Wanita Pemuas Sang CEO

Wanita Pemuas Sang CEO

last updateLast Updated : 2025-05-17
By:  FantaziaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
96views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Aurora berusaha merayu seorang Leonhart D'Amico demi membalaskan dendamnya pada selingkuhan sang Ayah. Di tangan Leonhart, Aurora dijadikan seorang wanita pemuas khusus untuk dirinya sendiri. Malam-malam penuh gairah mereka lalui, tanpa ada rasa cinta dan ikatan. Akankah Aurora berhasil membuat Leonhart bertekuk lutut untuk melancarkan dendamnya? Atau justru malah terjebak di dalam permainannya sendiri?

View More

Chapter 1

Bab 1 - Hampir Terjebak

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aurora, memaksa kepala wanita muda itu menoleh ke samping. Rasa panas segera menjalar di kulitnya, membuat matanya berkaca-kaca, tetapi dia menahan air matanya dengan segenap kekuatan.

“Katakan sekali lagi!” seru seorang wanita bergaya edgy dengan riasan tebal—Emily Lorenz, suaranya tajam mengiris udara sore di dalam mansion megah itu. “Aku wanita yang merebut Ayahmu?! Hah?!”

Aurora menahan napas, lidahnya hampir kelu. Tapi rasa sakit di pipinya kalah dibandingkan luka di hatinya. Ia mengangkat wajahnya, menatap Emily dengan mata penuh dendam.

“Ya!” suaranya bergetar namun lantang. “Kau hanya selingkuhan Ayahku! Tapi kau mendapatkan segalanya! Aku... aku hanya minta sedikit bagianku... untuk operasi Ibuku!”

Emily menghela napas panjang dengan ekspresi jijik. Ia berbalik sambil mengisap rokok di jemarinya, kemudian meniupkan asap ke langit-langit, seperti merendahkan Aurora hanya dengan keberadaannya.

“Bahkan ibumu,” Emily menyeringai, “tidak berhak atas harta peninggalan mendiang Ayahmu, Aurora.”

Perkataan itu menghantam Aurora lebih keras daripada tamparan sebelumnya. Dunianya terasa runtuh. Segala harapan, segala rasa hormat yang tersisa, sirna. Dengan langkah berat dan harga diri yang remuk, Aurora berlutut di hadapan wanita itu.

“Emily, aku mohon...” suaranya pecah menjadi isakan. “Ibuku butuh dioperasi. Dia satu-satunya yang aku punya.”

Emily menatapnya sekilas, dingin seperti batu. Dengan gerakan malas, ia menarik dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu melemparkannya ke lantai di depan Aurora, seakan-akan melemparkan sampah.

“Itu cukup untuk ongkos taksi,” katanya, nadanya mengejek. “Sekarang enyah! Sebelum suamiku melihatmu.”

Rasa malu dan marah bercampur di dada Aurora. Tangannya gemetar saat ia memungut lembaran uang yang berserakan. Tapi kemudian, dengan keberanian terakhir yang masih tersisa, Aurora melemparkan uang itu ke wajah Emily.

“Aku bersumpah,” katanya parau, “aku akan membalas semua perbuatanmu, Emily!”

Wajah Emily memerah karena amarah. Ia hendak menampar lagi, namun Aurora dengan cepat menepis tangannya dan berbalik meninggalkannya tanpa menoleh.

Setiap langkah Aurora keluar dari mansion itu terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Rumah yang dulunya penuh tawa bersama sang Ibu, kini menjadi istana untuk wanita yang merebut segalanya.

Saat berjalan melewati gerbang utama, matanya tanpa sengaja menangkap sosok pria tampan dengan kacamata hitam turun dari mobil hitam mewah. Pria itu melirik sekilas ke arahnya, tatapan dalam yang membuat Aurora terdiam beberapa detik.

Aurora merasa pernah melihat wajah itu... di surat kabar, mungkin, atau di berita TV?

Namun kesedihan yang mendera pikirannya membuat ia mengabaikan rasa penasaran itu. Ia harus segera mencari cara untuk biaya operasi ibunya.

Beberapa jam kemudian, di tengah malam Manhattan yang dingin.

Aurora duduk sendirian di sudut bar mewah, Velvet Haze, terbenam dalam dentuman musik pelan dan lampu temaram. Gelas-gelas kosong berjejer di depannya, saksi bisu keputusasaan yang menelannya.

Seketika dunia terasa begitu asing, begitu kejam.

Ia meneguk lagi minumannya, berharap mabuk bisa menghapus rasa sakit yang menggerogoti jiwanya.

“Apa gunanya bertahan?” gumamnya lirih.

Pintu pertahanannya hampir runtuh. Ibunya bisa saja pergi kapan saja jika operasi tidak segera dilakukan. Tapi bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Ia bukan siapa-siapa di kota ini.

Saat pikirannya melayang jauh, seorang pria asing mendekat. Usianya sekitar awal lima puluhan, dengan senyum manis yang terlihat dipaksakan. Ia menyodorkan segelas wine merah ke hadapan Aurora.

“Untuk gadis secantik kau... jangan pernah minum sendirian,” katanya sambil mengedipkan mata.

Aurora menatapnya sekilas, samar. Pikirannya sudah kabur. Ia mengangkat gelas itu dan meneguk isinya hingga habis tanpa berpikir dua kali.

Pria tua itu tersenyum licik, memperhatikan Aurora yang mulai kehilangan kendali atas tubuhnya.

Beberapa menit berlalu. Aurora merasakan panas aneh menjalar di tubuhnya, kepalanya berputar, dan pernapasannya menjadi berat. Ia ingin berdiri, tapi lututnya lemas. Pria itu dengan cepat merangkulnya, memanfaatkan kondisi Aurora.

“Hei... jangan sentuh aku...” bisik Aurora dengan lemah, mencoba mendorong pria itu. Namun tubuhnya terlalu lemah.

Pria itu malah tertawa kecil, menggeser tangan Aurora ke pinggangnya. “Santai saja, Baby... malam ini kau milikku.”

“Lepaskan tangan kotormu itu!” teriak Aurora.

Namun pria itu tak mengindahkan perkataannya, dia malah semakin merapatkan tubuhnya pada Aurora.

Aurora menggeliat, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu dengan sisa tenaga, sebelum akhirnya mendorong pria tua itu dengan kekuatan terakhir dan berlari keluar dari bar, menembus udara malam Manhattan yang dingin.

Di jalanan sepi, hanya lampu neon yang menemani. Aurora berlari sempoyongan, sementara pria itu mengejarnya.

“Berhenti, cantik!” teriak pria itu dari belakang.

Aurora hampir jatuh beberapa kali. Nafasnya memburu. Dunia di sekelilingnya berputar cepat. Efek alkohol dan obat dalam minuman itu benar-benar menghancurkannya.

Saat sampai di depan sebuah minimarket kecil, pria itu akhirnya berhasil meraih lengannya. Aurora menjerit, berusaha melepaskan diri.

“Tolong!” jeritnya putus asa.

Tapi tak ada yang peduli. Manhattan bukan tempat bagi mereka yang lemah.

Pria tua itu menyeringai, menarik Aurora lebih erat ke tubuhnya. Tangannya meraba tanpa malu.

Namun tiba-tiba—

Bug!

Sebuah pukulan keras mendarat di wajah pria itu, membuatnya jatuh terjengkang dan melepaskan Aurora.

Aurora tersungkur ke trotoar, tubuhnya bergetar hebat.

Pria tua itu sempat ingin melawan, tapi melihat sosok baru yang menjulang di hadapannya—tinggi, dingin, dan memancarkan aura berbahaya—dia memilih kabur ketakutan meninggalkan Aurora di sana.

Sosok itu menunduk, memperhatikan Aurora yang terisak pelan. Aurora mendongakkan kepalanya. Ia mengernyitkan kening. “Kau ...”

Pria itu... wajahnya tampak tak asing. Ada sesuatu yang familiar.

Pria berwajah datar itu hendak pergi, membiarkan Aurora di situ.

Namun, tiba-tiba Aurora meraih tangan jasnya dengan sisa kekuatan. “Tolong... jangan tinggalkan aku...” lirihnya.

Pria itu terdiam menatap Aurora.

“Aku mohon...” Aurora memberanikan diri menggenggam tangan pria itu. Rasanya dingin.

Pria itu menatap tangannya sendiri, lalu menghela napas dalam-dalam. Ia membungkuk, mengangkat Aurora dengan hati-hati ke dalam pelukannya, membawanya ke mobil hitam mengkilap yang terparkir di dekat situ.

Di dalam mobil, Aurora meringkuk di kursi belakang, bergumam tak jelas. Sesekali dia meracau, sesekali tertawa kecil tanpa alasan.

“Alamatmu?” tanya pria itu, suaranya berat dan dalam.

Namun Aurora malah memajukan tubuhnya, mendekat ke kursi depan. Ia meniupkan napas panas ke leher pria itu, membuat tubuh pria itu menegang seketika.

“Aku... mau lupakan semuanya malam ini... Bawa aku ke mana saja, Tuan...” bisik Aurora dengan suara serak.

Pria itu melirik ke belakang, menatap mata Aurora, matanya berbahaya. Ia hampir kehilangan kendali. Tapi ia masih bertahan.

Namun Aurora tidak berhenti. Ia melompat ke kursi kosong di depan, kemudian meraih dasi pria itu, menariknya mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

“Tolong... aku mau melupakan semuanya... malam ini saja...” isaknya. Efek dari obat perangsang itu membuatnya menginginkan sentuhan dari seorang pria.

Pria itu memejamkan mata, bergumul dalam dirinya sendiri. Hingga akhirnya ia mendesah pelan dan melajukan mobilnya, menuju hotel paling mewah di Manhattan.

“Kau yang memintanya, Nona,” bisik pria itu sembari menyeringai membawa Aurora masuk

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status