Satu detik
Dua detik
Tatapan tajam dari iris mata sehitam jelaga milik Ibrahim berhasil membungkam mulut Alayya. Wanita cantik berhidung mancung itu pun sampai tidak bisa berkedip karena terpesona oleh ketampanan yang dimiliki pria di hadapannya ini.Jantungnya pun ikut berdentam-dentam seakan tahu siapa yang sedang ada di dekatnya. Refleks tangan kanan Alayya menyentuh dadanya sendiri. Dirinya tidak mengerti kenapa bisa merasa deg-degan seperti ini.
“Kenapa diam? Apa jantungmu berbisik memberi tahu siapa saya?” tebak Ibrahim sambil tersenyum sinis kala melihat Alayya meraba dadanya sendiri.
Alayya tidak terima, dengan kedua tangannya dia dorong tubuh Ibrahim menjauh. “Jangan asal bicara Anda, Tuan. Saya tidak mengenal Anda apalagi almarhum istri Anda. Lebih baik Anda pergi dari sini dan biarkan saya melanjutkan pekerjaan saya.”
Wanita itu kembali membuang muka, sekuat tenaga dia mencoba mengingkari apa yang sudah dirasakan pada jantungnya sendiri.
“Alayya Farhana Pramudhita, 24 tahun. Nama samaran Ayya Cantika, berasal dari Surabaya. Itu kamu, bukan?” Alayya sukses kembali terbelalak dengan ucapan Ibrahim.
“Bagaimana Anda bisa tahu nama asli saya? Sebenarnya siapa Anda?” Bukan hanya Alayya. Hardiawan yang masih di cekal oleh ajudan Ibrahim pun jadi ikut penasaran kenapa pria konglomerat itu bisa mengenal wanita malam seperti Alayya.
Ibrahim tersenyum miring, lalu berkata, “Karena saya adalah suami dari pemilik jantung yang ada di dalam tubuhmu.”
Refleks Alayya kembali menyentuh dadanya. Degub jantungnya semakin tidak beraturan saat Ibrahim mengatakan siapa dirinya. Tidak ingin percaya, tetapi ada rasa aneh yang perlahan merasukinya. “Perasaan apa ini?” gumam Alayya dalam hati.
“Ini tidak mungkin, Tuan. Saya tidak mengerti apa yang Anda ucapkan,” kilah Alayya sekali lagi. Dia benar-benar tidak ingin mempercayai ucapan lelaki yang baru saja dilihatnya.
Ibrahim hampir kehilangan kesabaran sekarang. Dia kembali melangkahkan kakinya mendekati ranjang dengan satu tangan ada di dalam kantong celana bahannya.
“Satu tahun yang lalu, kamu melakukan transplantasi jantung di salah satu rumah sakit di kota ini, bukan? Khairunissa Azalia Wahyudi adalah pendonor itu dan dia adalah istri saya,” terang Ibrahim tanpa mengalihkan sedikit pun matanya dari iris mata Alayya.
“I-ini nggak mungkin,” ucap Alayya terbata.
“Selama satu tahun ini saya berusaha keras mencari siapa saja orang yang menerima tiga organ tubuh yang didonorkan oleh istri saya. Untuk mata dan ginjal, sejak lama saya sudah mengetahui pemiliknya barunya, tapi untuk jantungnya saya harus susah payah menemukanmu karena kamu sering berganti nama dan berpindah tempat.” Ibrahim menjeda kalimatnya hanya untuk melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Alayya. Wanita itu tentu saja hanya bisa terpaku mendengar penjelasannya. Tanpa ingin berlama-lama, Ibrahim pun kembali melanjutkan bicaranya. “Saya nggak nyangka sama sekali kalau jantung istri saya ada dalam tubuh seorang wanita malam sepertimu. Itu kenapa saya ingin membawamu bersama saya karena saya tidak ingin jantung dari wanita yang saya cintai harus rusak oleh kebiasaan burukmu yang belum juga hilang. Sekarang kamu udah tahu alasan saya menginginkanmu, bukan? Pakailah pakaianmu dan ikut saya pulang.”
Ibrahim pikir semua penjelasannya akan dengan mudah membuat Alayya menurutinya, tetapi dia salah saat Alayya justru berucap, “Bagaimana kalau saya tetap nggak mau ikut denganmu, Tuan?”
Jujur saja, mendengar pertanyaannya itu, Ibrahim ingin sekali menarik wanita itu dari atas ranjang dan memaksanya pergi, tetapi pria tampan berhidung mancung itu bukan orang yang bisa kasar pada perempuan. Maka satu kalimat yang dia ucapkan kali ini, dia yakin pasti akan mampu meruntuhkan kekeraskepalaan Alayya. “Ikut saya pulang dan tinggalkan pekerjaanmu ini atau kembalikan jantung istri saya sekarang.”
Detik itu juga jantung yang sejak tadi berdetak tidak karuan mendadak seperti kehilangan kemampuannya berdenyut. Ancaman Ibrahim tidak bisa dia abaikan karena laki-laki itu mengatakannya dengan wajah yang serius dan tidak terbantahkan.
“Baik. Anda menang kali ini, Tuan. Saya akan ikut Anda,” ujar Alayya pada akhirnya yang mana membuat Ibrahim tersenyum lega.
Wanita itu pun segera beringsut dari ranjang besarnya. Dengan tubuh tetap dibalut selimut, Alayya menuju toilet kamar mewah itu untuk memakai kembali pakaiannya.
Sementara menunggu Alayya selesai berpakaian, Ibrahim kembali menghadapi Hardiawan. Dia meminta ajudannya melepaskan pria paruh baya itu untuk membiarkannya pergi dari kamar itu.
Hardiawan pun tidak berniat melawan atau pun membantah. Dia masih ingin hidup dan alasan Ibrahim memaksa mengambil alih wanita malam bayarannya pun sangat jelas.
“Ini uang yang udah Anda berikan pada Ayya. Saya menggantinya tiga kali lipat,” ucap Ibrahim sesaat sebelum Hardiawan benar-benar meninggalkan kamar itu. “Kalau kurang sebutkan saja berapa yang Anda mau,” lanjutnya sambil mengulurkan satu lembar cek pada pria yang lebih tua darinya itu. Hardiawan tersenyum sinis dan mendorong pelan tangan Ibrahim yang terulur.
“Saya nggak semiskin itu sampai anda harus mengganti uang saya, Tuan. Lagi pula saya tahu alasan kuat Anda menginginkan Ayya. Lupakan aja. Saya permisi,” tegas pria itu yang kemudian beranjak dari hadapan Ibrahim.
***
Rumah mewah bergaya Eropa klasik dengan warna dindingnya yang dominan putih di depan Alayya adalah milik Ibrahim. Rumah inilah yang akan jadi tempat tinggal barunya setelah Ibrahim berhasil membujuknya untuk ikut dengan pria tinggi semampai itu.
“Wah! Saya nggak salah lihat? Rumah Anda besar sekali Tuan?” pekik Alayya setelah turun dari mobil Mercedes Benz hitam.
“Ayo masuk,” ucap Ibrahim tanpa berniat menanggapi pujian Alayya pada rumahnya.
Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal, tetapi langkah kakinya tetap saja mengikuti pria itu berjalan.
Tanpa memencet bel, dua daun pintu bercat hitam itu terbuka. Ada seorang wanita paruh baya dengan pakaian seragam ala kantoran menyambut keduanya.
“Assalamu'alaikum,” sapa Ibrahim sopan.
“Wa'alaikumsalam, Tuan,” sahut wanita itu sembari bergerak ke sisi kanan untuk memberi jalan pada Tuan rumahnya.
Alayya yang mengikuti Ibrahim masuk tanpa bicara kembali dibuat terperangah dengan pemandangan yang tertangkap mata indahnya saat sudah berada di dalam rumah. Semua perabotan mewah dan dia yakin sangat mahal harganya itu benar-benar membuat Alayya tertegun di tempat sampai dia tidak menyadari kehadiran seorang wanita lain yang lebih tua dari wanita yang tadi membukakan pintu utama rumah ini.
“Kamu udah pulang Ibrahim?” tanya wanita itu sembari berjalan mendekat.
“Iya, Tante. Oiya, kenalkan dia Alayya. Mulai hari ini dia akan tinggal bersama kita di sini. Ayya, ini Tante Mustika, dia adik almarhum ayah saya yang sudah merawat saya sejak kecil.” Ibrahim memperkenalkan wanita itu pada Alayya, tetapi karena tidak ada tanggapan, Ibrahim menengok ke belakang punggungnya, ternyata Alayya sedang memunggunginya sambil membawa matanya menyusuri tiap sudut rumah mewah ini.
“Ayya, kamu dengar saya?” sentak Ibrahim yang mana membuat Alayya berjengit kaget.
“Oh, maaf, Tuan. Saya terlalu kagum dengan isi rumah Anda sampai saya tidak mendengar Anda bicara pada saya. Ada apa?”
Ibrahim berdecak lalu meraih tangan Alayya untuk menghadap sang tante.
“Kenalkan ini Tante Mustika. Kamu bisa memanggilnya Tante Tika. Dia juga tinggal di sini bersama saya,”
Alayya tersenyum manis lalu mengulurkan tangan kanannya berniat menyapa wanita paruh baya itu. Namun, Mustika tidak semudah itu menyambut uluran tangannya. Mustika justru memilih memindai Alayya dari ujung kepala hingga ujung kaki, hingga tanpa basa basi, wanita tua itu berkata, “Dari mana kamu bawa wanita murahan seperti dia ke rumah kita, Ibrahim ?”
Bersambung …
#ziya_khan21#tugas_revisi_1#CEO_3_terima_ayyaAlayya mendelik tak terima dengan penilaian Mustika. Benar dia memang wanita malam, tetapi dia bukan perempuan murahan yang bersedia tidur dengan sembarang pria.“Bisa jaga mulut Anda, Nyonya!” sentak Alayya dengan wajah geram.“Ayya, bersikaplah sopan pada Tanteku,” kata Ibrahim berang dengan ucapan Alayya.Alayya berdecak sebal, lalu menatap kesal pada pria rupawan itu. “Aku akan bersikap sopan pada orang yang sopan padaku. Jelas-jelas Tante Anda yang mulai duluan.”“Kamu pikir siapa kamu ini, berani bicara seperti itu di rumahku?” Mustika menyela dengan nada naik satu oktaf. Alayya tertawa sumbang. “Oh ya? rumah Anda? Saya nggak tuli ya, Nyonya. Ini rumah Tuan Ibrahim bukan rumah Anda!” Mustika melotot mendapati perlawanan dari orang yang bahkan tidak dia kenal sama sekali. Wanita paruh baya yang selalu dominan di dalam rumah besar ini pun tidak terima dengan sikap Alayya yang dirasa kurang ajar. “Ibrahim cepat katakan sama Tante si
Kalau saja menemukan gunting di dalam kamarnya, Alayya sudah pasti akan memotong gaun tidur panjang berbahan satin ini. Sayangnya, sudah membongkar semua isi laci yang ada di ruang ber-AC ini, wanita itu tidak juga menemukan benda tajam itu. Bagaimana tidak, Alayya tidak pernah tidur dengan baju sepanjang ini. Baju tidur yang biasa dia pakai hanya sebatas paha atasnya, sering kali hanya mengenakan pakaian dalam saja, tapi sekarang lihatlah dirinya. Baju tidur yang Alayya paham pasti harganya mahal ini melekat di tubuhnya. Tidak ingin memakai, tetapi protes yang dia lontarkan pada Christy juga Ibrahim sama sekali tidak di dengar. Apa tadi yang Ibrahim bilang, “Nggak akan ada baju-baju lama kamu di sini.”“Kenapa?” Alayya jelas terperangah saat itu, padahal dia tahu kalau Ibrahim akan menyuruh orang untuk mengambil baju-bajunya di kos-kosan. “Semua pakaian di lemari itu bukan selera saya.” protesnya lagi. “Saya tahu, tapi mulai sekarang kamu harus pakai itu, meski belum bisa seperti
Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa. “Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. “Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” Perkataan M
Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim. “Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. “Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya be
Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.” “Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. “Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda,
Alayya tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami kejadian seperti ini. Memalukan sekaligus menyedihkan itulah dirinya sekarang ini. Bagaimana tidak. Seusai dirinya makan siang tadi, dia sudah berencana kembali ke kamarnya, tetapi melihat suasana rumah yang sepi apalagi tidak ada Nyonya Lampir (ini panggilan Alayya pada Mustika) jiwa ingin tahu Alayya pun meronta-ronta untuk dipuaskan. Perempuan yang dua bulan lagi berumur 24 tahun ini beranjak dari kursinya di ruang makan, bukan lantai dua tujuannya, dia ingin melihat-lihat isi rumah Ibrahim di lantai satu sembari mencari celah kalau-kalau ada jalan untuknya keluar. “Non, mau ke mana?” Christy bertanya saat Alaya baru saja menginjak pintu keluar menuju kolam renang“Hai, Chris. Aku mau jalan-jalan di luar sebentar. Boleh ya?” tanya Alayya dengan wajah berseri. Tidak ada kecurigaan sedikitpun pada diri Christy terhadap sikap Alayya, maka tanpa ragu wanita paruh baya itu
“Chris, apa Tuan Ibrahim udah pulang?” Alayya bertanya pada Christy yang sedang mengganti perban di lututnya. Sejak pulang marah-marah tadi siang, pria itu belum terlihat lagi olehnya.Sambil menggunting plester, Christy pun menjawab. “Tuan nggak akan makan malam di rumah hari ini, Nona.”“Oh, ya? terus biasanya pulang jam berapa, Chris?” entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawtirkan Ibrahim. “Nggak tentu, Non. Kadang jam sepuluh malam kadang lewat tengah malam.” Christy bangkit dari duduknya dengan kotak P3K ada di tangannya. “Non tenang aja, saya akan bawakan makan malam Anda ke sini. Saya permisi dulu, ya?’Alayya mengangguk saja. Namun, baru dua langkah berjalan, pertanyaan Alayya membuat kakinya berhenti bergerak. “Aku mau lihat foto Nisa, apa boleh, Chris?’Christy menengok. Wajah Alayya terlihat serius sekali menatapnya. “Maaf, Non. bukan saya yang bisa memutuskan hal itu karena jujur saja semu
“Apa Anda bisa menemani saya ngobrol Tuan? Saya belum ngantuk soalnya,” seru Alayya dengan beraninya dari atas balkon padahal dia tahu malam semakin larut dan Ibrahim baru saja kembali.Namun, bukannya marah, pria tampan itu sejenak berpikir lalu tanpa ragu dia pun menjawab, “Tunggu saya di dalam, saya akan segera datang.”Ucapan itu tentu saja membuat Alayya merekahkan senyumnya. Manis sekali, untuk sesaat Ibrahim merasa melihat senyum sang istri di sana. cepat dia menggeleng agar menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, lalu dia pun bergegas masuk ke rumah. Melihat ibrahim tidak lagi berada di teras, Alayya pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Sesuai ucapannya, lima belas menit kemudian ibrahim yang sudah melepas jas meninggalkan kemeja putih yang digulung hingga siku mengetuk pintu kamar Alayya. Pria itu pun masuk setelah si empunya kamar memberinya izin. “Saya pikir A