Leonhart D’Amico.
Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap, dasinya hitam polos, rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, membingkai wajah yang begitu tampan namun dingin. Mata kelamnya mengangkat dari dokumen di tangannya dan bertemu langsung dengan mata Aurora. Untuk sesaat, dunia seolah membeku. Mata itu... mata yang sama yang menatapnya dalam kegelapan malam itu. Aurora bisa melihat kilatan keterkejutan di sorot mata pria itu. Sangat cepat, sangat samar, tapi nyata. Sebuah kerutan kecil muncul di antara alis Leonhart sebelum ia menghilangkannya secepat kilat, kembali ke ekspresi datar dan dingin. Aurora menggigit bibirnya. Dadanya bergemuruh liar. “Silakan duduk,” suara Leonhart terdengar rendah, serak, namun sangat terkontrol. Aurora duduk perlahan, menahan seluruh gemetar dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan tatapan pria itu membakar kulitnya, seolah menyayat semua lapisan ketenangannya. Leonhart meletakkan dokumen di mejanya, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan sikap santai namun mengintimidasi. Tangannya bertaut di depan wajahnya, mengamati Aurora dengan intens. “Miss Smith,” suaranya dalam, menyeret, “apa motivasi Anda melamar posisi ini?” Aurora menelan ludah. Suaranya nyaris tak keluar saat ia berbicara. “Saya... ingin berkembang di perusahaan besar seperti D’Amico Corporation. Saya percaya... kemampuan saya cocok dengan kebutuhan perusahaan. Saya juga memiliki pengalaman di posisi ini selama lebih dari lima tahun.” Leonhart menaikkan satu alis. “Saya yakin banyak kandidat yang lebih berpengalaman. Apa yang membuat Anda berpikir Anda layak?” Ada tantangan dalam suaranya, seolah menguji. Aurora tahu ia harus kuat dan bisa melewatinya. Dia mengangkat dagunya sedikit. Dan dengan percaya diri dia menjawab, “Saya tidak pernah menyerah pada apa yang saya inginkan. Dan saya belajar dengan cepat. Saya... memiliki tekad yang kuat.” Untuk sesaat, Leonhart hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Tatapan itu membuat Aurora merasa seolah sedang dilucuti habis-habisan. Jantungnya berdetak kencang. Leonhart menyentuh pena di mejanya, memutarnya pelan di antara jari-jarinya. Gerakannya santai, namun ada ketegangan tersembunyi di balik sikapnya. “Tekad,” gumamnya pelan, seolah menguji kata itu di lidahnya. “Kualitas yang... berbahaya.” Aurora mengepalkan tangannya di atas lutut. “Saya siap mengambil risiko.” Leonhart mengangguk perlahan, matanya tetap terkunci di wajah Aurora. “Aku yakin itu.” Senyum tipis menghiasi bibirnya. Senyum itu bukan kehangatan. Itu adalah peringatan. Aurora menahan napas. Dia tahu Leonhart mengenalinya. Dia tahu pria itu tahu siapa dia. Dia tahu Leonhart masih ingat dengan malam panas itu. Tapi mereka berdua... memilih bermain seolah tidak terjadi apa-apa. Leonhart tampak memikirkan sesuatu. Namun tak lama kemudian tatapannya kembali tertuju pada Arurora. “Selamat, Miss Smith,” kata Leonhart akhirnya, menutup file lamaran Aurora. “Mulai minggu depan, Anda menjadi bagian dari tim eksekutif. Langsung di bawah pengawasanku.” Dunia Aurora berguncang. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Langsung di bawah Leonhart D’Amico? Terlalu cepat. Terlalu mudah. Ada jebakan di sini, dia yakin itu. Tapi Aurora hanya tersenyum kecil, membungkuk sopan. “Terima kasih atas kepercayaannya, Tuan D’Amico.” Leonhart bangkit dari kursinya, menghampiri Aurora dengan langkah santai namun berbahaya. Dia berhenti tepat di depannya, tubuh mereka hanya berjarak beberapa inci. Dia membungkuk sedikit, membisikkan sesuatu yang membuat napas Aurora tercekat. “Kita akan bertemu... lebih sering, Nona Smith.” Seringai di wajanya cukup membuat Aurora bergidik, merinding. *** Hari-hari pertama Aurora bekerja di bawah Leonhart D'Amico adalah sebuah siksaan manis. Siksaan... karena pria itu memperlakukannya dengan profesionalisme sempurna. Seolah malam panas di antara mereka tidak pernah terjadi. Seolah tubuh mereka tidak pernah saling terikat, seolah dengusan nafas dan desahan nama tidak pernah bergema di antara kegelapan. Tapi juga manis... karena Aurora tahu, dia berhasil menorehkan luka di kedalaman jiwa pria itu. Aurora menangkapnya beberapa kali. Tatapan itu. Tatapan penuh bara api yang berusaha dikekang mati-matian. Tatapan seorang pria yang tergila-gila namun gengsi mengakuinya. Dan itu membuat Aurora ingin bermain lebih jauh. Leonhart sudah masuk ke dalam perangkap! Terkadang Aurora sengaja menundukkan tubuhnya lebih dalam saat meletakkan berkas di meja Leonhart, memperlihatkan lekuk dadanya di balik blus tipis tepat di hadapan pria itu. Ia juga sengaja berbicara dengan nada sedikit lebih rendah, lebih serak, saat membacakan laporan-laporan. Juga sengaja berdiri terlalu dekat dengan Leonhart, membiarkan aroma tubuhnya mengepung indra pria itu. Aurora tahu Leonhart memperhatikan dan mulai tergoda dengannya. Dari cara pria itu menggenggam pena terlalu keras hingga ujung jarinya memutih. Dari kilatan amarah dan hasrat yang melintas cepat di matanya sebelum segera dia tekan mati-matian. Leonhart menginginkannya. Dan Aurora tahu itu. Tapi Leonhart D’Amico bukan pria biasa. Dia tidak akan mudah tunduk hanya karena godaan. Dia pria yang menguasai, mendominasi dan itu membuat permainan ini semakin mendebarkan. Hari itu, udara di ruang kerja Leonhart terasa lebih berat dari biasanya. Aurora mengetuk pintu sebelum masuk, membawa setumpuk berkas untuk ditandatangani. Saat ia menutup pintu di belakangnya, Aurora bisa merasakan ketegangan seperti listrik statis di udara. Leonhart duduk di belakang meja, setelan gelapnya rapi seperti biasa. Tapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang lebih liar, lebih gelap. Aurora melangkah maju, perlahan, meletakkan berkas di hadapannya. “Ini dokumen yang harus Anda review, Tuan D’Amico,” katanya dengan nada halus, matanya menatap langsung ke matanya. Sekilas, sesuatu bergetar di rahang Leonhart. Tangannya bergerak, mengambil berkas, tapi dia tidak membukanya. Sebaliknya, ia mendongakkan kepalanya dan menatap Aurora, penuh badai. “Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Aurora Smith?” tanyanya kemudian. Aurora membelalakkan mata, berpura-pura bingung. “Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan.” Suara Leonhart menegang, seperti baja dipaksa menahan panas. “Jangan permainkan aku.” Dia bangkit dari kursinya. Aurora mundur satu langkah secara naluriah saat pria itu mengitari meja, mendekatinya seperti seekor singa mengunci mangsanya. “Aku bukan orang bodoh,” bisiknya rendah. “Kau melamarkan diri bekerja ke sini, tepat setelah... malam itu. Kau pikir aku tidak mencium sesuatu?” Aurora menahan senyum di dalam hati. Leonhart... pria arogan ini... mulai goyah. Dia memiringkan kepalanya sedikit, mengedipkan mata perlahan. “Mungkin saya memang menginginkan sesuatu,” bisiknya, nyaris menggoda. “Tapi mungkin bukan apa yang Anda pikirkan, Tuan D’Amico.” Leonhart menggeram, lalu dalam satu gerakan cepat, ia mencengkeram pergelangan tangan Aurora dan menarik tubuhnya hingga hampir berbenturan dengannya. Tubuh pria itu panas, keras, penuh kekuatan yang mendominasi. “Mungkin sudah waktunya kita berhenti berpura-pura,” gumam Leonhart kasar. Aurora bisa merasakan napasnya yang panas menyapu pipinya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menolak untuk menunjukkan rasa gentar. Dia mengangkat wajahnya, menatap matanya, penuh tantangan. “Mungkin memang sudah saatnya,” balasnya berbisik. Kilatan liar muncul di mata Leonhart, sebelum akhirnya pria itu mendorong tubuh Aurora ke dinding terdekat. Tidak kasar. Tidak menyakitkan. Tapi penuh tuntutan. Penuh rasa lapar. Tangan besar Leonhart mengunci kedua pergelangan tangan Aurora di atas kepalanya, tubuh pria itu menekan tubuhnya, membuat Aurora nyaris tak bisa bergerak. "Apa rencanamu?" gumam Leonhart, suaranya nyaris meraung di telinga Aurora. "Menghancurkanku? Menggunakanku?" Aurora menatap matanya dalam-dalam. Lalu, dengan suara serendah desahan, ia berkata, "Jika itu yang Anda inginkan... saya bisa menjadi apapun yang Anda mau, Tuan D'Amico." Sebuah geraman keluar dari mulut Leonhart. Kehilangan kendali yang selama ini ia pertahankan dengan begitu keras. “Jangan memancingku...” Dalam sekejap, bibirnya menubruk bibir Aurora.“Selena calling…”Aurora membeku.Seolah disengat listrik, seluruh tubuhnya kehilangan panas yang tadi membakar. Matanya menatap layar ponsel itu, lalu beralih ke wajah Leonhart. Tatapan pria itu kosong sesaat—lalu berubah gelap. Ia meraih ponsel, menatapnya, tapi tak langsung menjawab.Aurora menggigit bibirnya. Suara napasnya masih tercekat, dadanya naik-turun, namun kini bukan hanya karena gairah—melainkan karena sesak yang tiba-tiba muncul di dada.Selena.Dia mengenalnya. Wanita itu sering muncul di koridor kantor, melenggang percaya diri dengan blouse ketat dan senyum yang terlalu manis saat berbicara dengan Leonhart. Beberapa kali Aurora bahkan memergoki Selena menyentuh lengan Leonhart terlalu lama, atau membisikkan sesuatu terlalu dekat.Aurora menarik napas dalam. Ia memalingkan wajah ke jendela, mencoba menenangkan degup jantung yang kacau.Namun Leonhart menangkap dagunya, memutar wajahnya paksa agar kembali menatapnya."Kenapa berpaling?" tanyanya rendah, namun tajam.Aur
Saat tengah malam, Aurora berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang remang, hoodie abu-abunya setengah menutupi wajah. Nafasnya berembus putih di udara malam yang dingin. Matanya menyapu jalan sepi, sampai lampu sorot mobil hitam muncul perlahan dari tikungan. Rolls Royce hitam itu berhenti tepat di depannya. Kaca jendela depan perlahan turun. “Masuk,” suara Leonhart terdengar tegas dari balik kemudi. Aurora menelan ludah. Ia masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Aroma kulit dan parfum mahal langsung membungkusnya. Mereka diam beberapa saat. Mobil melaju. Namun bukan ke arah pusat kota, juga bukan ke mansion Leonhart. Aurora mengerutkan kening. “Kita... mau ke mana?” Leonhart tak menjawab. Fokus pada jalan. Wajahnya gelap, rahangnya mengeras. Aurora menggigit bibir. “Aku—maaf soal tadi. Aku benar-benar harus menemani Ibu—” “Kenapa kau tak membalas pesanku seharian?” potong Leonhart, dingin. “Aku... sibuk. Di ruang operasi. Aku... aku takut mengganggumu dengan k
Setelah malam panas itu, keesokkan harinya Aurora kembali ke apartemen kecilnya untuk mengganti pakaiannya. Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. ia pun duduk di tepi ranjang untuk melihat notifikasi apakah itu.Ia terdiam menatap layar ponselnya. Seseorang telah mentransfer sejumlah uang dalam nominal besar. Angka itu membuatnya nyaris terjatuh.Transfer masuk: $500.000Pengirim: Leonhart D’AmicoJantungnya berdentum hebat. Itu bukan mimpi. Bukan khayalan. Angka nol yang berderet itu nyata. Membanjiri rekeningnya dan menyulut satu hal yang sudah lama ia kubur dalam-dalam: harapan.Tanpa menunggu lama, Aurora segera meraih jaket dan tas kecilnya. Langkahnya menyusuri lorong apartemen sempit, lalu memanggil taksi ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Hari itu, ia hanya punya satu tujuan: menyelamatkan ibunya. Apapun caranya.Aurora langsung menuju rumah sakit di mana Ibunya dirawat. Tujuannya saat ini adalah loket administrasi. “Pembayaran diterima, Miss Smith.”Petugas administrasi
Ciuman itu liar, brutal, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung.Aurora membalas dengan semangat yang sama, menyalurkan semua dendam, keinginan, dan rasa sakit yang selama ini dia kubur.Tangan Leonhart menjalar ke pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengan tubuhnya.Aurora melilitkan tangannya di leher pria itu, membalas ciumannya dengan gigitan kecil di bibir bawahnya yang membuat Leonhart menggeram rendah, liar.Mereka seolah kehilangan diri dalam badai gairah.Tangan Leonhart bergerak turun, mengusap garis pinggang Aurora, lalu mengangkat tubuhnya dengan mudah, menekan tubuh mungil itu di dinding. Aurora melilitkan kakinya di pinggang Leonhart.Dalam kepungan ciuman dan desahan, Aurora bisa merasakan... ini bukan hanya tentang hasrat.Ada sesuatu yang lebih dalam.Sesuatu yang menakutkan... dan membahayakan.Karena saat Leonhart mencengkeramnya, saat napas mereka bertaut, Aurora tahu, pria ini bisa menghancurkannya.Dan mungkin... mungkin dia jug
Leonhart D’Amico.Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap, dasinya hitam polos, rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, membingkai wajah yang begitu tampan namun dingin. Mata kelamnya mengangkat dari dokumen di tangannya dan bertemu langsung dengan mata Aurora.Untuk sesaat, dunia seolah membeku.Mata itu... mata yang sama yang menatapnya dalam kegelapan malam itu.Aurora bisa melihat kilatan keterkejutan di sorot mata pria itu. Sangat cepat, sangat samar, tapi nyata. Sebuah kerutan kecil muncul di antara alis Leonhart sebelum ia menghilangkannya secepat kilat, kembali ke ekspresi datar dan dingin.Aurora menggigit bibirnya. Dadanya bergemuruh liar.“Silakan duduk,” suara Leonhart terdengar rendah, serak, namun sangat terkontrol.Aurora duduk perlahan, menahan seluruh gemetar dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan tatapan pria itu membakar kulitnya, seolah menyayat semua lapisan ketenangannya.Leonhart meletakkan dokumen di mejanya, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan si
Aurora berdiri terpaku di depan kamar rawat inap. Napasnya terasa berat, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Di atas ranjang rumah sakit yang serba putih itu, sosok Ibunya tampak jauh lebih kecil dan rapuh dibandingkan yang ia ingat. Selang infus menempel di tangan kurus itu, dan wajahnya yang pucat membuat Aurora merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh perlahan. “Ibu...” bisik Aurora, suaranya bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang hampir keluar. Sang Ibu membuka matanya perlahan, tersenyum lemah. “Aurora... kamu datang...” Aurora menggenggam tangan ibunya, membiarkan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Ibu... jangan khawatir soal biaya, ya. Aku... aku akan segera mendapatkannya,” katanya dengan suara parau, berusaha terdengar kuat walau hatinya remuk. Namun sang Ibu hanya menggeleng pelan, air mata menggenang di sudut matanya. “Nak... Ibu tidak mau jadi beban ka
Di lantai tertinggi sebuah hotel mewah yang menghadap gemerlap Broadway, malam membeku dalam keabadian sunyi. Aurora terhuyung, napasnya berat, kulitnya seolah membara di bawah balutan kemeja tipis yang kini terasa terlalu panas. Matanya, setengah terpejam karena efek wine dan obat perangsang yang diminumnya. Seorang pria bertubuh tinggi, berjas gelap sempurna, dengan aura yang menggetarkan, menggendong tubuh mungil itu dalam pelukannya. Langkahnya mantap saat ia membaringkan Aurora di atas ranjang berseprai putih bersih, beraroma segar lavender dan kekayaan. Pria itu menatapnya sejenak, seolah ragu. Ia bukan pria yang bisa tidur dengan sembarang wanita. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Namun sebelum sempat menjauh, tangan mungil Aurora—gemetar, lemah, tapi penuh keputusasaan—meraih dasinya. Ia menariknya ke arah wajahnya, menghapus jarak di antara mereka hingga wajah mereka hanya tinggal beberapa senti. Mata mereka bertemu. Aurora bisa melihat dirinya sendir
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aurora, memaksa kepala wanita muda itu menoleh ke samping. Rasa panas segera menjalar di kulitnya, membuat matanya berkaca-kaca, tetapi dia menahan air matanya dengan segenap kekuatan. “Katakan sekali lagi!” seru seorang wanita bergaya edgy dengan riasan tebal—Emily Lorenz, suaranya tajam mengiris udara sore di dalam mansion megah itu. “Aku wanita yang merebut Ayahmu?! Hah?!” Aurora menahan napas, lidahnya hampir kelu. Tapi rasa sakit di pipinya kalah dibandingkan luka di hatinya. Ia mengangkat wajahnya, menatap Emily dengan mata penuh dendam. “Ya!” suaranya bergetar namun lantang. “Kau hanya selingkuhan Ayahku! Tapi kau mendapatkan segalanya! Aku... aku hanya minta sedikit bagianku... untuk operasi Ibuku!” Emily menghela napas panjang dengan ekspresi jijik. Ia berbalik sambil mengisap rokok di jemarinya, kemudian meniupkan asap ke langit-langit, seperti merendahkan Aurora hanya dengan keberadaannya. “Bahkan ibumu,” Emily menyer