“Chris, apa Tuan Ibrahim udah pulang?” Alayya bertanya pada Christy yang sedang mengganti perban di lututnya. Sejak pulang marah-marah tadi siang, pria itu belum terlihat lagi olehnya.
Sambil menggunting plester, Christy pun menjawab. “Tuan nggak akan makan malam di rumah hari ini, Nona.”“Oh, ya? terus biasanya pulang jam berapa, Chris?” entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawtirkan Ibrahim.“Nggak tentu, Non. Kadang jam sepuluh malam kadang lewat tengah malam.” Christy bangkit dari duduknya dengan kotak P3K ada di tangannya. “Non tenang aja, saya akan bawakan makan malam Anda ke sini. Saya permisi dulu, ya?’Alayya mengangguk saja. Namun, baru dua langkah berjalan, pertanyaan Alayya membuat kakinya berhenti bergerak. “Aku mau lihat foto Nisa, apa boleh, Chris?’Christy menengok. Wajah Alayya terlihat serius sekali menatapnya.“Maaf, Non. bukan saya yang bisa memutuskan hal itu karena jujur saja semu“Apa Anda bisa menemani saya ngobrol Tuan? Saya belum ngantuk soalnya,” seru Alayya dengan beraninya dari atas balkon padahal dia tahu malam semakin larut dan Ibrahim baru saja kembali.Namun, bukannya marah, pria tampan itu sejenak berpikir lalu tanpa ragu dia pun menjawab, “Tunggu saya di dalam, saya akan segera datang.”Ucapan itu tentu saja membuat Alayya merekahkan senyumnya. Manis sekali, untuk sesaat Ibrahim merasa melihat senyum sang istri di sana. cepat dia menggeleng agar menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, lalu dia pun bergegas masuk ke rumah. Melihat ibrahim tidak lagi berada di teras, Alayya pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Sesuai ucapannya, lima belas menit kemudian ibrahim yang sudah melepas jas meninggalkan kemeja putih yang digulung hingga siku mengetuk pintu kamar Alayya. Pria itu pun masuk setelah si empunya kamar memberinya izin. “Saya pikir A
Untuk pertama kalinya dalam hidup Alayya, Dia bisa bangun pagi, bahkan lebih pagi dari yang pernah dia lakukan selama ini, tepat saat adzan subuh Ibrahim berhasil membuat wanita muda itu bangun dari tidurnya“Anda benar-benar resek, ya, Tuan! Orang masih enak-enak tidur disuruh bangun,” gerutu Alayya yang sudah duduk di atas ranjangnya. Matanya masih separuh terpejam.“Nanti kamu juga akan terbiasa. Pertama memang seperti itu, sangat berat membuka mata dan nggak nyaman sekali. Makanya harus dibiasakan,” ucap Ibrahim masih dari sisi ranjang. “Dih, males banget! Nggak deh. Mending Tuan aja, ya? Saya baru tidur Tuan. Mata saya berasa lengket. Saya mau tidur lagi, ya?” “Eh … Kok malah balik tidur lagi?” Ibrahim menahan lengan alayya yang akan kembali berbaring di tempat tidurnya.“Bukannya semalam kamu tidur lebih awal? Kenapa masih nggak bisa juga bangun pagi?” tanya Ibrahim dengan nada kesal, karena seingat dia, lampu kamar Alayya sudah mati pukul sebelas malam.Alayya mendelik heran.
“Tante kenapa? Apa ada yang sakit?” Mustika terkesiap. Tidak menyangka kalau Ibrahim sedang memperhatikannya. Mustika berdehem sejenak hanya untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa tercekat. “Nggak ada kok, Ibrahim. Tante baik-baik aja, karena supnya masih panas aja jadi Tante diam,” jelasnya yang sudah pasti berbohong. Ibrahim hanya mengangguk saja, lalu melanjutkan makannya, sedangkan Alayya tak peduli. Dia dengan lahap menyantap semua yang disediakan Christy di depannya. Segera menyelesaikan sesi sarapan ini dan kembali ke kamarnya adalah hal yang sangat ingin dia lakukan saat ini. “Lukamu bagaimana, Ya? Perbannya udah diganti?” tanya Ibrahim yang mengalihkan tatapannya pada Alayya. “Udah, pakai plester aja kok,” jawab Alayya dengan mulut yang penuh makanan.Ibrahim terkekeh. “Salep lebamnya udah dikasih juga?” Kali ini Alayya mengangguk. Malas bicara. Sandwich-nya terlalu enak untuk diabaikan.Akan tetapi, kehadiran
“Nggak usah cari perhatian kamu, Ayya. Ibrahim nggak akan tertarik sama wanita bekas orang kayak kamu ini.”Alayya mendelik tak terima dengan sindiran Mustika. Dia benar-benar kesakitan sekarang. Salahnya juga karena terburu-buru mau bangkit dari kursinya, lutut yang masih lebam dan terluka itu terantuk bibir meja makan bagian bawah. Bukannya membantunya, Mustika malah menuduhnya yang bukan-bukan. Jadi jangan salahkan kalau akhirnya Alayya menepis tangan Ibrahim yang ingin menyentuh kakinya. “Nggak perlu, Tuan. Saya bisa sendiri,” ucap Alayya dengan nada ketus. Ibrahim tidak memaksa, tetapi tangan yang berhenti di udara itu pun dia kepalkan dengan erat. Kesal? Bukan. Ibrahim sungguh mengkhawatirkan Alayya. Namun, wanita itu sudah tidak ada di kursinya. Pria yang pagi ini memakai jas abu-abu itu menengok ke belakang punggungnya, Alayya berjalan dengan tertatih sambil memegang lututnya yang terluka. “Kenapa Tante bicara seperti tadi?” Pelan, tetapi cukup untuk menyentil perasaan Mus
Alayya memandang gamang pada layar ponsel yang sudah menghitam. Kalau dia tidak mengenal siapa Ghania, tentu dia tidak akan percaya dengan apa yang baru saja temannya itu katakan. Lima puluh juta bukan nominal yang kecil, bahkan untuk dirinya yang sudah menjadi wanita dengan gelar favorit di klubnya bernaung, jumlah itu baru bisa dia dapatkan paling cepat selama satu bulan tanpa dihitung fee dari pelanggan sendiri tentunya, tetapi lihatlah Ghania mendapatkannya hanya dalam satu hari dan itu juga dari pria yang mengurungnya di sini? “Iya, Tuan Ibrahim bilang, ini uang untuk ganti bayar kos-kosan kamu, dan aku nggak boleh lagi ajakin kamu cari pelanggan, Ya. Kalau nggak nurut, aku harus bayar tiga kali lipat sama dia.” Itu kata Ghania tadi yang tentu saja membuat Alayya makin terperangah.“Jadi dia benar-benar serius melarangku menjadi wanita malam lagi? Tapi, masa iya aku harus berada di dalam kamar terus, sih? Aku bukan tahanan ’kan, ya?”
“Apa yang Nyonya katakan? Anda tahu benar apa artinya Nona Ayya untuk Tuan Ibrahim.” Christy jelas tidak bisa berdiam diri mengetahui niat Mustika saat ini. “Diam, kamu, Chris! Aku nggak lagi minta pendapatmu. Kalau kamu nggak mau dengar, keluar saja dari kamar ini sekarang,” titah Mustika dengan nada ketus pun tanpa melihat ke arah sang pelayan.“Nyonya … jangan lakukan itu. Anda tahu konsekuensinya jika melanggar perintah Tuan Ibrahim, bukan?” ucapan Christy kali ini berhasil mengalihkan tatapan mata Mustika.Dengan sorot mata memicing tajam, wanita paruh baya itu berkata,’’Nggak usah ngancam aku, Chris! Asal kamu tutup mulut, Ibrahim juga nggak akan tahu kalau aku yang membantu wanita ini pergi darinya.”“Ta-tapi ….”“Udah deh! Kalian ini apa-apaan sih? Malah ribut di depanku?” sentak Alayya yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan kedua paruh baya itu. Kedua wanita itu pun serentak mengalihkan tatapannya pada Alayya.“Oke, Nyonya cepat katakan apa saran Anda biar aku bisa menjau
Beruntung coffee shop yang ada di lobi kantor Ibrahim sedang sepi pengunjung, hingga kehadiran Darel beserta anak buahnya yang ternyata tidak hanya dua orang itu tidak menarik perhatian para pengunjung cafe yang lain. Ibrahim pun tidak mau kalah. Dia minta Oscar untuk memanggil para ajudannya berkumpul di cafe saat ini juga. Hanya untuk persiapan kalau-kalau pria tambun ini berbuat sesuatu yang di luar dugaannya.“Sekarang katakan apa maksud Anda nggak mau mengembalikan Ayya padaku? Dia wanita favorit di klub aku. Jangan pikir kamu bisa menguasainya begitu saja.” Darel sedang mencoba bersabar, sedari pria tampan di depannya ini memindah tempat diskusi mereka dari luar kantor ke dalam cafe, pria bercambang tipis itu sama sekali belum bicara lagi, sekarang dia justru tersenyum menyeringai menanggapi ucapannya barusan membuat kesalnya makin bertambah saja. “Kenapa Anda tersenyum seperti itu?” tanya pria paruh baya itu dengan nada ketus.Ibrahi
Alayya berdecih tak suka. Mana mungkin dia rindu pada pria sekaku kanebo kering ini. “Jangan ke-PDan deh, Tuan. Siapa juga yang rindu pada Anda,” jawab Alayya dengan gugup. Terlihat sekali dari cara dia menatap Ibrahim yang tidak fokus. Tingkahnya itu sangat menggemaskan, tanpa sadar sudut bibir Ibrahim terangkat sedikit. Apalagi saat jarak dirinya semakin dekat dengan Alayya, wanita itu justru terlihat terkejut lalu mundur satu langkah. “Baiklah. Anggap saya terlalu percaya diri. Sekarang katakan, kenapa jam segini kamu ada di sini? Bukannya tidur biar besok pagi lebih mudah bangunnya?” tanyanya tanpa mengurangi intensitas tatapan tajam, tapi menghanyutkan itu. Alayya susah payah menelan salivanya saat ini. Jaraknya dengan Ibrahim tidak lebih dari sejengkal membuat rasa khawatirnya banyak. Takut pria itu mendengar detak jantungnya yang makin riuh pun malu kalau sampai rasa panas di pipinya menimbulkan rona merah jambu yang bisa dilihat sang Tuan Muda tampan itu. Tanpa berani menat