Tiffany beranjak dan segera keluar dari ruangan produser dengan wajah yang muram.
“Gue nggak maksa lo, Jun. Eum ... maksud gue, gue nggak maksa Kevin buat ngisi konten gue," keluh Tiffany yang masih melanjutkan teleponnya dengan Juna.
"Sumpah, Jun. Gue sama sekali nggak berniat buat ngambil kesempatan atau apapun itu,” lirih Tiffany dengan suara yang bergetar menahan tangis.
Ia benar-benar mencemaskan pertemuannya dengan Kevin. Meskipun beberapa hari yang lalu Kevin sudah melindunginya dari dua wanita paruh baya yang menghinanya, namun tetap saja Tiffany merasa enggan untuk berinteraksi dengan pria itu.
“I—iya, tenang aja Fan, gue ngerti,” sahut Juna dengan canggung, sebab Kevin tidak mengizinkannya untuk mematikan fitur <
Tiffany bangun lebih awal dari biasanya. Di atas kasurnya, wanita berambut hitam panjang bergelombang itu menatap layar ponselnya dengan cemas. Tidak jelas dengan apa yang dibacanya, yang di pikirannya saat ini hanyalah jawaban yang akan diberikan Juna atas undangannya. "Jun, plis jangan terima. Pliiiis!" ucap Tiffany sambil merintih. "Ya Tuhan ... Jangan lagi," keluhnya sambil menyeka air mata yang mulai menetes. "Ya Tuhan ...." Tiffany terus dibayang-bayangi oleh ketakutannya untuk bertemu dengan Kevin. Ia masih belum bisa menyingkirkan rasa enggannya kepada Kevin. Citra Kevin dalam benak dan hatinya seolah membusuk dan menjadi stigma yang negatif. Tiffany benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Juna sampai menerima undangannya itu. “Halah! Keluarga …. Shit!" umpatnya ketika mulai mengingat tema podcast yang akan dibawakannya nanti. "Apa yang harus aku bicarain soal keluarga?” keluh Tiffany sambil meringis kesal. Kali ini ia benar-benar terjebak dalam du
“Baik, Pak. Kalau begitu langsung saya kirim saja skripnya ke email Bapak, ya,” ujar Hasna dengan antusias di telepon. “Iya, saya tunggu,” balas Juna dengan respons yang berbanding terbalik. “Kalau begitu, selamat siang Pak, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” “Iya, selamat siang,” sahut Juna sebelum akhirnya panggilan itu berakhir. Juna menarik napasnya dalam-dalam sambil menyandarkan punggungnya pada jok mobil depan. “Kamu harus bersiap menanggung resikonya,” tandasnya pada Kevin yang kini tengah menahan rasa pusingnya di pilot seat. Reyhan yang duduk di samping Kevin hanya bisa terdiam menelan ludahnya setelah menyadari bahwa bosnya itu sedang menahan sakit. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa, sebab sejak tadi malam, Reyhan terjebak dalam situasi mencekam akibat perang dingin di antara Kevin dan Juna. “Minum, Vin?” lirih Reyhan yang segera ditolak oleh Kevin. Tut … tut … Juna melakukan panggilan pada nomor telepon Tiffany sambil menyalakan loudspeaker-nya. Ia masih in
Tiffany dengan gugup menatap dirinya sendiri di depan cermin rias yang ada di ruang tunggu studio Youtubenya. Dengan make-up natural, wajah orientalnya terlihat begitu cantik memesona bak aktris Korea Selatan yang kerap ia tonton di drama-drama. Rambut hitam panjangnya terurai dengan begitu indah, sedikit dibuat bergelombang lengkap dengan poni see through-nya. Ia memang benar-benar tampak seperti aktris dari Negeri Ginseng. “Sambil ngemil, Mbak,” ujar Jelita seraya meletakkan sejumlah makanan ringan di atas
“Ih, Teteh aja atuh,” ujar Yuna—kakak perempuan Dimas. Wanita yang sudah berkepala tiga itu menawarkan dirinya sendiri untuk menjadi manajer Tiffany sementara waktu. Dimas tercenung, berpikir sambil memiringkan kepalanya ke kanan. Apa jadinya kalau saudara perempuannya itu bekerja dengan Tiffany? Ya … Tiffany memang sudah begitu dekat dengan keluarganya Dimas, termasuk dengan Yuna. Mereka sering berbicara tentang banyak hal, dan terlihat begitu cocok untuk menjadi teman curhat. Akan tetapi, apakah hal itu akan berlaku dalam urusan pekerjaan? “Sibuk loh Teh, kalau jadi manajernya Fany.” Dimas mencoba membuat Yuna mengurungkan kesanggupannya. “Gapapa. Lagian kan sekarang Teteh lagi nggak ada
“Resign?” Satria bergumam setelah Joan memberinya informasi atas keluarnya Lauren dari pekerjaan yang selama bertahun-tahun telah dilakoninya. “Iya, sampai nangis-nangis tuh si Fany nelpon gue malem-malem.” Satria meregangkan tubuh sebelum ia merebahkan tubuhnya di sofa basecamp Bumantara Band. Sambil melihat langit-langit ruangan yang ditempeli stiker bintang-bintang oleh Tiffany, mulutnya beberapa kali mendesir. Pikirannya melayang pada masa-masa sekolah dulu, ketika ia dan Tiffany hanyut menikmati lika-liku hidup di kala kasmaran. “Syukurlah kalau gitu, gua nggak perlu capek-capek nguras emosi lagi buat nendang si Lauren. Dia terlalu toxic buat hubungan gua sama Fany,” ujar Satr
“Mau ke mana, Vin?” tanya Reyhan setelah mengamati penampilan Kevin yang sudah rapi dengan setelan kasualnya. Kevin tidak menyahut pertanyaan Reyhan. Solois asal Korea itu malah asyik memandangi tubuhnya yang setinggi 179 cm di depan cermin. “Bukannya hari ini kamu nggak ada jadwal, ya? Atau ada urusan di perusahaan kamu?” tanya Reyhan sambil menyimpan sayuran dan sereal pesanan Kevin di atas meja dapur. “Eh, tapi kan perusahaan kamu di Korea aja, ya?” gumam Reyhan. “Saya mau keluar, cari inspirasi untuk bikin lagu.” Reyhan membulatkan mulutnya sambil bergumam. “Biasanya ide buat nyiptain lagu itu selalu kamu dapatkan dari mana, Vin? Apa dari pengalaman kamu sendiri?"
“Aduh, Pak. Saya minta maaf banget, ya …. Saya nggak tau kalau Bapak bakalan berhenti mendadak,” kata wanita pemilik mobil putih yang menabraknya. Wanita yang tak lain adalah Tiffany, berusaha menahan kekesalannya pada driver mobil di depannya.“Aduh, Mbak … ini mobil sodara saya,” keluh sang supir dengan nada yang seolah menyalahkan Tiffany.Tiffany pun segera merogoh uang dari dompetnya. Tanpa melakukan perhitungan, ia spontan mengulurkan tangannya pada sang supir dengan segepok lembaran kertas berwarna merah.“Eh, tidak perlu!” sergah Kevin yang tiba-tiba keluar dari mobil. Ia refleks membuat Tiffany menurunkan tangannya, begitupun dengan sang driver yang memasang raut geram pada Kevin.
Kevin berdiri di depan pintu masuk kafe. Ia dengan senangnya menunggu kedatangan Tiffany yang kini baru turun dan berjalan ke arahnya.“Kamu nungguin aku, Vin?” tanya Tiffany dengan bimbang.Kevin membenarkannya dengan anggukan kepalanya.“Kamu udah ada janji? Emm … kamu lagi sibuk ya, Fan?” tanya Kevin dengan suara yang rendah.“Enggak,” sahut Tiffany dengan hangat, “aku cuma lagi pengen ke sini aja, nggak ada janji sama siapa-siapa, kok. Kamu sendirian ke sininya?”Kevin mengangguk. “Iya.”Tiffany mengangguk sambil bergumam, matanya melirik ke beberapa arah. Ia mulai merasa bingung dengan apa yang harus dikatakannya kepada Kevin. Jika Tiffany menghindarinya, itu hanya akan membuat Kevin merasa tersinggung. Namun, Tiffany sendiri pun masih merasa waswas dengan kehadiran wartawan.Di sisi lain, Kevin menebak kalau keberadaannya di kafe hanya akan membuat Tiffany merasa keberatan. Setelah melihat raut wajah Tiffany yang kini tampak kebingungan, Kevin pun mulai kehilangan kebahagiaannya