Ciuman itu liar, brutal, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung.
Aurora membalas dengan semangat yang sama, menyalurkan semua dendam, keinginan, dan rasa sakit yang selama ini dia kubur. Tangan Leonhart menjalar ke pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengan tubuhnya. Aurora melilitkan tangannya di leher pria itu, membalas ciumannya dengan gigitan kecil di bibir bawahnya yang membuat Leonhart menggeram rendah, liar. Mereka seolah kehilangan diri dalam badai gairah. Tangan Leonhart bergerak turun, mengusap garis pinggang Aurora, lalu mengangkat tubuhnya dengan mudah, menekan tubuh mungil itu di dinding. Aurora melilitkan kakinya di pinggang Leonhart. Dalam kepungan ciuman dan desahan, Aurora bisa merasakan... ini bukan hanya tentang hasrat. Ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang menakutkan... dan membahayakan. Karena saat Leonhart mencengkeramnya, saat napas mereka bertaut, Aurora tahu, pria ini bisa menghancurkannya. Dan mungkin... mungkin dia juga bisa menghancurkan pria ini. Dengan tubuh mereka bergetar karena intensitas gairah yang meletup, Leonhart menarik wajahnya sedikit, menatap Aurora dengan napas memburu. “Aku memperingatkanmu, Aurora,” bisiknya kasar. “Jika kau bermain dengan apiku... kau akan terbakar.” Aurora tersenyum kecil, merasakan darahnya berdesir dengan kegetiran manis. “Mungkin aku memang ingin terbakar.” Leonhart menutup matanya sejenak, seolah berusaha menemukan sisa-sisa kendali yang hampir habis dari dirinya. Tapi Aurora tahu... pria itu sudah kalah. Tangannya melonggarkan cengkeramannya sedikit, menurunkan Aurora kembali ke lantai. Tapi dia tidak menjauh, justru semakin merapatkan tubuhnya. Sebaliknya, Leonhart menempelkan dahinya di dahi Aurora, mata mereka hanya berjarak beberapa inci, napas mereka membaur, tubuh mereka masih saling bersentuhan dalam intensitas yang nyaris menyakitkan. “Kau berbahaya,” gumamnya, seolah kepada dirinya sendiri. “Terlalu berbahaya.” Aurora mengangkat satu tangan, menyentuh pipinya dengan lembut. “Mungkin... itulah kenapa Anda menginginkan saya, Tuan D’Amico.” Leonhart membuka matanya perlahan, menatapnya dengan sorot mata yang begitu liar dan penuh luka. Saat itu, Aurora sadar. Ini lebih dari sekadar hasrat. Ini adalah perang. Perang tanpa suara. Perang antara dua jiwa yang sama-sama terbakar dan berusaha menghancurkan satu sama lain... sekaligus saling menyelamatkan. Sebelum Leonhart bisa berkata apapun lagi, suara ketukan keras terdengar dari pintu. Mereka berdua tersentak. Leonhart langsung mundur satu langkah, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan wibawa yang tadi sempat runtuh. Aurora merapikan blusnya dengan tangan gemetar, menundukkan kepala, menyembunyikan senyum tipis penuh kemenangan. Leonhart melirik ke arah pintu, lalu kembali ke Aurora, suaranya rendah, penuh ancaman samar. “Permainan ini belum selesai, Nona Smith.” Aurora menatapnya, matanya berkilat penuh tantangan. “Saya menantikannya, Tuan D’Amico.” “Nanti malam, suites 5603. Aku ingin melanjutkan yang sempat tertunda,” ucap Leonhart. Aurora tak menjawab, dia hanya menoleh sedikit sambil tersenyum penuh arti. *** Kamar hotel itu redup, hanya diterangi lampu meja yang remang. Aroma khas ruangan mahal menusuk hidung Aurora saat Leonhart menariknya masuk, lalu membanting pintu di belakang mereka. Napas pria itu berat, memburu, seolah menahan badai yang siap meledak. Sebelum Aurora sempat berkata apa-apa, Leonhart sudah mendorongnya ke dinding, tubuh tegapnya mengurungnya tanpa memberi ruang. “Kau...” desisnya, matanya membakar liar. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Aurora?” Aurora tersenyum samar, jemarinya yang lentik menelusuri dada Leonhart yang bergetar di balik kemeja mahalnya. “Apa menurutmu aku punya rencana?” bisiknya menggoda, matanya menantang. Wanita ini sudah kehilangan rasa takutnya. Leonhart memejamkan mata, seolah berusaha mengendalikan diri. Tapi ketegangannya tak bisa disembunyikan. Tangannya mencengkeram pinggang Aurora, membuat gadis itu terengah pelan. “Kau datang ke perusahaanku,” gumamnya, suaranya serak, “menggoda pikiranku, mengacaukan fokusku...” Aurora menaikkan alisnya polos. “Aku hanya bekerja, Tuan D’Amico.” Leonhart menatapnya, napasnya membakar kulit Aurora. “Sialan...” gumamnya, sebelum akhirnya menyerah. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, Leonhart membekap bibir Aurora dengan ciumannya. Aurora sempat terkejut, tapi segera membalas, melingkarkan tangannya di leher pria itu. Ciuman itu liar, penuh kemarahan yang bercampur gairah. Leonhart mencengkeram rambut Aurora, menariknya lebih dekat, seolah ingin meleburkan mereka menjadi satu. “Kau membuatku gila...” desah Leonhart di sela ciuman, menggigit pelan bibir Aurora. Aurora hanya terkekeh kecil, membiarkan tubuhnya dinikmati, disentuh, dibakar tanpa ampun. Leonhart mengangkat tubuh Aurora dengan mudah, membawanya ke ranjang besar di tengah ruangan. Ia melemparkan gadis itu ke atas kasur, lalu menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, napasnya berat. “Kau berbahaya,” gumamnya serak. “Benar-benar berbahaya.” Aurora tersenyum genit, menjilat bibirnya perlahan. “Lalu kenapa kau tetap menginginkanku?” Leonhart mendengus kasar. “Karena daya pikatmu terlalu kuat sehingga aku tidak bisa berhenti, Nona Smith.” Aurora tersenyum genit sambil mengerlingkan matanya, membuat Leonhart semakin tak tahan. “Kau... Sialan!” Dalam hitungan detik, Leonhart sudah di atas Aurora, merengkuh tubuh mungil itu dengan rakus. Tangannya mengoyak kemeja Aurora, membebaskan kulit pucat itu untuk disentuh, diciumnya dengan brutal. Aurora mendesah keras saat Leonhart menciumi lehernya, menggigit kecil, meninggalkan tanda. “Tubuhmu ini...” bisik Leonhart penuh lapar, “membuatku ketagihan.” Aurora menggeliat, matanya setengah terpejam. Ia tahu, ia telah menangkap perhatian pria ini sepenuhnya. Leonhart menciumi setiap inci tubuh Aurora, seolah berusaha menandainya, memilikinya. Ketika akhirnya mereka benar-benar melebur, ruangan itu dipenuhi desahan, cengkeraman, dan bisikan penuh hasrat kenikmatan. “Ahh, kau membuatku candu...” desah Leonhart seiring dengan pelepasannya yang membuat tubuhnya bergetar hebat. Pria itu jatuh lemas di atas tubuh Aurora. Aurora balas mengunci tubuhnya dengan senyum penuh kemenangan. Setelah badai kenikmatan itu reda, mereka terbaring berpelukan dalam keheningan yang berat. Leonhart membelai rambut Aurora, tatapannya kelam namun lembut. “Aku tergila-gila padamu, Aurora,” gumamnya rendah. Aurora menoleh, mengangkat wajahnya ke arah Leonhart. “Kalau begitu...” bisiknya pelan, “kau harus tahu sesuatu.” Leonhart mengernyit, menunggu. Aurora tersenyum samar, matanya berkilat licik. “Semua ini... tidak gratis.” Keheningan mencekam memenuhi ruangan. Leonhart menatapnya lama, sebelum akhirnya mengeluarkan tawa kecil, rendah, mengerikan. “Aku tidak peduli,” katanya serak, “kau mau berapa pun. Aku akan membayar.” Aurora tersenyum, puas. Tapi sebelum ia sempat menikmati kemenangannya, Leonhart mencengkeram dagunya, menarik wajah Aurora lebih dekat. “Dengan satu syarat,” bisiknya berbahaya. “Kau hanya milikku. Hanya menjadi wanita pemuas untukku.” Aurora membeku. “Kalau kau menyentuh pria lain...” lanjut Leonhart, suaranya menurun menjadi ancaman maut, “aku akan menghancurkan dunia mereka dan juga duniamu.” Aurora menahan napas, merasakan kengerian sekaligus ketertarikan liar yang tak bisa dijelaskan. Leonhart menatapnya dalam, penuh obsesi. “Ingat itu, Aurora Smith.” Dan sebelum Aurora sempat menjawab, Leonhart kembali menunduk, mencium gadis itu dengan rakus, seolah ingin menandai dan menelan seluruh jiwa Aurora. Di sudut ruangan, tanpa mereka sadari, sebuah kamera kecil tersembunyi menyala, merekam seluruh adegan panas mereka tanpa ampun.“Selena calling…”Aurora membeku.Seolah disengat listrik, seluruh tubuhnya kehilangan panas yang tadi membakar. Matanya menatap layar ponsel itu, lalu beralih ke wajah Leonhart. Tatapan pria itu kosong sesaat—lalu berubah gelap. Ia meraih ponsel, menatapnya, tapi tak langsung menjawab.Aurora menggigit bibirnya. Suara napasnya masih tercekat, dadanya naik-turun, namun kini bukan hanya karena gairah—melainkan karena sesak yang tiba-tiba muncul di dada.Selena.Dia mengenalnya. Wanita itu sering muncul di koridor kantor, melenggang percaya diri dengan blouse ketat dan senyum yang terlalu manis saat berbicara dengan Leonhart. Beberapa kali Aurora bahkan memergoki Selena menyentuh lengan Leonhart terlalu lama, atau membisikkan sesuatu terlalu dekat.Aurora menarik napas dalam. Ia memalingkan wajah ke jendela, mencoba menenangkan degup jantung yang kacau.Namun Leonhart menangkap dagunya, memutar wajahnya paksa agar kembali menatapnya."Kenapa berpaling?" tanyanya rendah, namun tajam.Aur
Saat tengah malam, Aurora berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang remang, hoodie abu-abunya setengah menutupi wajah. Nafasnya berembus putih di udara malam yang dingin. Matanya menyapu jalan sepi, sampai lampu sorot mobil hitam muncul perlahan dari tikungan. Rolls Royce hitam itu berhenti tepat di depannya. Kaca jendela depan perlahan turun. “Masuk,” suara Leonhart terdengar tegas dari balik kemudi. Aurora menelan ludah. Ia masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Aroma kulit dan parfum mahal langsung membungkusnya. Mereka diam beberapa saat. Mobil melaju. Namun bukan ke arah pusat kota, juga bukan ke mansion Leonhart. Aurora mengerutkan kening. “Kita... mau ke mana?” Leonhart tak menjawab. Fokus pada jalan. Wajahnya gelap, rahangnya mengeras. Aurora menggigit bibir. “Aku—maaf soal tadi. Aku benar-benar harus menemani Ibu—” “Kenapa kau tak membalas pesanku seharian?” potong Leonhart, dingin. “Aku... sibuk. Di ruang operasi. Aku... aku takut mengganggumu dengan k
Setelah malam panas itu, keesokkan harinya Aurora kembali ke apartemen kecilnya untuk mengganti pakaiannya. Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. ia pun duduk di tepi ranjang untuk melihat notifikasi apakah itu.Ia terdiam menatap layar ponselnya. Seseorang telah mentransfer sejumlah uang dalam nominal besar. Angka itu membuatnya nyaris terjatuh.Transfer masuk: $500.000Pengirim: Leonhart D’AmicoJantungnya berdentum hebat. Itu bukan mimpi. Bukan khayalan. Angka nol yang berderet itu nyata. Membanjiri rekeningnya dan menyulut satu hal yang sudah lama ia kubur dalam-dalam: harapan.Tanpa menunggu lama, Aurora segera meraih jaket dan tas kecilnya. Langkahnya menyusuri lorong apartemen sempit, lalu memanggil taksi ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Hari itu, ia hanya punya satu tujuan: menyelamatkan ibunya. Apapun caranya.Aurora langsung menuju rumah sakit di mana Ibunya dirawat. Tujuannya saat ini adalah loket administrasi. “Pembayaran diterima, Miss Smith.”Petugas administrasi
Ciuman itu liar, brutal, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung.Aurora membalas dengan semangat yang sama, menyalurkan semua dendam, keinginan, dan rasa sakit yang selama ini dia kubur.Tangan Leonhart menjalar ke pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengan tubuhnya.Aurora melilitkan tangannya di leher pria itu, membalas ciumannya dengan gigitan kecil di bibir bawahnya yang membuat Leonhart menggeram rendah, liar.Mereka seolah kehilangan diri dalam badai gairah.Tangan Leonhart bergerak turun, mengusap garis pinggang Aurora, lalu mengangkat tubuhnya dengan mudah, menekan tubuh mungil itu di dinding. Aurora melilitkan kakinya di pinggang Leonhart.Dalam kepungan ciuman dan desahan, Aurora bisa merasakan... ini bukan hanya tentang hasrat.Ada sesuatu yang lebih dalam.Sesuatu yang menakutkan... dan membahayakan.Karena saat Leonhart mencengkeramnya, saat napas mereka bertaut, Aurora tahu, pria ini bisa menghancurkannya.Dan mungkin... mungkin dia jug
Leonhart D’Amico.Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap, dasinya hitam polos, rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, membingkai wajah yang begitu tampan namun dingin. Mata kelamnya mengangkat dari dokumen di tangannya dan bertemu langsung dengan mata Aurora.Untuk sesaat, dunia seolah membeku.Mata itu... mata yang sama yang menatapnya dalam kegelapan malam itu.Aurora bisa melihat kilatan keterkejutan di sorot mata pria itu. Sangat cepat, sangat samar, tapi nyata. Sebuah kerutan kecil muncul di antara alis Leonhart sebelum ia menghilangkannya secepat kilat, kembali ke ekspresi datar dan dingin.Aurora menggigit bibirnya. Dadanya bergemuruh liar.“Silakan duduk,” suara Leonhart terdengar rendah, serak, namun sangat terkontrol.Aurora duduk perlahan, menahan seluruh gemetar dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan tatapan pria itu membakar kulitnya, seolah menyayat semua lapisan ketenangannya.Leonhart meletakkan dokumen di mejanya, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan si
Aurora berdiri terpaku di depan kamar rawat inap. Napasnya terasa berat, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Di atas ranjang rumah sakit yang serba putih itu, sosok Ibunya tampak jauh lebih kecil dan rapuh dibandingkan yang ia ingat. Selang infus menempel di tangan kurus itu, dan wajahnya yang pucat membuat Aurora merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh perlahan. “Ibu...” bisik Aurora, suaranya bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang hampir keluar. Sang Ibu membuka matanya perlahan, tersenyum lemah. “Aurora... kamu datang...” Aurora menggenggam tangan ibunya, membiarkan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Ibu... jangan khawatir soal biaya, ya. Aku... aku akan segera mendapatkannya,” katanya dengan suara parau, berusaha terdengar kuat walau hatinya remuk. Namun sang Ibu hanya menggeleng pelan, air mata menggenang di sudut matanya. “Nak... Ibu tidak mau jadi beban ka
Di lantai tertinggi sebuah hotel mewah yang menghadap gemerlap Broadway, malam membeku dalam keabadian sunyi. Aurora terhuyung, napasnya berat, kulitnya seolah membara di bawah balutan kemeja tipis yang kini terasa terlalu panas. Matanya, setengah terpejam karena efek wine dan obat perangsang yang diminumnya. Seorang pria bertubuh tinggi, berjas gelap sempurna, dengan aura yang menggetarkan, menggendong tubuh mungil itu dalam pelukannya. Langkahnya mantap saat ia membaringkan Aurora di atas ranjang berseprai putih bersih, beraroma segar lavender dan kekayaan. Pria itu menatapnya sejenak, seolah ragu. Ia bukan pria yang bisa tidur dengan sembarang wanita. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Namun sebelum sempat menjauh, tangan mungil Aurora—gemetar, lemah, tapi penuh keputusasaan—meraih dasinya. Ia menariknya ke arah wajahnya, menghapus jarak di antara mereka hingga wajah mereka hanya tinggal beberapa senti. Mata mereka bertemu. Aurora bisa melihat dirinya sendir
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aurora, memaksa kepala wanita muda itu menoleh ke samping. Rasa panas segera menjalar di kulitnya, membuat matanya berkaca-kaca, tetapi dia menahan air matanya dengan segenap kekuatan. “Katakan sekali lagi!” seru seorang wanita bergaya edgy dengan riasan tebal—Emily Lorenz, suaranya tajam mengiris udara sore di dalam mansion megah itu. “Aku wanita yang merebut Ayahmu?! Hah?!” Aurora menahan napas, lidahnya hampir kelu. Tapi rasa sakit di pipinya kalah dibandingkan luka di hatinya. Ia mengangkat wajahnya, menatap Emily dengan mata penuh dendam. “Ya!” suaranya bergetar namun lantang. “Kau hanya selingkuhan Ayahku! Tapi kau mendapatkan segalanya! Aku... aku hanya minta sedikit bagianku... untuk operasi Ibuku!” Emily menghela napas panjang dengan ekspresi jijik. Ia berbalik sambil mengisap rokok di jemarinya, kemudian meniupkan asap ke langit-langit, seperti merendahkan Aurora hanya dengan keberadaannya. “Bahkan ibumu,” Emily menyer