Suasana di dalam studio seketika tergugah ketika Kevin baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat itu. Para kru wanita dari program Dimas Talkshow pun sejurus memberikan senyum malunya.
Beberapa kali Kevin membungkukkan badannya saat berpapasan dengan para kru program talkshow tersebut.
Setelah sampai di ruang tunggu, akhirnya ia pun bertemu dengan pemilik acara sekaligus kanal youtube-nya, Dimas Prasetya.
Pria berwajah kecil dengan kacamata metal round yang bertengger di hidungnya itu segera bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Kevin. Ia membungkukkan badannya mengikuti Kevin sebelum akhirnya keduanya mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.
“Dimas,” ujar sang pemilik acara saat memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah khasnya.
“Kevin.” Kevin mengangguk kecil.
Dimas segera mempersilakan Kevin untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong, sementara seorang kru wanita yang duduk di sebelah Kevin segera menyuguhkan satu cup caffe latte padanya. Kru wanita itu pun spontan memberikan arahan pada Kevin mengenai skrip yang sudah dibacanya tadi malam.
Sesekali Dimas ikut berbicara, menyampaikan basa-basi kepada Kevin untuk mencairkan perbincangan agar nanti dapat terjalin lebih natural.
Setelah kru wanita selesai memberikan penjelasan, sekarang giliran penata rambut Kevin yang masuk ke dalam ruangan dan menata rambut sekaligus baju yang dikenakan Kevin.
Sementara itu, Dimas mulai keluar dari ruang tunggu dan memasuki ruang talkshow. Ia menoleh pada kamerawan dan beberapa krunya sebelum mengangkat kedua alisnya.
“Caw, bentar lagi.”
“Oke, caw!” sahut beberapa kru termasuk kamerawan yang mulai memeriksa kameranya.
Dimas segera berdiri di panggung sebelum akhirnya Kevin datang ke ruangan talkshow. Proses syuting pun dimulai.
Beberapa saat setelah opening, Kevin masuk ke panggung dengan sambutan yang meriah dari Dimas dan para kru.
Pada pertengahan acara, keduanya sampai pada topik pembahasan yang paling dihindari oleh Kevin selama bertahun-tahun ia berkarir sebagai seorang figur publik.
“Oke Vin. Saya pikir tampang-tampang muka kayak kamu tuh pasti lancar lah ya urusan asmaranya?” terka Dimas sambil terkekeh.
“Nah ini nih pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu sama ciwi-ciwi, Vin!” Dimas menunjuk sejumlah kru wanitanya yang kini tampak tersipu malu sambil menutupi mulutnya.
“Kalau aku sih—” ujar Dimas yang kemudian segera dipotong oleh sorakan para kru.
“Ooooh, sorry sorry. Enggak … gue mau ngasih selingan cerita aja gitu,” gurau Dimas yang tak henti terkekeh.
“Gue gatel nih pengen cerita,” sambungnya dengan raut muka yang tampak kesal.
Namun, rupanya candaan itu hanya dimengerti oleh Dimas dan para krunya saja sedangkan Kevin hanya mengamatinya dengan senyum yang irit.
Baru kali ini Kevin datang ke sebuah acara yang menurutnya terlalu manasuka. Lebih tepatnya, baru kali ini ia diundang ke acara milik kanal Youtube pribadi seseorang.
“Boleh, ya?” tanya Dimas pada krunya.
“Entaran dong, A! Kita dengerin dulu nih cerita Oppa Kevin. Bosen ah dengerin cerita kamu terus!” sahut salah satu kru wanita sambil tertawa.
Dimas mencoba menghentikan tawanya. Namun, dibalik tawanya itu tampak jika ia tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang cemas, seolah ingin segera mengakhiri acara tersebut.
“Oke, gimana Vin? Sebenernya oppa-oppa kayak lo itu kurang lebih gimana masalah asmaranya? Apa seindah drama-drama Korea yang lo bintangi?”
“Kok jadi lo gue sih, A?” protes kru wanita sebelum Kevin sempat membuka suara.
Dimas dan krunya itu seperti tak ada hentinya melemparkan gurauan selama proses syuting berlangsung. Kevin yang memang tidak menyukai situasi seperti itu pun mulai merasa tidak nyaman.
Dimas melongo. “Eh iya ya, kenapa jadi lo gue,” gumamnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia memang tidak terbiasa berbicara dengan sebutan kamu kepada lawan bicara lelaki sebayanya.
“Sorry sorry,” ujar Dimas terkekeh.
“Lo sih tadi pake acara nunjukkin itu segala, kan gue jadi nggak bisa fokus!”
Para kru sontak bersorak dengan terkejut.
“Woi, woi! Nunjukkin apa, A?” tanya salah seorang kamerawan yang benar-benar tergelitik oleh gelagat Dimas yang tiba-tiba terlihat linglung. Kru yang lain pun ikut bersautan sambil terkekeh.
Kevin mulai skeptis dengan keberadaannya di sana. Ia pun berpikir bahwa karakter orang-orang yang telah ia temui selama hampir satu bulan terakhir ia menetap di Indonesia memang sama sekali tidak ada yang cocok dengannya. Lagi pula, Kevin memang tidak pernah cocok dengan siapa pun setelah tiga belas tahun lamanya.
“Tau nih, ngaco si A Dimas ah!” sahut salah seorang kru wanita yang tadi mengajukan protes.
Dimas mengernyit saat melihat ekspresi para krunya.
“Apasih? Woi, Lo jangan kemana-mana pikirannya!” sahut Dimas yang mulai panik.
“Cut cut cut!” seru Dimas sambil menyatukan lengannya membentuk huruf “X”.
“Cut nih nanti!”
“Sorry ya, Vin! Ada aja gangguannya,” ujar dimas pada Kevin yang kini mulai menunjukkan ketidaknyamanannya.
Kevin mengangguk dengan sedikit tersenyum. Jika bukan karena pekerjaan, tidak mungkin dirinya masih duduk di tempat itu dengan orang-orang yang menurutnya begitu aneh.
“Oke, jadi gimana Vin? Gimana nih hubungan asmara seorang oppa-oppa Korea kayak kamu?” tanya Dimas untuk yang ke sekian kalinya.
Kevin berdeham sambil menjentik bibirnya sesaat. “Ya, seperti pada umumnya.”
Sejenak Dimas tercenung saat melihat gerak-gerik tangan Kevin yang seperti tak asing baginya.
“Bentar-bentar, maksudnya kamu juga pernah patah hati karena seorang cewek, Vin?”
Dengan nada sinis, Kevin terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa profesi serta penampilan seseorang bisa menjadi parameter untuk itu? Saya rasa, semua orang pasti pernah merasakan patah hati, dan itu hal yang wajar.”
“Aaah ya,” sahut Dimas sependapat.
Youtuber itu menganggukkan kepalanya dengan senyum ragu. Ia mulai menyadari jika Kevin tampak begitu kaku dan kesulitan dalam menyesuaikan gaya obrolannya yang memang apa adanya dan cenderung sok akrab.
“Okei. Berarti kamu sama kayak pria Indonesia pada umumnya, ya? Ya … seperti saya,” ujar Dimas menunjuk dirinya sendiri.
“Lu mah patah sama kenyataan, Dim! Bukan sama cewek,” seru salah seorang kru pria yang kemudian disertai oleh sorakan dari beberapa kru yang lain.
Dimas terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, kali ini ia mencoba untuk tidak menghiraukannya.
“Tapi ada nggak sih yang paling bikin patah hati banget, kayak … wah gila ni cewek!” tanya Dimas sambil membetulkan kacamatanya sejenak.
“Eh ngomong-ngomong, maaf nih saya ngobrolnya terlalu santai. Saya bingung kalau mesti bicara formal. Tapi kamu pasti ngerti kan ya, Vin?” tanya Dimas sebelum Kevin sempat menjawab pertanyan yang sebelumnya Dimas ajukan.
“Ya, saya ngerti.”
“Oke, oke.” Dimas mengiyakan. “Jadi gimana nih, Vin? Ada nggak momen atau memori soal cewek yang paling bikin kamu … apa ya istilahnya? Ya, drop gitu lah istilahnya.”
Kevin tertegun. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan spontan bibirnya tersenyum kecut.
“Gimana, Vin?” tanya Dimas yang kebingungan saat melihat ekspresi Kevin yang tiba-tiba menegang.
“Saya pikir itu bukan hal yang perlu dibahas ataupun diingat lagi. Saya … saya pikir itu adalah masa lalu yang tidak perlu terlalu diingat dan dibahas,” sahut Kevin yang terdengar gugup dan bingung sendiri.
Dimas tersenyum sambil melirik kepada para krunya yang kemudian membalasnya dengan tawa—lagi. “Tuh, camkan itu, A!” teriak salah seorang kru wanita.
“Oh, kamu termasuk yang sulit—” Kevin berinisiatif berbicara untuk mengalihkan perbincangan.
“B—bukan sulit,” tukas Dimas, “tapi emang bukan sesuatu yang harus dilupain sih kalau menurut gue … eh, saya. Sorry.”
Kevin mengangguk. “Lebih memilih untuk mengingatnya?” gumamnya.
Dimas terkekeh. “Sebenarnya saya memang bukan patah hati karena orangnya, tapi karena hubungannya,” sahutnya sambil menahan tawa sekaligus kecemasan.
“Mereka udah bosen denger cerita saya,” tambahnya sambil menunjuk para krunya, mengisyaratkan untuk beralih topik.
“Kagak, kita kesian aja gitu sama si Fany, pasti panas telinganya lu omongin mulu!” seru salah seorang kru yang tidak menyadari isyarat Dimas.
Mendengar nama Fany, sontak membuat Kevin tertegun. Ekspresi wajahnya seketika berubah datar dengan mata yang terus terpaku pada kru yang baru saja menyebutkan nama itu.
Siapa Fany yang mereka maksud?
Batin Kevin terus bertanya-tanya.
Dengan segala keterkejutan yang kembali menyesakkan dadanya, Kevin terus berharap agar ia tidak lagi bersinggungan dengan seorang Fany yang kemarin ia lihat di kafe. Namun, ketika ia makin berharap seperti itu, pikirannya justru kian mempertajam ingatannya pada pencarian internetnya saat kemarin di kafe.
[Tiffany Diisukan Dekat dengan Artis Korea, Ini Pendapat Dimas Soal Mantan Kekasihnya]
Kevin tersentak oleh pikirannya sendiri setelah menyadari jika Dimas adalah nama dari mantan kekasih Tiffany. Tiba-tiba ia merasa begitu gelisah sekaligus marah. Akan tetapi, dengan profesionalitasnya, ia berusaha untuk tetap tampak baik-baik saja.
“Enggak, lah.” Dimas menyangkal.
“Justru panas tuh kalau … Ah, nggak jadi,” ujar Dimas yang tampak cemas sekaligus kesal sendiri.
Tiba-tiba mata Dimas tertuju pada kamera.
“Eh tapi gue serius, ya. Selama ini gue kenal betul siapa Fany. Dan gue sebagai orang yang notabenenya pernah jadi pacarnya Fany, gue sangat marah sih kalau ada orang yang dengan mudahnya ngehujat bahkan ngefitnah dia,” ujar Dimas yang seolah sedang berbicara dengan jutaan orang di dalam kamera.
Meskipun diakhiri dengan senyum dan tawanya yang renyah, tetapi tetap saja Dimas terlihat menyembunyikan kesedihan dan kecemasan yang begitu mendalam.
Deg!
Dada Kevin tersentak. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, mencoba untuk tetap menahan emosinya sekaligus kepalanya yang mulai terasa pening.
Seketika itu pula kenangan akan gadis remaja bernama Tiffany Adhara kembali membuatnya tak berdaya. Hingga pada akhirnya profesionalitasnya pun terkalahkan oleh nama itu.
“Eh Vin, kamu kenapa?”
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken