Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.”
“Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. “Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda, kalau Ayya adalah kesayangannya. Anda akan dapat masalah kalau nggak mengembalikan Ayya sekarang.”“Kamu mengancam saya?” ketus pria yang hari ini memakai jas navy itu. “Ish, nggak ya, Tuan. Ini bukan ancaman, tapi peringatan. Jadi tolong kembalikan sahabat saya agar Anda juga aman.”Ibrahim tersenyum menyeringai. “Terima kasih atas perhatianmu, tapi saya nggak takut dan nggak peduli. Saya ke sini hanya ingin memberitahu kamu soal Ayya dan saya nggak akan izinkan Ayya berteman denganmu jika kamu masih mengajaknya untuk menjajakan tubuhnya.”“Apa? Jadi maksud Anda, Ayya akan berhenti jadi wanita malam? Bagaimana bisa?” “Itu mau saya. Dan ingat ucapan saya tadi, itu bukan ancaman tapi, perintah saya untuk kamu.” Ibrahim mengambil sesuatu dari dalam kantong jasnya dan mengulurkannya pada Ghania. “Terima ini, saya rasa uang ini cukup untuk membayar kos-kosan yang Ayya tinggalkan buatmu, kan?” Ghania menatap kertas yang ternyata cek dan Ibrahim bergantian. Meski banyak tanya bergelut dalam otak kecilnya itu, Ghania tidak mungkin menolak maksud baik laki-laki tampan itu. Benar saja, mata Ghania kembali dibuat terbelalak dengan nominal yang ada di dalam cek itu. Lima puluh juta. “Tuan, ini bukan bercanda, kan? Sebanyak ini?” “Nggak akan banyak kalau kamu turuti perintah saya tadi, tapi akan jadi puluhan kali lipat ganti rugi yang harus kamu bayar kalau sampai saya tahu kamu udah membawa pengaruh buruk buat Ayya, apa kamu mengerti?” Entahlah, Ghania merasa seperti sedang bermimpi saja kalau saat ini di tangannya ada cek dengan uang sebesar itu. Belum lagi wanita itu menjawab pertanyaan Ibrahim. Ponsel mahal miliknya pria itu berdering. Melihat nama ajudan Alayya yang menelpon, Ibrahim tampak ogah-ogahan. Dia yakin kalau Alayyalah yang menghubunginya, maka sampai dering terakhir dia tidak menjawab panggilan itu. Padahal di seberang sana Bembi sedang sangat khawatir dan ketakutan, maka dengan terpaksa dia kirimkan pesan gambar pada sang atasan. Saat Ibrahim baru saja akan memasukkan ponsel itu kembali ke kantongnya, terdengar denting notifikasi untuk perpesanan. Ibrahim berdecak sebal. Ghania yang masih ada di dekatnya pun dibuat bingung dengan sikap sang pria. “Apa ini?” Mata Ibrahim melotot tajam, segera dia geser icon telepon untuk bicara dengan si pengirim. “Apa yang terjadi?” tanyanya dingin. Sedetik kemudian rahang pria itu mengeras dan tangan kiri yang tidak memegang ponsel sudah terkepal erat. “Hubungi dokter James dan tunggu saya pulang!” titahnya dengan suara yang bisa membuat siapa saja merinding mendengarnya termasuk Ghania. “Maaf, Nona. Saya harus pergi,” ujarnya pada Ghania setelah sempat beristighfar dalam hati. Ghania yang memang sudah merasa tidak nyaman sejak tadi pun langsung mengerti maksud Ibrahim. “Ah, iya. Silakan, Tuan. Dan sekali lagi terima kasih atas cek Anda.” Ibrahim tidak menjawab dia justru memanggil supir pribadinya untuk segera membawanya pulang ke rumah. Ghania menatap mobil hitam mengkilap itu sampai berbelok ke arah jalan raya. “Siapa yang udah bawa kamu, Ya? Kalau bukan konglomerat bagaimana bisa dia kasih aku uang sebanyak ini?” gumam Ghania sembari menghidu bau kertas cek itu dengan tersenyum lebar. ***Mobil Mercedes Benz e-class hitam metalik milik Ibrahim sudah memasuki halaman rumahnya diikuti mobil ajudannya di belakang. Tanpa perlu menunggu pintu dibukakan, Ibrahim yang sudah menahan rasa kesal juga marah pada wanita yang tadi pagi dia tinggal di rumah masih dalam keadaan tidur itu pun segera keluar dari mobilnya. Langkah kakinya yang panjang dan lebar sudah sangat dipahami oleh para ajudan yang setiap hari mengikutinya itu, maka tidak heran kalau dalam waktu sekejap pria itu sudah berada di lantai dua rumahnya di depan kamar Alayya. “Selamat datang, Tuan,” sapa Bembi dan Ishan. “Bagaimana dia?” tanya Ibrahim sembari melirik pada pintu bercat putih itu. “Dokter James masih di dalam. Silakan Anda masuk, Tuan.” Ishan, ajudan kedua Alayya membukakan pintu kamar wanita itu. Ibrahim pun melangkahkan kakinya masuk ke kamar, dia tahu kalau penjaga kamar itu juga mengikuti dirinya. “Apa lukanya parah, Dok?” Dokter James Taylor sedikit tersentak karena tidak menyadari kehadiran sang Tuan rumah. Dokter James tersenyum tipis. Pria bule itu melirik pada pasiennya yang sedang dibantu duduk oleh suster. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Ibrahim. Nona Ayya hanya terkilir saja, luka yang di lutut juga tidak dalam, tapi pasti akan meninggalkan lebam. Saya sudah resepkan obat luka dan lebam untuknya.” Dokter James menjelaskan keadaan Alayya lalu mengangsurkan satu lembar kertas resep pada Ibrahim. Pria itu menerimanya kemudian memerintahkan satu ajudannya untuk menebus obat-obatan itu segera. “Kalau begitu kami permisi, Tuan. Lusa saya akan datang lagi untuk memeriksa lukanya.”Ibrahim mengangguk saja. Lalu sambil menyalami sang dokter, Ibrahim berkata, “Terima kasih atas bantuannya, Dok.”“Jangan sungkan, Tuan. Itu sudah tugas saya. Selamat siang.”Ibrahim biarkan dokter pribadi keluarganya dan suster itu keluar dari kamar Alayya begitu pun dengan kedua ajudan yang tadi ada bersama sang Tuan rumah memilih undur diri untuk memberikan waktu pada sang majikan. Ibrahim mengalihkan pandangannya dari pintu kepada Alayya yang sejak tadi memang sudah melihatnya. “Bagus sekali kelakuan kamu ini, Ayya? Apa kamu nggak takut mati untuk kedua kalinya?” sentak Ibrahim yang sontak membuat mata Alayya melotot. Bersambung …"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu