“Amber, kamu mau ke mana, Sayang?” ujar seorang pria dengan rambut memutih seraya melingkarkan tangannya ke pinggang wanita bertubuh molek di pinggir ranjang. Dengan sebuah senyuman mesum yang terlukis di wajahnya, pria itu memelas, “Apa tidak bisa kita melakukannya sekali lagi?”
Wanita bernama Amber itu menoleh. Dia tertawa sinis, lalu menepis tangan pria itu dari pinggangnya seraya menjawab, “Kamu tahu peraturannya, ‘kan? Aku hanya menerima satu kali transaksi tanpa ada pengulangan.”
Pria tersebut memasang wajah kecewa. “Huh? Apa aku tidak mendapatkan pengecualian? Aku ini sang menteri, Amber. Aku—”
Amber meletakkan jari telunjuk di bibir seksinya yang tersapu gincu merah menyala. “Tidak ada pengecualian. Sebelum para tamu melakukan transaksi, mereka jelas sudah diberitahukan mengenai syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi.”
Pria berusia 45 tahun itu tertawa. Sebagai seorang petinggi pemerintahan di Kota A, ia memiliki kekuasaan, uang, dan juga dikelilingi wanita. Bisa-bisanya wanita di hadapannya ini, seorang penghibur kelas kakap, menolak keinginannya. Memang hanya dia yang berani. Lagi pula, hanya pria berkuasa yang mampu bermalam dengannya.
“Kalau begitu, untuk membuatmu mendesah di bawah tubuhku, aku harus membuat janji temu lagi?” tanya pria paruh baya itu dengan nada satir, mengejek profesi Amber.
“Menteri kita pintar juga,” balas Amber sinis selagi turun dari tempat tidur tanpa memakai busana. Karena sisa-sisa percintaan masih melekat di seluruh tubuhnya, kaki mulus wanita itu melangkah menuju kamar mandi. “Jika sudah tahu, untuk apa bertanya?”
Sesampainya di kamar mandi, Amber menghadap kaca sembari mengangkat kedua tangan, sebuah usaha untuk menggelung rambut panjangnya. Kulitnya yang putih dan halus, serta lehernya yang jenjang menantang pria paruh baya di tempat tidur tersebut untuk kembali menyentuhnya.
Melihat wanita itu tanpa sehelai pun benang di tubuhnya, pria itu meneguk ludah. “Amber, kamu benar-benar sempurna. Kenapa kamu tidak mau kujadikan simpananku?”
“Bermimpilah terlalu tinggi, dan kamu akan terjatuh begitu keras,” balas Amber sembari tertawa rendah. “Lagi pula, tidak ada satu pria yang bisa memuaskanku,” jawabnya sarkastis sebelum akhirnya menutup pintu.
Amber Johns, tahun ini baru saja menginjak usia 23 tahun. Siapa yang tidak mengenal namanya? Wanita dengan paras bak dewi yang ditemani tubuh molek itu merupakan seorang penghibur kelas atas. Harga yang perlu dibayar untuk menghabiskan malam dengannya bisa disetarakan dengan sebuah mobil Porsche terbaru dan termahal. Dia jelas tidak akan melupakan sosok yang menyebabkan dirinya bisa berada di posisi sekarang.
Di dalam kamar mandi, Amber tersenyum pahit sambil memperhatikan dirinya sendiri. Sempurna … tidak ada sedikit pun cacat pada tubuhnya. Tidak ada wanita yang tidak iri dengan segala lekukan di tubuhnya, dan tentu saja, kekayaannya. Uang dan status bukan masalah untuknya, bahkan wanita itu bisa membuat pria berkuasa mana pun berlutut di kakinya. Namun … apakah dia menginginkan ini semua? Apakah dia benar-benar bahagia dengan apa yang dia punya? Siapa yang ingin menjadi wanita penghibur jika diberi pilihan?
Amber menyeka kabut di cermin dengan tangan kanannya, manik keemasannya memandang sosok yang ada di pantulan cermin itu, individu yang merupakan tameng yang Amber ciptakan sendiri. Kini, dirinya bagaikan cangkang kosong, tanpa adanya jiwa yang hidup di dalamnya.
Selesai membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi, sebuah suara mengejutkan Amber dengan tiba-tiba berkumandang, “Kerja bagus, Amber.” Seorang wanita dengan pakaian profesional berdiri di dekat tempat tidur dengan sebuah senyuman tipis. “Pak Menteri memberikan tip cukup banyak,” imbuh wanita yang tak lain merupakan sekretaris pribadi Amber.
“Ada apa, Selena? Tidak biasanya kamu menerobos masuk kamar secepat ini,” balas Amber seraya berjalan ke meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya.
Dari cermin meja rias, Amber menyadari bahwa sekretarisnya masuk sambil membawa sebuah buku bersampul kulit di tangan kirinya. Hal itu menandakan bahwa Selena akan berbicara mengenai klien berikutnya.
Selena meletakkan buku yang telah Amber perhatikan ke atas meja rias. “Seorang pria mengirimkan pesan, dengan hanya menyebutkan nama dan mengirimkan foto diri, atasan pria itu ingin memesanmu.”
“Hanya nama dan foto diri?” ulang Amber seraya meletakkan pengering rambut dan membuka buku di hadapan untuk menatapnya sekilas.
“Dia menolak untuk memberikan informasi lebih banyak. Tapi tentu saja, aku sudah menggali informasi lelaki tersebut. Semua ada di buku itu,” jelas Selena.
Mendengar hal itu, Amber mendengus. Dia pun menjawab singkat sembari mulai menyalakan pengering rambutnya lagi, “Tolak. Aku tidak suka pria arogan.”
“Amber, lelaki ini berbeda!” seru Selena sembari mengangkat tiga jari. “Dia sanggup membayarmu tiga kali lipat dari klien-klien lain. Kamu yakin akan menolak tawarannya?” Wanita itu memainkan satu alisnya, memberikan kode pada Amber untuk membaca lebih lanjut buku yang berada di hadapannya.
Mendengar komentar dari Selena menggugah niat Amber untuk meraih buku tersebut. Wanita itu pun mulai membaca isinya dengan saksama. Dalam hitungan detik, pandangan Amber terpaku pada sebuah nama di urutan paling atas.
‘Dominic Grey?’ batin Amber, merasa familiar dengan nama tersebut. ‘Tidak mungkin … pria itukah?’
“Amber Moore!” Teriakan seorang pemuda terngiang di benaknya, membuat Amber menutup mata.
Seketika, ingatan Amber tergugah untuk memanggil memori masa lalu. Kala itu, semua orang memandang ke arahnya, seorang gadis lugu berkacamata dengan penampilan menggelikan. Bukan, bukan karena penampilannya dia menjadi pusat perhatian, melainkan karena pemuda berpenampilan menawan yang berdiri di hadapannya sambil menuding dengan telunjuk kanannya.
“Jangan bersikap seperti wanita murahan!”
Satu ucapan itu membekas dalam diri Amber. Sebuah kalimat yang memicu perubahan dalam hidupnya.
“...ber! Amber Johns!” Guncangan sang sekretaris di pundak membangunkan Amber dari lamunannya. “Astaga, aku pikir kamu kerasukan! Kamu dengar apa yang kubilang barusan?” tutur wanita itu dengan alis bertautan.
Amber mengerjapkan mata. “Maaf, sepertinya aku kelelahan,” ujarnya seraya memijat pelipisnya. “Kamu tadi bilang apa?”
Selena menggeram rendah dan menunjuk pada dua buah foto yang sekarang tergeletak di atas meja rias, tepat di samping buku berisi daftar klien Amber. “Ini fotonya.” Foto itu menunjukkan tampak wajah beserta perawakan tubuh dari lelaki yang bernama Dominic Grey.
Amber tak dapat menjelaskan apa yang dia rasakan saat itu. Wajah tampan dengan fitur rahang yang begitu tegas, kedua bola mata berwarna cokelat terang, hidung mancung, bibir tipis, semua adalah selera Amber. Baru kali ini dia merasakan desiran darah mengalir ke wajahnya hanya karena melihat paras seorang lelaki, terlebih hanya melalui sebuah foto.
Apa itu semua tanda bahwa dia tertarik dengan pria itu? Tidak sesederhana itu.
Isi kepala Amber memintanya untuk menjauhi pria itu, tak ingin memanggil kembali memori kelam masa lalu. Namun, hati dan ambisinya berkata lain. Kemunculan sosok bernama Dominic Grey itu membangkitkan hasrat dirinya untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan sejak dulu.
“Tentukan jadwal pertemuan,” ucap Amber. “Sesegera mungkin.”
“Sesegera mungkin? Bagaimana dengan klien yang lain?” tanya Selena, bingung dengan perubahan sikap Amber, berbeda dari biasanya yang taat aturan, tidak semena-mena mengubah jadwal seperti ini.
Amber mengisap sebatang rokok dan mengembuskan perlahan asap dari bibirnya. Sorot matanya yang tajam terlihat menggoda, tapi juga dingin di saat yang bersamaan.
“Batalkan saja,” ucap Amber pada akhirnya. “Katamu, klien yang satu ini berbeda, bukan? Sangat spesial … dan aku setuju.” Dia menyeringai sembari melirik foto Dominic. ‘Terlebih karena dia adalah mangsaku.’
Plak!Gadis dengan kacamata tebal itu dikejutkan dengan sebuah tamparan keras yang mendarat di pipi kanannya, menyebabkan kaca matanya terlempar entah ke mana..“Lo emang benar-benar jal*ng, ya! Nggak nyangka gue cewek penampilan polos kayak lo bisa jebak Dominic kayak gitu, pake digodain segala pula!” maki seorang senior perempuan yang tadi menamparnya dengan mata nyalang. “Kalau suka, kejar yang bener! Jangan main kotor! Dasar l*nte!”“Tidak. Aku sama sekali tidak menggoda atau menjebak siapa pun! Aku hanya--” Belum sempat Amber menyelesaikan kalimatnya, gadis lain menarik paksa rambut Amber yang dikuncir kuda, membuatnya meringis kesakitan. Cengkeraman yang kuat dari gadis itu membuat kepala Amber pusing, pandangannya yang sudah buram semakin membuyar. Ketika samar-samar dia melihat satu sosok familier berdiri di dekat pintu ruangan, dia berteriak, ‘Dom?’ Amber membatin lirih. “Tolong …,” pintanya dengan suara lemah. “Tolong aku ….” Namun lelaki itu mengacuhkannya, berbalik dan p
“Buka matamu, Amber.” Serangan kasar sang lelaki tak meninggalkan ruang bagi Amber yang kini berada tepat di depan cermin besar untuk menjawab. Dia hanya bisa memberikan balasan melalui lenguhan dan desahan selagi menyerahkan diri sepenuhnya untuk lelaki yang terus menggerayangi tubuhnyaDesakan dari Dominic memaksa Amber untuk membuka mata. Netranya disambut oleh pantulan tubuhnya yang berada di bawah kungkungan pria tersebut. Terlihat Dominic menarik kedua tangan rampingnya dan menahannya dari belakang, membuat Amber tak bisa berkutik.“Mengapa dirimu yang menikmati ini, Amber? Tidakkah memuaskan tamu adalah tugasmu, bukan tugasku?” Dominic bertanya dengan seringai licik di wajah tampannya. Amber tahu lelaki ini hanya menggodanya, dan itu menunjukkan bahwa dirinya telah kalah telak dalam pergumulan keduanya. ‘Sial!’Sejujurnya, Amber merasa harga dirinya tersakiti. Selama ini, dirinya selalu melayani klien-kliennya dengan kuasa. Namun entah apa yang merasuki dirinya, kali ini dia be
Ruangan yang tadinya hening tiba-tiba diisi dengan suara tamparan yang terdengar nyaring, tepat mengenai wajah Amber. “Dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Kamu benar-benar mempermalukan Ayah, Amber!” Rasa perih dari tamparan oleh gadis-gadis di sekolah sebelumnya semakin menjadi-jadi, tapi itu tidak sebanding dengan hatinya yang tersayat kata-kata sang ayah.Mendengar amarah ayahnya membuat Amber tidak bisa berkutik, hanya air mata yang turun dari wajahnya yang bisa menggambarkan isi hatinya. Gadis itu menatap nanar ayahnya. Ketika dia pikir akan mendapat dukungan dari keluarga satu-satunya yang ia miliki, dia justru mendapatkan hinaan dan tamparan dari ayahnya sendiri. “Bukan aku yang memulai semua ini! Aku tidak bersalah! Gadis-gadis itu yang melakukan ini karena—“ Belum selesai Amber menyelesaikan pembelaannya, sang ayah sudah menyela dengan kasar. Tidak berniat untuk mendengarkan Amber lebih jauh.“Tutup mulutmu!” geram sang ayah sembari menatapnya nyalang. “Pers*tan dengan apa
Seringai terpasang jelas di wajah Dominic, menggenggam sebuah kartu memori sambil keluar dari pintu lobi hotel. “Hah, dasar jal*ng kecil” batinnya. Netra cokelat muda milik lelaki itu ditundukkan ke kartu kecil di tangan kanannya.Aktivitasnya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam terparkir di depannya, menunjukkan seorang lelaki dengan setelan formal dan rambut yang disisir ke belakang. Lelaki yang merupakan asisten pribadi Dominic itu bergegas membuka pintu mobil dan mempersilakan dirinya untuk masuk.Sepanjang perjalanan, mata Dominic disibukkan oleh banyak pesan di ponsel pribadi miliknya. Barulah ketika selesai, pandangannya terangkat ke arah Will, asistennya. “Bagaimana dengan urusan muncikari di Kota B kemarin?” tanya Dominic.“Ulahnya mempengaruhi banyak klien dan juga wanita-wanita kita, Tuan. Sudah saya bereskan, kita tidak akan berurusan dengannya lagi.” jawab Will. Matanya masih fokus ke jalan sambil sesekali melirik ke atasannya.“Bagaimana dengan wanita-wanita di bawa
“Kamu mengatakan bagaimana dia bisa mengetahui identitasku? Seharusnya aku yang bertanya padamu, Will!” teriak Amber, masih merasakan kesal karena rencananya yang gagal. “Oh ayolah, Amber. Sekarang kamu melemparkan kesalahanmu itu kepadaku? Seharusnya kamu bisa lebih berhati-hati. Aku sudah beberapa kali mengingatkanmu, kan?” ucap Will sembari memutar bola matanya.Tak pernah sekalipun terlintas di kepalanya kalau Dominic akan mengetahui identitas wanita itu terlebih dahulu. Amber merasakan amarahnya meluap mendengar jawaban dari lelaki itu, mengingat ketika Selena menghampiri Amber di kamar hotel dan memberi informasi baru terkait pekerjaan Dominic yang sebenarnya. “Hati-hati? Kamu bahkan tidak memberitahuku sosok Dominic yang sebenarnya, Will! Apa kamu pikir bisa semudah itu untuk mengetahui profil lelaki yang ternyata merupakan seorang mafia bengis?!” Amber mendengus kesal di telepon.Meskipun kesal, Amber tidak akan melupakan sosok Will yang merangkulnya dulu. Ketika SMA, hanya W
Brak!Suara gebrakan di meja cukup menyita perhatian beberapa pengunjung yang ada di dalam restoran. Bukan hanya gebrakan, tapi dua orang lelaki menawan dengan warna mata yang sama itu memang sudah cukup menarik perhatian bagi siapapun yang melihat keduanya.“Perjodohan? Ayah sudah gila, ya? Memanfaatkanku sebagai alat transaksi?” Dominic sedikit mencondongkan tubuhnya, kedua matanya menatap tajam ke lelaki paruh baya dengan rambut sedikit memutih yang ada di hadapannya. “Kecilkan suaramu,” balas lelaki itu, seraya memberikan Dominic segelas air mineral dingin dan meletakkan di depan Dominic. Dominic merasakan wajahnya memerah, melihat ayahnya sendiri memasang wajah yang santai, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Zaman sekarang, mana ada lelaki yang ingin dijodohkan? “Aku tidak akan pernah setuju.” tegas Dominic sekali lagi, tidak ingin menerima perintah ayahnya. Dominic bukanlah pria menyedihkan, untuk apa mengikat diri dengan satu wanita, jika dengan wajahnya saja dia bisa mendat
Dominic mendongak cepat, terkejut melihat sosok wanita yang kini ada di depannya. Netranya disambut oleh manik keemasan milik Amber yang menatapnya dengan menggoda.Amber menaikkan satu alisnya sambil menyeringai, seakan mengejek Dominic dengan kehadirannya.“Kenalkan, ini putri saya, Amber Moore. Amber, ini Dominic Grey. Dia yang akan menjadi pasanganmu nanti.” Lelaki paruh baya dengan setelan berwarna biru dongker itu dengan bangga memperkenalkan putrinya pada kedua pria berbeda generasi di hadapannya saat ini. “Dominic Grey,” ucap Dominic seraya menyambut uluran tangan Amber. Keduanya beradu tatap, bersandiwara seakan tidak pernah mengenal satu sama lain. Jabatan itu tidak langsung dilepas, Dominic bahkan sempat mengelus jemari Amber sebelum melepas tangannya.Suasana di ruangan privat restoran itu terasa dingin ketika semua sudah duduk. Kedua lelaki paruh baya yang sudah lama tidak bertemu itu disibukkan dengan pembicaraan bisnis, membiarkan Amber dan Dominic. Amber membolak-bali
“Lakukan dalam dua minggu lagi.” Ucapan yang dikeluarkan dari mulut Dominic membuat Amber terkejut. Maniknya bergerak ke arah Dominic, mencari isyarat dari lelaki itu yang menunjukkan bahwa dia hanya bergurau. Namun, yang Amber dapatkan hanyalah wajah tampan Dominic yang menatapnya tanpa ekspresi. “Dua minggu? Apakah kamu yakin dengan keputusan itu?” tanya Jonathan, tidak percaya bahwa perjodohan atas dasar kerja sama perusahaannya akan berjalan dengan mudah. Ketika menjabat tangan Dominic untuk pertama kali, dia merasakan aura yang kuat dan dingin dari lelaki itu. Seakan, apa yang dia inginkan, pasti dia dapatkan. Oleh karena itu, Jonathan merasa terkejut dengan Dominic yang menerima perjodohan itu dengan senang hati.“Sangat yakin, Tuan Jonathan. Bahkan, saya sudah bicarakan ini dengan putri Anda tadi. Benar, Amber?” Dominic melirik Amber, menunggu jawaban. Wanita itu menatap Dominic dengan kilatan emosi di matanya, mencoba menahan amarah dengan menggigit bibirnya yang merah. Domi