Share

CEO 8 Ketakutan Ibrahim

Penulis: Ziya_Khan21
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-25 17:00:26

Alayya tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami kejadian seperti ini. Memalukan sekaligus menyedihkan itulah dirinya sekarang ini. 

Bagaimana tidak. Seusai dirinya makan siang tadi, dia sudah berencana kembali ke kamarnya, tetapi melihat suasana rumah yang sepi apalagi tidak ada Nyonya Lampir (ini panggilan Alayya pada Mustika) jiwa ingin tahu Alayya pun meronta-ronta untuk dipuaskan. 

Perempuan yang dua bulan lagi berumur 24 tahun ini beranjak dari kursinya di ruang makan, bukan lantai dua tujuannya, dia ingin melihat-lihat isi rumah Ibrahim di lantai satu sembari mencari celah kalau-kalau ada jalan untuknya keluar. 

“Non, mau ke mana?” Christy bertanya saat Alaya baru saja menginjak pintu keluar menuju kolam renang

“Hai, Chris. Aku mau jalan-jalan di luar sebentar. Boleh ya?” tanya Alayya dengan wajah berseri. Tidak ada kecurigaan sedikitpun pada diri Christy terhadap sikap Alayya, maka tanpa ragu wanita paruh baya itu mengangguk silakan non tapi ingat non tidak boleh keluar dari gerbang rumah ini itu pesan dari Tuhan Ibrahim

“Iya. iya. Aku tahu. Tidak perlu kamu ingatkan terus. Ya udah aku pergi dulu.” Sekali lagi Christy mengangguk. Dia pun memperhatikan sampai Alayya keluar dari rumah, barulah dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Di luar rumah, Alayya seperti orang yang sudah lama sekali tidak menghirup udara luar, tingkahnya yang menari dan bernyanyi sepanjang mengitari kolam renang benar-benar menunjukkan sisi kekanak-kanakannya. Dia seakan-akan lupa dengan pakaian panjang yang dikenakan.

Gerak langkah kaki Alayya berhenti seketika saat dilhatnya sebuah tangga yang sedang disandarkan pada dinding pagar rumah besar ini. Alayya yang selalu ingin tahu itu pun berjalan mengendap-endap menuju tangga stainless yang cukup tinggi itu. setelah jaraknya hanya tinggal dua meter saja, Alayya menegok kanan dan kirinya dan dia tidak menemukan seorang pun berkeliaran di halaman samping itu. 

Nekat dan penasaran ada apa dibalik dinding tinggi ini, Alayya naiki satu per satu anak tangga itu. Naas, ketika dirinya sudah sampai di pertengahan tangga seseorang memanggilnya. Wanita itu tidak siap, mungkin karena terlalu cepat memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang datang, kaki Alayya selip dan tanpa satpam juga ajudan penjaga pintu kamarnya duga, wanita bertubuh langsing itu pun jatuh dari tangga. Beruntung lantai yang dia sapa adalah rerumputan hingga dia tidak perlu terluka parah. Namun, cukup untuk membuat tulangnya terasa remuk redam. 

Kepanikan di halaman samping rumah megah Ibrahim pun berakhir di sini, di kamar Alayya sendiri. Saat akhirnya Bembi menghubungi dokter keluarga dan dia bisa dengan cepat datang, barulah semua penghuni rumah bisa tenang, tetapi tidak dengan sang pemilik rumah. 

“Saya cuma jatuh dari tangga kok, Tuan.” Alayya mencoba membela diri dari amukan Ibrahim barusan. Pria itu terlihat sangat marah, matanya bahkan memerah seakan-akan menahan amarah yang sangat besar. 

“Cuma katamu? Iya? Itu karena ketahuan oleh satpam rumah, kalau nggak, mungkin kamu udah terjun dari atas tembok karena ingin kabur dari sini, itu pun kalau kamu bisa hidup-hidup melewatinya. Memangnya kamu nggak lihat ujung dinding itu ada kawat berduri? Dan kawat itu dialiri listrik tegangan tinggi. Kalau tadi kamu sampai menyentuhnya sedikit saja, kamu pasti mati, Ayya!” 

Alayya yang tadinya duduk santai pun terkejut. Dia sampai meluruskan punggungnya. 

“Anda nggak lagi bohongin saya, kan, Tuan? Biar saya nggak berani coba kabur lagi?”

Ibrahim tersenyum menyeringai. Dia pun maju satu langkah lalu mencondongkan tubuhnya agar wajahnya bisa sejajar dengan muka Alayya.

“Aku nggak pernah bercanda kalau soal hidup dan mati Ayya. Ingatlah, jantung kamu ini milik almarhum istriku. Aku belum ingin kehilangan dia lagi, jadi kamu harus tetap hidup agar jantung ini juga terus berdetak.” 

Selesai bicara seperti itu, Ibrahim segera saja berbalik dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Alayya tanpa peduli bagaimana wajah Alayya yang sudah dibuat terperangah kesekian kalinya. 

Tangan kanan Alayya bawa menyentuh dadanya sendiri. Suara pintu tertutup bahkan tidak dia sadari karena dirinya terlalu hanyut dengan perasaan yang tiba-tiba mengusik jiwanya. 

“Kenapa jantung ini selalu berdetak tidak menentu setiap berdekatan dengan Ibrahim. Perasaan apa ini? Aku ingin secepatnya pergi dari rumah ini, nggak mau ketemu dan berurusan dengan pria dingin menyebalkan itu, tapi di lain sisi kenapa ada rasa enggan meninggalkan pria itu. Apa ini perasaan Nisa terhadap suaminya, ya?” gumam Alayya sambil meremas gamisnya di dada. 

***

“Tante ke mana aja?” Ibrahim menanyakan itu pada Mustika yang sedang berbicara dengan Christy saat dirinya baru saja turun dari lantai dua.

“Kamu udah bicara padanya?” 

Ibrahim berdecak. “Aku paling nggak suka ada orang bertanya balik sementara dia belum jawab pertanyaanku, kan, Tante?” ujar Ibrahim dengan nada datar dan tatapan dingin. Rasa takut dan khawatirnya pada Alayya sudah membuatnya hampir gila. 

“Maaf, Ibrahim,” sahut Mustika. “Hari ini Tante ada janji arisan sama teman-teman. Tante juga udah dengar dari Christy barusan apa yang terjadi. Kamu harus lebih tegas padanya agar dia nggak berbuat seperti ini lagi Ibrahim.” 

“Akutahu apa yang harus aku perbuat pada Ayya, Tan. Aku cuma mau bilang,  Tante jangan keluar rumah untuk sementara waktu. Ayya butuh teman biar nggak bosan. Tolong ya, Tante,” pinta Ibrahim yang mana membuat Mustika tidak senang. Dia pun mengangguk meski hatinya ingin membantah perintah keponakannya itu. 

“Baiklah, Tante. Aku harus kembali ke kantor, tolong awasi Ayya soal minum obatnya, ya, Tan. Terima kasih.” 

Kesopanan dalam perintah itu ditanggapi berbeda oleh Mustika. Dia merasa Ibrahim sudah merendahkan dirinya yang juga Nyonya rumah ini. 

“Dasar perempuan nggak tahu diuntung, kamu, Ya! Lihat aja, jangan panggil aku Mustika kalau aku nggak bisa membuatmu pergi dari rumah ini,” geram Mustika sembari mengepalkan kedua tangannya pun tatapannya yang setajam mata pisau. 

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (17)
goodnovel comment avatar
Inon Poenya
cieee ada yg berdetak tapi bukan jam dinding
goodnovel comment avatar
ida Sari
ya wajar lah klu jantung km berdetak gitu dekat sama Ibrahim,kan itu jantung istrinya,, tanpa km usir juga sebenarnya alayya mau banget pergi dr rumah itu mustika tp mau gmn lagi semua ga celah sedikitpun buat alayya kabur
goodnovel comment avatar
Itta Irawan
itu malah yg diharapkan mustika kepergian ayya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 91 Bahagia telah Tiba

    "Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    Bab 90 Akhir dari Mustika

    “Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 89 Rencana Terakhir

    "Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 88 Bersiaplah, Tante

    Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 87 Kepastian

    Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 86 Atur Rencana

    "Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status