Share

Apartemen

Penulis: Syatizha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-03 22:23:52

Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso.

Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.

Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos.

“Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?”

“Iya betul.”

Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.

“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.

“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.

“Oh udah buat janji?”

“Udah, Pak.”

Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...

“Ya sudah, mari saya antar.”

Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memiliki hati yang baik. Aku tersenyum menyambut baik niatnya.

“Mbak tunggu di sini. Mungkin sepuluh menit lagi Pak Dewa akan datang.”

Aku mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

Benar saja, baru saja menghempaskan bokong ke atas sofa, tepat sepuluh menit sosok laki-laki paruh baya itu memasuki gedung. Segera berdiri lalu menghampirinya.

“Pak Dewa,” sapaku ketika berdiri tepat di hadapannya.

“Rupanya kamu sudah datang. Ayo ikut dengan saya.”

Aku pun mengekori lelaki yang rambutnya mulai memutih itu.

Sepanjang jalan, para karyawan menyapanya dengan takzim. Kantor ini benar-benar luas. Aku harus bisa kerja di sini. Ambu dan Abah pasti bangga melihat anak perempuan satu-satunya menjadi karyawan di perusahaan besar.

Tiba di ruangan Pak Dewa, aku dipersilahkan duduk.

Laki-laki penuh wibawa itu menuju rak buku yang terletak di sudut kanan ruangan. Tangannya membawa beberapa lembar kertas dan dua buah buku tebal.

“Pelajari semua ini. Senin depan dites. Kalau lulus, bisa kerja di sini. Kalau tidak, saya minta maaf. Bagaimana pun saya tidak mau sembarangan menerima karyawan. Kamu paham?”

“Paham, Om!” jawabku semangat empat lima. Aku harus dapat membuktikan pada Pak Dewantara kalau aku bisa diandalkan!

“Oh iya, selama di kantor, kamu harus panggil saya Pak, jangan Om.”

“Oh iya, maaf Pak.” Pak Dewa tersenyum.

“Kalau gitu kamu boleh pulang. Datanglah senin depan. Nanti kamu di tes oleh Vera asisten saya. Kalau tidak ada yang ditanyakan, kamu boleh pulang.”

“Gak ada,Pak. Kalau gitu saya pamit dulu.” Aku pun beranjak setelah memasukan lembaran kertas ke dalam tas, dan menenteng dua buku tebal.

Kusalami tangan Pak Dewa seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali padanya.

***

Begitu tiba di kontrakan, langsung kubaca dan pelajari dua buku tebal itu.

Oh iya, sepertinya seminggu ini gak bisa kerja di tempat Bang Sur. Aku harus mengabarinya. Semoga saja dia kasih ijin.

“Aduh ... bakal sepi nih gak ada kamu, Lan.” Aku menghela napas mendengar tanggapan Bang Sur.

“Maaf, Bang. Cuma seminggu kok. Ini cita-cita Wulan, Bang. Pengen kerja di kantoran. Boleh ya, Bang?”

“Nanti kalau Wulan udah kerja di sana, apa Wulan berhenti kerja di sini?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Bang Sur pasti sangat khawatir kalau aku akan mengundurkan diri. Tidak dapat dipungkiri kalau aku adalah tambang emas untuknya.

“ Enggak, Bang. Malam harinya Wulan akan tetap kerja di situ.”

“Syukurlah. Ya sudah, kamu Abang ijinin. Tapi seminggu aja, ya?”

“Iya.”

“Mudah-mudahan kamu selalu sehat ya, Lan?”

“Aamiin. Doain biar Wulan sukses juga dong, Bang!”

“Iya. Abang yakin pasti Wulan sukses.”

“Makasih ya, Bang.”

Selesai menelepon, kembali kupelajari materi-materi dua buku itu.

Aku harus bisa. Harus bisa!! Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Harus aku buktikan pada orang-orang Desa, bahwa Wulandari binti Sutrisna bisa menjadi orang sukses! Pokoknya, mulai detik ini tidak akan aku biarkan keluargaku dicaci dan dihina lagi oleh mereka.

***

Tak menyangka, pagi-pagi sekali si Bandot tua sudah datang ke kontrakan.

“Ngapain ke sini?” tanyaku begitu pintu terbuka. Untung saja dua tetanggaku belum pada bangun.

“Om boleh masuk dulu, Lan?”

“Masuklah.” Kuikat rambut dengan asal. Pak Sutiyoso duduk di atas tikar. Maklum, tidak ada kursi. Kalaupun ada mau ditaro di mana. Kontrakan sempit begini.

Kedua mata Pak Sutiyoso mengitari ruangan. Aku tak peduli. Melengos ke dapur membawa segelas air putih.

“Gak usah repot-repot, Lan.”

“Cuma air putih," sahutku cuek.

Aku masih kesal dengan sikap Pak Sutiyoso saat di Mall. Laki-laki tua bangka ini diam saja ketika istrinya menghinaku di tempat umum.

“Ada apa, Om?” tanyaku ketus. Malas banget sebenarnya lihat bandot tua. Lelaki takut istri.

“Om minta maaf.”

“Maaf untuk?”

“Kejadian di Mall itu. Om gak tau kalau Ratna ada di sana.”

Aku diam. Enggan menanggapi.

“Lan, jangan marah ya?” Aku tetap cuek. Tak peduli dengan omongannya.

“Wulan gak mau maafin, Om?”

Menghela napas. Menatapnya lekat.

“Wulan gak suka dihina apalagi di caci maki di tempat umum! Wulan benci dengan sikap Om yang bisanya Cuma dieeeemm aja!” Akhirnya amarahku membuncah. Masih teringat akan caci maki istri Om Sutiyoso. Mentang-mentang orang kaya, seenaknya menghinaku.

Laki-laki itu beringsut mendekati. Telapak tangannya berusaha menggenggam tanganku, namun segera aku tepis.

“Wulan, Om benar-benar minta maaf. Gini deh, Om akan kabulin semua permintaan Wulan, asalkan Wulan mau maafin dan temenin Om lagi. Gimana?” Aku menoleh. Mencari kesungguhan dari bola mata laki-laki yang mungkin sudah seumuran dengan Abah.

Apa benar dia akan mengabulkan segala permintaanku? Oke, aku akan uji tawarannya.

“Beneran nih?”

“Iya, Sayang ....”

Idiiih ... rasanya mau muntah dengar panggilan itu.

Sabar, Lan ... kendalikan diri kamu. Gumamku dalam hati.

“Wulan mau maafin Om, asalkan Om mau ngabulin permintaan Wulan.” Kedua netra lelaki tua di hadapanku itu berbinar.

Wajah yang tadinya begitu sedih dan masam sekarang berubah berseri-seri. Dasar ABG expired!

“Iya, Sayang. Om pasti kabulin. Wulan mau minta apa?” tanyanya tak sabar.

Aku membuang muka, memerhatikan jarum jam yang sudah berada di angka enam.

“Wulan mau ....” Wulan sengaja menggantung kalimat sambil menggigit bibirnya membuat hasrat Sutiyoso mencuat.

“Ma-mau apa, Sayang?” Sutiyoso bertanya, suaranya terdengar bergetar karena tak tahan melihat sikap Wulan yang sensual. Wulan mendekati bandot tua itu, jemarinya memegangi dada Sutiyoso. Aliran darah Sutiyoso memanas menahan hasrat yang menggelora.

“Aku ingin ... hmmm ... ingin apartemen. Boleh 'kan?" Wulan sengaja mengedipkan sebelah mata membuat Sutiyoso tersadar dari lamunan liarnya.

"Bo-boleh, Sayang ... secepatnya Om akan membelikanmu apartemen. Om janji!"

Sontak, Wulan memeluk tubuh gendut itu dengan mesra sambil berucap, "Terima kasih Om ganteeenng ...."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status