaksi Papa.
Kan, Papa langsung melihat ke arahku.
“Siapa sebenarnya dia, Pa? Kenapa Mama juga kenal sama dia dan bisa memberi peringatan sama dia?” cecarku langsung. Rasanya sudah tak sabar. Mungkin ya, caraku ini terkesan bar-bar. Tapi tak ada cara lain. Perempuan itu tak mau bicara, Mama juga. Hanya Papa yang bisa diajak bicara sepertinya.
Papa malah bangkit, dan meninggalkan aku. Aku hanya bisa melihat Papa yang jalan masuk ke kamar. Huft, sepertinya tak ada yang mau bicara.
Oke. Aku akan cari tahu. Tak ada yang bisa disembunyikan dariku. Aku pasti akan tau, siapa sebenarnya wanita bernama Laras itu. Sepertinya, wanita itu memiliki peran yang cukup besar buat Mama dan Papa.
“Bi!” Aku memanggil Bi Nani yang kebetulan lewat.
“Iya, Non.” Bi Nani menghampiri.
“Bibi kenal nggak, orang yang dulu pernah kerja sama Mama, namanya Laras?” tanyaku. Namanya juga usaha. Siapa tau aja Bi Nani kenal sama perempuan itu.
Bi Nani menggeleng. “Nggak, Non.”
Aku hanya bisa menghela nafas kecewa. “Ya udah Bi, nggak Papa. Makasih ya.”
~~~~~
“Jun, apa kita tak bisa memulai lagi?” tanya Cindy. Alis Arjuna menaut, begitu juga Axel yang menguping. Setahu mereka, Cindy cewek yang matre, tapi kenapa sekarang minta balikan sama Arjuna yang jelas sudah jatuh miskin. “Aku tahu, kamu pasti nggak yakin kan, aku mau balik sama kamu?” tanya Cindy yang seperti mengerti isi hati Arjuna. Dari sudut ruangan, Axel yang sedang pura-pura main HP langsung pasang telinga. Matanya melirik ke arah Cindy, lalu ke Arjuna. Dalam hati, Axel mendengus. Wah, mulai lagi nih drama.“Cin, saat ini aku sedang berusaha bisa memperbaiki hubunganku sama Alya. Jadi aku minta sama kamu, tolong jangan ganggu aku lagi. Aku juga udah nggak punya apa-apa. Kamu akan hidup susah kalau sama aku. Lebih baik kamu pulang sekarang. Kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku,” kata Arjuna dengan tegas. Seperti tak memberi kesempatan pada Cindy untuk membujuknya. Cindy sampai terperanjat, begitu juga Axel. Wanita itu akhirnya berdiri. Dengan wajah memerah karena ma
Pagi yang berkabut di pinggiran kota.Arjuna berdiri di depan kontrakan kecil dengan termos besar di pangkuannya. Di sebelahnya, sebuah gerobak dorong sederhana dari papan kayu bekas yang ia cat sendiri bertuliskan, KOPI ABANG ARJUNA.Axel yang ikut membantunya menata gelas-gelas plastik di rak kecil sambil berseru, “Jun, kalau kita sukses, lo ganti nama jadi Arjuna Brew deh!”Arjuna tersenyum kecil. “Gue nggak mikir sejauh itu, Lex. Yang penting, hari ini bisa makan, besok bisa bertahan.”Dengan dorongan dari Axel, Arjuna mendorong gerobak kopinya ke arah terminal kecil. Tempat orang lalu-lalang, dan semoga ... tempat rezeki mereka.Axel bisa saja kembali pada kedua orang tuanya, tetapi dia lebih memilih menemani sepupunya di masa terpuruk. Apalagi kedua orang tuanya juga mengalami guncangan ekonomi yang sama. Karena selama ini, hidup mereka memang bergantung dari perusahaan.~~~~~Di dekat terminal pagi itu.Suara klakson angkot bersahut-sahutan, dan para sopir terlihat menggeliat d
Tak lama setelah Arjuna keluar dari ruang rawat, Reza datang membawa makanan untuk Alya. Saat melihat Arjuna masih berdiri di depan pintu, ia langsung naik pitam.“Ngapain kamu di sini?”“Aku cuma mau lihat anakku.”“Anak? Kamu pikir setelah semua yang kamu lakuin, kamu pantas disebut Ayah?”Arjuna menahan diri. Tapi Reza tak tahan, tin ju melayang ke wajah Arjuna.Alya yang mendengar keributan langsung keluar.“Bang Reza! Jangan!”Reza masih menghardik Arjuna. “Kamu tuh bukan laki-laki. Menikahi Alya karena ada maksud untuk membuat perusahaanmu bangkit. Dasar, penipu!”Alya berusaha melerai, tapi wajah Arjuna sudah berda rah. “Aku terima. Mungkin ini hukuman yang pantas buat aku,” ucap Arjuna pelan.Alya berdiri di antara keduanya, napasnya memburu karena panik dan marah. Ia menatap Reza dengan sorot kecewa.“Bang Reza, cukup! Ini rumah sakit, jangan bikin keributan!” katanya tegas.Reza mendengus, masih mengepalkan tangan. Arjuna berdiri, mengusap da rah dari sudut bibirnya. Ia men
Arjuna datang ke rumah sakit sendirian. Dia sudah tau kalau Alya hari ini melahirkan. “Sus, ruangan bersalin dimana?” tanya Arjuna pada perawat di ruang receptionist. “Bapak lurus aja, belok kanan, di situ ruangan bersalinnya, Pak,” kata perawat tersebut.“Makasih, Sus,” ucap Arjuna. Lelaki itu melangkah dengan cepat, meski jantungnya terus berdebar. Khawatir kalau Alya justru akan menolak kehadiran dirinya. Meski mereka sudah berpisah, tetapi anak yang dilahirkan Alya, tetaplah anaknya. Langkah kakinya seketika terhenti ketika melihat Reza, dan Gatot yang duduk di depan ruang bersalin. Hatinya ragu, apakah dia meneruskan niatnya atau tidak. “Aku mau menemui anakku,” katanya pada diri sendiri. Merasa yakin bisa menghadapi Gatot fan Reza, Arjuna kembali melangkah setelah menarik nafas dalam. Gatot yang melihat kedatangan Arjuna langsung berdiri, memasang wajah serius. Reza pun ikut berdiri, menatap Arjuna tanpa senyum.“Kamu mau apa kesini?” tanya Reza dingin.“Aku cuma mau lihat
Beberapa minggu kemudian. Gedung tinggi Vantara Group tampak megah seperti biasa. Nadine baru saja masuk ruangannya ketika sekretaris pribadinya datang dengan wajah panik.“Bu Nadine, kita dapat somasi. Dari firma hukum yang mewakili Alya dan Angkasa Group.”“Somasi?” Nadine mengerutkan kening. Ia membuka dokumen yang dibawa sekretarisnya. Matanya melebar membaca isi surat itu.Somasi ini menyatakan bahwa Vantara Group, atas perintah langsung dari Nadine Ardianto, diduga terlibat dalam tindakan sabotase, manipulasi data keuangan, pelanggaran kerahasiaan perusahaan, dan pencucian uang melalui PT Saka Muda, dengan bukti rekaman digital, laporan audit independen, serta pengakuan dari salah satu mantan komisaris PT Saka Muda yang kini bekerja sama dengan pihak berwenang.Nadine melempar dokumen itu ke meja.“Ini perang,” gumamnya dingin.Di sisi lain, Alya berdiri di podium kecil dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan di salah satu hotel besar.Wartawan, investor, pengamat bis
Alya menatap layar laptopnya dengan dada sesak. Tatapannya terpaku pada sosok Dimas Gunawan, pria yang selama ini dikenal sebagai pilar keuangan perusahaan. Lelaki dengan sikap kalem, tutur kata halus, dan penuh wibawa. Tak ada tanda-tanda kalau laki-laki itu akan berkhianat. Rasanya Alya sampai tak tahu harus percaya pada siapa. Dia sangat kecewa. Dikhianati seseorang yang begitu ia percaya.Ia segera meraih ponselnya dan mengetik cepat pesan untuk Kayra.[Siapkan ruangan rapat rahasia. Hanya kita berdua, pengacara, dan satu orang staf IT. Aku butuh rekaman CCTV lengkap dari tiga hari terakhir. Dan mulai sekarang, pantau semua aktivitas Dimas Gunawan. Jangan sampai dia tahu]~~~~~Kayra, dua staf IT pilihan, dan pengacara perusahaan duduk di dalam ruangan bersama dengan bos mereka, Alya. Di layar besar, mereka memutar ulang beberapa rekaman dari berbagai sudut gedung.“Ini dia,” ujar salah satu staf IT sambil memperbesar tampilan video. “Ini rekaman dari dua hari sebelum kebakaran.”