Share

CEO 7 Pembuat Masalah

   Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.” 

“Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” 

Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”

Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. 

“Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda, kalau Ayya adalah kesayangannya. Anda akan dapat masalah kalau nggak mengembalikan Ayya sekarang.”

“Kamu mengancam saya?” ketus pria yang hari ini memakai jas navy itu. 

“Ish, nggak ya, Tuan. Ini bukan ancaman, tapi peringatan. Jadi tolong kembalikan sahabat saya agar Anda juga aman.”

Ibrahim tersenyum menyeringai. “Terima kasih atas perhatianmu, tapi saya nggak takut dan nggak peduli. Saya ke sini hanya ingin memberitahu kamu soal Ayya dan saya nggak akan izinkan Ayya berteman denganmu jika kamu masih mengajaknya untuk menjajakan tubuhnya.”

“Apa? Jadi maksud Anda, Ayya akan berhenti jadi wanita malam? Bagaimana bisa?” 

“Itu mau saya. Dan ingat ucapan saya tadi, itu bukan ancaman tapi, perintah saya untuk kamu.” Ibrahim mengambil sesuatu dari dalam kantong jasnya dan mengulurkannya pada Ghania. 

“Terima ini, saya rasa uang ini cukup untuk membayar kos-kosan yang Ayya tinggalkan buatmu, kan?” 

Ghania menatap kertas yang ternyata cek dan Ibrahim bergantian. Meski banyak tanya bergelut dalam otak kecilnya itu, Ghania tidak mungkin menolak maksud baik laki-laki tampan itu. 

Benar saja, mata Ghania kembali dibuat terbelalak dengan nominal yang ada di dalam cek itu. Lima puluh juta. 

“Tuan, ini bukan bercanda, kan? Sebanyak ini?” 

“Nggak akan banyak kalau kamu turuti perintah saya tadi, tapi akan jadi puluhan kali lipat ganti rugi yang harus kamu bayar kalau sampai saya tahu kamu udah membawa pengaruh buruk buat Ayya, apa kamu mengerti?” 

Entahlah, Ghania merasa seperti sedang bermimpi saja kalau saat ini di tangannya ada cek dengan uang sebesar itu.  

Belum lagi wanita itu menjawab pertanyaan Ibrahim. Ponsel mahal miliknya pria itu berdering. 

Melihat nama ajudan Alayya yang menelpon, Ibrahim tampak ogah-ogahan. Dia yakin kalau Alayyalah yang menghubunginya, maka sampai dering terakhir dia tidak menjawab panggilan itu. 

Padahal di seberang sana Bembi sedang sangat khawatir dan ketakutan, maka dengan terpaksa dia kirimkan pesan gambar pada sang atasan. 

Saat Ibrahim baru saja akan memasukkan ponsel itu kembali ke kantongnya, terdengar denting notifikasi untuk perpesanan. 

Ibrahim berdecak sebal. Ghania yang masih ada di dekatnya pun dibuat bingung dengan sikap sang pria. 

“Apa ini?” Mata Ibrahim melotot tajam, segera dia geser icon telepon untuk bicara dengan si pengirim. 

“Apa yang terjadi?” tanyanya dingin. Sedetik kemudian rahang pria itu mengeras dan tangan kiri yang tidak memegang ponsel sudah terkepal erat. 

“Hubungi dokter James dan tunggu saya pulang!” titahnya dengan suara yang bisa membuat siapa saja merinding mendengarnya termasuk Ghania. 

“Maaf, Nona. Saya harus pergi,” ujarnya pada Ghania setelah sempat beristighfar dalam hati. 

Ghania yang memang sudah merasa tidak nyaman sejak tadi pun langsung mengerti maksud Ibrahim. 

“Ah, iya. Silakan, Tuan. Dan sekali lagi terima kasih atas cek Anda.” 

Ibrahim tidak menjawab dia justru memanggil supir pribadinya untuk segera membawanya pulang ke rumah. 

Ghania menatap mobil hitam mengkilap itu sampai berbelok ke arah jalan raya. 

“Siapa yang udah bawa kamu, Ya? Kalau bukan konglomerat bagaimana bisa dia kasih aku uang sebanyak ini?” gumam Ghania sembari menghidu bau kertas cek itu dengan tersenyum lebar. 

***

Mobil Mercedes Benz e-class hitam metalik milik Ibrahim sudah memasuki halaman rumahnya diikuti mobil ajudannya di belakang. Tanpa perlu menunggu pintu dibukakan, Ibrahim yang sudah menahan rasa kesal juga marah pada wanita yang tadi pagi dia tinggal di rumah masih dalam keadaan tidur itu pun segera keluar dari mobilnya. 

Langkah kakinya yang panjang dan lebar sudah sangat dipahami oleh para ajudan yang setiap hari mengikutinya itu, maka tidak heran kalau dalam waktu sekejap pria itu sudah berada di lantai dua rumahnya di depan kamar Alayya. 

“Selamat datang, Tuan,” sapa Bembi dan Ishan. 

“Bagaimana dia?” tanya Ibrahim sembari melirik pada pintu bercat putih itu. 

“Dokter James masih di dalam. Silakan Anda masuk, Tuan.” Ishan, ajudan kedua Alayya membukakan pintu kamar wanita itu. 

Ibrahim pun melangkahkan kakinya masuk ke kamar, dia tahu kalau penjaga kamar itu juga mengikuti dirinya. 

“Apa lukanya parah, Dok?” Dokter James Taylor sedikit tersentak karena tidak menyadari kehadiran sang Tuan rumah. 

Dokter James tersenyum tipis. Pria bule itu melirik pada pasiennya yang sedang dibantu duduk oleh suster. 

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Ibrahim. Nona Ayya hanya terkilir saja, luka yang di lutut juga tidak dalam, tapi pasti akan meninggalkan lebam. Saya sudah resepkan obat luka dan lebam untuknya.” Dokter James menjelaskan keadaan Alayya lalu mengangsurkan satu lembar kertas resep pada Ibrahim. Pria itu menerimanya kemudian memerintahkan satu ajudannya untuk menebus obat-obatan itu segera. 

“Kalau begitu kami permisi, Tuan. Lusa saya akan datang lagi untuk memeriksa lukanya.”

Ibrahim mengangguk saja. Lalu sambil menyalami sang dokter, Ibrahim berkata, “Terima kasih atas bantuannya, Dok.”

“Jangan sungkan, Tuan. Itu sudah tugas saya. Selamat siang.”

Ibrahim biarkan dokter pribadi keluarganya dan suster itu keluar dari kamar Alayya begitu pun dengan kedua ajudan yang tadi ada bersama sang Tuan rumah memilih undur diri untuk memberikan waktu pada sang majikan. 

Ibrahim mengalihkan pandangannya dari pintu kepada Alayya yang sejak tadi memang sudah melihatnya. 

“Bagus sekali kelakuan kamu ini, Ayya? Apa kamu nggak takut mati untuk kedua kalinya?” sentak Ibrahim yang sontak membuat mata Alayya melotot. 

Bersambung …

Comments (14)
goodnovel comment avatar
Itta Irawan
nahkan ibrahim sutih ghania jauhi ayya, skrg ayya bikin ulah apalgi tuh
goodnovel comment avatar
Fauzi Annur
ayya jangan berontak donk karna niat ibrahim baik, akan merubah dirimu menjadi lebih baik dan meninggalkan pekerjaan mu yang tidak baik
goodnovel comment avatar
Viiie
bener ternyata Ibrahim yg nyamperin Ghania,,bingung sih Ibrahim emang bermaksud baik sama Ayya tapi kalau segala akses ditutup cuma dirumah dia harus ngapain donk Ayya gadis bar2 dikurung dirumah pasti berbuat nekad mana betah dikurung lama2 tanpa berbuat apa2.. apa maksud dari mati k2 kali y ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status