Share

5. Menikahlah Denganku.

Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Tanjung sampai ke koridor panjang yang remang-remang dan jauh dari ingar bingar musik. Mengikuti punggung perempuan bergaun hitam tadi. Wanita itu menyusuri lorong ini dengan langkah terburu-buru.

Ia terus berjalan meskipun sudah kehilangan jejak dan tiak tahu di ruangan mana wanita itu masuk. Semuanya terlihat sama. 

Hingga ia mendengar bunyi ketukan sepatu yang bergema cepat dan suara umpatan. Suara itu semakin dekat sampai akhirnya ia bisa mendengar jelas makian apa yang tengah bergaung itu.

“Sial! Brata Berengsek! Dia kira aku sapi perah yang bisa menghasilkan uang seenak dia?! Sialan! Dia pikir aku tidak berani melukai tubuh atau wajahku untuk keluar dari sini? Lihat saja kau, Berengsek! Akan kuhancurkan club sialanmu ini!”

Rentetan umpatan itu membuat bulu kuduk Tanjung merinding, sampai ketika ia bisa melihat seorang perempuan tinggi yang berjalan cepat ke arahnya. Ia menyipitkan mata dan mengenali wanita itu.

Wanita yang sangat menarik itu. Tanjung menemukannya.

Perempuan itu hampir melewatinya ketika dengan cepat Tanjung meraih pergelangannya sehingga membuatnya terkejut.

“Siapa kau?” Bola mata yang serupa langit malam itu menatapnya bingung sekaligus semakin kesal. 

“Serina?” 

Serina mendecak. Tanjung sudah tahu meskipun wanita ini tidak menjawab. 

“Apa maumu?” 

Alih-alih menjawab, Tanjung malah melirik kertas-kertas dalam remasan tangan Serina. Sepertinya wanita itu terburu-buru.

 

“Aku ingin memberikan penawaran.” Tanjung tahu dirinya terlalu blak-blakan dan terburu-buru, tapi dia tidak boleh kehilangan wanita ini.

Serina menarik napas mencoba sabar, tapi kekesalannya terlihat jelas dari keningnya yang berkerut kasar. “Maaf, Tuan. Aku sudah mau keluar dari club sialan ini jadi cari perempuan lain saja.”

“Kau belum mendengar penawaranku.” Tanjung menatap lekat wanita itu.

Serina mengetatkan bibir. “Berapa banyak pun jumlah tawaranmu, aku tidak tertarik. Karena aku punya urusan lain yang lebih mendesak!”

Sial! Siapa sih laki-laki ini?! 

Serina melirik surat kontrak yang sudah lecek dalam genggamannya. Ia harus meminta penjelasan kepada Brata terkutuk itu!

Semoga kau impoten, Sialan! 

Umpatan itu dia tujukan kepada Brata, bukan untuk pria yang sepertinya berasal dari keluarga baik-baik ini—yang tahu-tahu datang dan memberikan penawaran.

Lihatlah bulu matanya yang panjang dan lentik, mengalahkan bulu mata Serina. Matanya yang bersinar keabuan, berkilat dan memandang penuh wajah Serina. Rahangnya berbentuk V, tapi tetap tajam dengan dagu yang sedikit terbelah. 

Dia terlihat polos namun berbahaya. 

Seperti tipikal laki-laki idaman yang bertanggung jawab namun pemberontak. Well. Serina menyukai karakter munafik yang seperti itu.

Dia akan senang hati meladeni laki-laki ini jika saja dia tidak harus segera menemui Brata sialan itu!

Semoga alat kelaminmu terbelah menjadi tiga, Sialan!

Lagi-lagi umpatan itu untuk Brata.

Serina melirik tangan yang menggenggam pergelangannya, dia telusuri lengan yang urat-uratnya menonjol itu. Dengan kemeja yang dibalut rompi yang melekat pas di tubuhnya serta lengan kemeja yang digulung sampai siku. Laki-laki ini terlihat menarik.

Serina bahkan bisa melihat otot-otot dada yang menyembul, pinggang yang ramping serta perut yang tercetak kotak dari balik rompinya. 

Well, setampan apa pun, laki-laki tetaplah laki-laki.

“Sekarang bisakah kau melepaskanku?”

Laki-laki itu mengabaikan. “Kau melamun sejak tadi. Apa masalahmu seberat itu?”

Serina memejamkan mata, sedikit malu karena yang ia lamunkan adalah penampilan lelaki ini.

“Nona Serina?”

Serina mendecak ketika laki-laki ini tak jua melepaskan pegangannya. 

“Aku bisa membantumu, tapi sediakan sedikit waktu untukku.”

Serina memicing. “Apa kau tipe laki-laki yang hanya tahan tiga menit? Apa kau bahkan tahu caranya foreplay?”

Laki-laki itu tidak menjawab, hanya wajahnya yang tiba-tiba menjadi datar.

“Atau kau perjaka? Mau diajari seks? Maaf, aku bukan guru seks. Jadi cari yang lain saja.” Serina mengibaskan tangan dan berusaha melepaskan diri dari lelaki itu.

“Bukan. Aku tidak ada niatan ke arah sana. Tolong dengarkan aku dulu.” Tiba-tiba mata itu sedikit memelas. 

Dan Serina diam tak berkutik. 

“Hanya sebentar.” 

Sial! Kenapa dia semakin memelas dengan wajah datar begitu? Serina bergumam kesal dalam hati.

“Baiklah, hanya lima menit.” Serina kembali ingin melepaskan tangannya, tapi lelaki itu mengabaikan. Ia mendecak.

Alih-alih melepaskannya, laki-laki itu malah maju semakin dekat hingga jarak di antara mereka amat sangat dekat, seperti jarak tubuh Brata dan neraka jahanam.

“Cepat, aku tidak punya waktu!”

Laki-laki itu menarik napas. “Aku Tanjung Maulana, kau bisa memanggilku Tanjung.”

Serina mendelik bosan. “Lalu?”

Tanjung terdengar ragu, matanya berputar seperti mencari kata-kata yang tepat. 

“Katanya kau mau pensiun dari tempat ini.”

Serina mendengus bosan. “Mohon maaf, aku belum jompo.”

Meski ia tahu kata pensiun bukan hanya untuk nenek-nenek jompo yang sudah kelewat umur untuk bekerja.

Tanjung mengabaikan. “Kalau begtu sebagai gantinya, bekerjalah untukku.”

Serina mendesah kesal. Sudah dia duga laki-laki ini akan menawarkan hal-hal yang buruk. 

“Aku tidak menjadi simpanan siapa pun.”

“Bukan simpanan, tapi is—"

“Ya bukan simpanan, tapi budak seks yang akan kau beli. Aku minta maaf, tapi aku tidak dibeli oleh siapa pun.”

“Aku tidak membelimu dan tidak akan menjadikanmu budak. Aku menawarkan pekerjaan lain yang lebih bagus dari ini.”

Serina mengerutkan kening berpikir keras. Bukan simpanan, bukan pula budak seks. Jangan-jangan … “Kau ingin aku jadi tukang kebunmu? Apa semua pekerja di rumahmu amat sangatttt good looking?”

Tanjung menarik napas tegang. “Bukan. Pekerjaan lain yang lebih besar dari itu.”

“Jangan berbelit-belit, Berengsek! Katakan apa itu!”

Tanjung terkejut, matanya terbuka lebar mendengar umpatan itu. “Ya … itu—“ Ia jadi lupa kata-kata apa yang akan dia ucapkan, padahal sudah ia susun dengan rapi dalam otaknya.

Serina menghentakkan kaki tidak sabar. Tanjung kian mendekat dengan jakun yang naik turun dan bahu lebarnya menutupi tubuh Serina. 

Lalu ia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar jelas. Serina mesti mengerutkan kening untuk menangkap kata-kata apa yang dia ucapkan.

“Riku.”

Kerutan di kening Serina semakin dalam. Apa itu riku?

“Ibu tiriku … menyingkirkannya.”

Tanjung mendaratkan telapak tangannya pada dinding di belakang Serina, benar-benar membungkus tubuh Serina. Deru napasnya terdengar berat. 

“Hei, Tuan Tanjung. Bisa bicara yang lebih jelas sedikit?” Serina mendorong dada laki-laki itu, tapi usahanya sia-sia. Tanjung sama sekali tidak bergerak.  

“Menikahlah denganku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status