Share

MENYENDIRI

Sejak kepulangannya dari tempat Leon, Anin mengurung diri di dalam kamar di kediaman sang nenek. Ya, gadis yang perasaannya sedang hancur itu pun tak berani pulang kerumah orang tuanya. Ia takut keluarganya akan mengetahui bahwa ia dan Leon sedang tidak baik-baik saja saat ini. Akhirnya sesampainya di bandara beberapa hari lalu, gadis itu langsung menuju ke kediaman neneknya di Bandung.

Setiap mengingat kejadian itu, air matanya mengalir deras, hatinya terasa begitu nyeri ... nyeri sekali. Dia tidak pernah menyangka lelaki yang sangat dicintainya akan mengkhianatinya.

Setelah bebarapa hari dirumah sang Nenek. Perasaannya terasa lebih baik, walaupun bayang-bayang Leon selalu saja hadir dibenaknya.

"Anin, tunggulah aku ... aku akan segera menikahimu," ucap sang kekasih saat itu begitu manis dan meyakinkannya. "Aku sangat mencintaimu, Anin!" sambung Leon. "Maukah kamu menjadi istriku?" Kata-kata yang diucapkan Leon masih terngiang-ngiang ditelinganya.

Anin menghela napas panjang, membuang sesak yang seakan mulai bergelayut. Gadis manis itu sudah mulai berdamai dengan hatinya, ia mulai menerima takdirnya dengan ikhlas.

Tok ... Tok ... Tok ....

"Anin ... makan dulu!" Nenek mengetuk pintu kamar mengajak Anin untuk makan. "Nenek masakin opor ayam kesukaanmu," sambungnya.

"Iya, Nek," sahut Anin dari dalam kamar.

Dengan bergegas gadis itu menuju kamar mandi, lalu setelahnya menunaikan ibadah sholat Maghrib. Di dalam sujudnya ia berdoa. "Ya Tuhan, tenangkanlah hati, jiwa, dan pikiranku. Aku percaya takdir-Mu-lah yang terbaik untukku." Anin berdoa dengan suara yang lirih.

Setelah berdoa, gadis itu merasa lebih tenang, lalu ia beranjak menuju ruang makan memenuhi panggilan sang nenek.

"Lekas dimakan, mumpung masih hangat!" seru Nenek kepada Anin.

"Iya, Nek," sahut Anin.

Anin pun menyendokkan nasi dan menambah lauk opor kesukaannya itu. "Hmm ... opor Nenek selalu enak," gumam Anin, "Rasanya masih sama seperti dulu," pujinya sembari menyunggingkan sebuah senyuman ke arah sang nenek.

"Ya sudah, makan yang banyak kalau begitu!" Nenek tersenyum melihat cucunya makan dengan lahap. "Anin ... ibu dan ayahmu mengkhawatirkan kamu. Katanya hape kamu sudah satu minggu ini tidak aktif?" Sang nenek memulai percakapan lebih serius.

"Hape Anin lobet, Nek," seru gadis itu.

"Oh, gitu." Sang nenek hanya menyahut sekenanya. Walau hatinya ragu karena ekspresi wajah sang cucu terlihat tidak seperti biasanya. "Cucu Nenek sekarang sudah besar, cantik lagi," Nenek tersenyum dan membelai rambut cucu kesayangannya itu.

Anin melihat ke arah sang nenek, kemudian mengangguk pelan sembari tersenyum malu karena ucapan itu. Wajahnya sedikit bersemu kemerahan.

"Kalau kamu lagi ada masalah, baiknya diselesaikan baik-baik." Nenek menatap Anin sambil menggenggam tangannya.

Deg!

Jantung Anin seakan berhenti sejenak. Sepertinya sang nenek bisa menebak kalau ada kegundahan di dalam hatinya saat ini.

"Nenek tidak melarang kamu untuk berlama-lama di sini. Hanya saja apa masalah bisa selesai jika kita terus menghindar?" Nenek menatap Anin dengan lekat.

Gadis itu menundukkan pandangannya dengan perasaan yang resah.

"Sebesar apa pun masalahmu, itu akan membuat dirimu menjadi lebih kuat, Nak." Nenek menasihati Anin dengan lembut. "Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya," sambungnya.

Anin langsung memeluk tubuh renta itu, kemudian ia meluapkan tangis di dalam pelukannya.

"Anin memang ada masalah sedikit, Nek. Tapi Anin janji ... Anin akan menyelesaikan hal ini dengan baik!" seru Anin menatap wajah tua di hadapannya.

"Nenek lega kamu mau jujur, dari kemarin Nenek khawatir, soalnya Anin diam terus." Sang nenek mengusap air mata cucunya.

"Maafin Anin, udah bikin Nenek khawatir," sesal gadis muda itu, "Anin, akan pulang besok siang," lanjut Anin sambil berusaha tersenyum.

"Kalau Anin rindu opor buatan Nenek, datang kapan pun Anin mau. Nenek dengan senang hati akan memasakkan." Nenek kembali memeluk sang cucu dengan erat.

"Iya, Nek." Anin mengangguk dan melebarkan senyumnya.

"Kata Ibumu, besok Raga akan menjemputmu pulang." Nenek memberitahu.

Anin menganggukkan kepala membenarkan ucapan neneknya.

***

Di dalam kamar Anin kembali gelisah, memikirkan apa yang harus dia katakan kepada keluarganya. Terlebih pada Raga, kakaknya. Anin takut akan merusak hubungan persahabatan Raga dan Leon jika menceritakan permasalahan mereka.

"Ya Tuhan, bantulah aku menyelesaikan ini semua," ucap Anin lirih.

Keesokan paginya, Anin mulai mengemasi barang-barang. Selang beberapa lama Raga pun sampai di rumah Neneknya.

Setelah Raga menghabiskan kopi buatan nenek juga berbincang-bincang sebentar, kemudian mereka pun berpamitan pulang.

"Anin pulang dulu ya, Nek." Anin berpamitan.

"Salam untuk ibu dan ayahmu," ucap Nenek, "hati-hati di jalan," pesan orang tua itu sembari memeluk Anin dan Raga bergantian.

Akhirnya mobil mereka pun meninggalkan halaman rumah nenek. Jalanan siang itu tidak terlalu padat. Anin dan Raga saling diam. Hingga akhirnya Raga mulai bertanya pada Anin.

"Jelaskan padaku apa yang terjadi?" tanyanya membuka percakapan. Pemuda itu menatap adik kesayangannya itu penuh selidik.

Deg!

Anin terkejut, Bagaimana Raga bisa mengetahui? Apa Leon sudah memberitahunya? tanyanya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status