Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Tanjung sampai ke koridor panjang yang remang-remang dan jauh dari ingar bingar musik. Mengikuti punggung perempuan bergaun hitam tadi. Wanita itu menyusuri lorong ini dengan langkah terburu-buru.
Ia terus berjalan meskipun sudah kehilangan jejak dan tiak tahu di ruangan mana wanita itu masuk. Semuanya terlihat sama.
Hingga ia mendengar bunyi ketukan sepatu yang bergema cepat dan suara umpatan. Suara itu semakin dekat sampai akhirnya ia bisa mendengar jelas makian apa yang tengah bergaung itu.
“Sial! Brata Berengsek! Dia kira aku sapi perah yang bisa menghasilkan uang seenak dia?! Sialan! Dia pikir aku tidak berani melukai tubuh atau wajahku untuk keluar dari sini? Lihat saja kau, Berengsek! Akan kuhancurkan club sialanmu ini!”
Rentetan umpatan itu membuat bulu kuduk Tanjung merinding, sampai ketika ia bisa melihat seorang perempuan tinggi yang berjalan cepat ke arahnya. Ia menyipitkan mata dan mengenali wanita itu.
Wanita yang sangat menarik itu. Tanjung menemukannya.
Perempuan itu hampir melewatinya ketika dengan cepat Tanjung meraih pergelangannya sehingga membuatnya terkejut.
“Siapa kau?” Bola mata yang serupa langit malam itu menatapnya bingung sekaligus semakin kesal.
“Serina?”
Serina mendecak. Tanjung sudah tahu meskipun wanita ini tidak menjawab.
“Apa maumu?”
Alih-alih menjawab, Tanjung malah melirik kertas-kertas dalam remasan tangan Serina. Sepertinya wanita itu terburu-buru.
“Aku ingin memberikan penawaran.” Tanjung tahu dirinya terlalu blak-blakan dan terburu-buru, tapi dia tidak boleh kehilangan wanita ini.Serina menarik napas mencoba sabar, tapi kekesalannya terlihat jelas dari keningnya yang berkerut kasar. “Maaf, Tuan. Aku sudah mau keluar dari club sialan ini jadi cari perempuan lain saja.”
“Kau belum mendengar penawaranku.” Tanjung menatap lekat wanita itu.
Serina mengetatkan bibir. “Berapa banyak pun jumlah tawaranmu, aku tidak tertarik. Karena aku punya urusan lain yang lebih mendesak!”
Sial! Siapa sih laki-laki ini?!
Serina melirik surat kontrak yang sudah lecek dalam genggamannya. Ia harus meminta penjelasan kepada Brata terkutuk itu!
Semoga kau impoten, Sialan!
Umpatan itu dia tujukan kepada Brata, bukan untuk pria yang sepertinya berasal dari keluarga baik-baik ini—yang tahu-tahu datang dan memberikan penawaran.
Lihatlah bulu matanya yang panjang dan lentik, mengalahkan bulu mata Serina. Matanya yang bersinar keabuan, berkilat dan memandang penuh wajah Serina. Rahangnya berbentuk V, tapi tetap tajam dengan dagu yang sedikit terbelah.
Dia terlihat polos namun berbahaya.
Seperti tipikal laki-laki idaman yang bertanggung jawab namun pemberontak. Well. Serina menyukai karakter munafik yang seperti itu.
Dia akan senang hati meladeni laki-laki ini jika saja dia tidak harus segera menemui Brata sialan itu!
Semoga alat kelaminmu terbelah menjadi tiga, Sialan!
Lagi-lagi umpatan itu untuk Brata.
Serina melirik tangan yang menggenggam pergelangannya, dia telusuri lengan yang urat-uratnya menonjol itu. Dengan kemeja yang dibalut rompi yang melekat pas di tubuhnya serta lengan kemeja yang digulung sampai siku. Laki-laki ini terlihat menarik.
Serina bahkan bisa melihat otot-otot dada yang menyembul, pinggang yang ramping serta perut yang tercetak kotak dari balik rompinya.
Well, setampan apa pun, laki-laki tetaplah laki-laki.
“Sekarang bisakah kau melepaskanku?”
Laki-laki itu mengabaikan. “Kau melamun sejak tadi. Apa masalahmu seberat itu?”
Serina memejamkan mata, sedikit malu karena yang ia lamunkan adalah penampilan lelaki ini.
“Nona Serina?”
Serina mendecak ketika laki-laki ini tak jua melepaskan pegangannya.
“Aku bisa membantumu, tapi sediakan sedikit waktu untukku.”
Serina memicing. “Apa kau tipe laki-laki yang hanya tahan tiga menit? Apa kau bahkan tahu caranya foreplay?”
Laki-laki itu tidak menjawab, hanya wajahnya yang tiba-tiba menjadi datar.
“Atau kau perjaka? Mau diajari seks? Maaf, aku bukan guru seks. Jadi cari yang lain saja.” Serina mengibaskan tangan dan berusaha melepaskan diri dari lelaki itu.
“Bukan. Aku tidak ada niatan ke arah sana. Tolong dengarkan aku dulu.” Tiba-tiba mata itu sedikit memelas.
Dan Serina diam tak berkutik.
“Hanya sebentar.”
Sial! Kenapa dia semakin memelas dengan wajah datar begitu? Serina bergumam kesal dalam hati.
“Baiklah, hanya lima menit.” Serina kembali ingin melepaskan tangannya, tapi lelaki itu mengabaikan. Ia mendecak.
Alih-alih melepaskannya, laki-laki itu malah maju semakin dekat hingga jarak di antara mereka amat sangat dekat, seperti jarak tubuh Brata dan neraka jahanam.
“Cepat, aku tidak punya waktu!”
Laki-laki itu menarik napas. “Aku Tanjung Maulana, kau bisa memanggilku Tanjung.”
Serina mendelik bosan. “Lalu?”
Tanjung terdengar ragu, matanya berputar seperti mencari kata-kata yang tepat.
“Katanya kau mau pensiun dari tempat ini.”
Serina mendengus bosan. “Mohon maaf, aku belum jompo.”
Meski ia tahu kata pensiun bukan hanya untuk nenek-nenek jompo yang sudah kelewat umur untuk bekerja.
Tanjung mengabaikan. “Kalau begtu sebagai gantinya, bekerjalah untukku.”
Serina mendesah kesal. Sudah dia duga laki-laki ini akan menawarkan hal-hal yang buruk.
“Aku tidak menjadi simpanan siapa pun.”
“Bukan simpanan, tapi is—"
“Ya bukan simpanan, tapi budak seks yang akan kau beli. Aku minta maaf, tapi aku tidak dibeli oleh siapa pun.”
“Aku tidak membelimu dan tidak akan menjadikanmu budak. Aku menawarkan pekerjaan lain yang lebih bagus dari ini.”
Serina mengerutkan kening berpikir keras. Bukan simpanan, bukan pula budak seks. Jangan-jangan … “Kau ingin aku jadi tukang kebunmu? Apa semua pekerja di rumahmu amat sangatttt good looking?”
Tanjung menarik napas tegang. “Bukan. Pekerjaan lain yang lebih besar dari itu.”
“Jangan berbelit-belit, Berengsek! Katakan apa itu!”
Tanjung terkejut, matanya terbuka lebar mendengar umpatan itu. “Ya … itu—“ Ia jadi lupa kata-kata apa yang akan dia ucapkan, padahal sudah ia susun dengan rapi dalam otaknya.
Serina menghentakkan kaki tidak sabar. Tanjung kian mendekat dengan jakun yang naik turun dan bahu lebarnya menutupi tubuh Serina.
Lalu ia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar jelas. Serina mesti mengerutkan kening untuk menangkap kata-kata apa yang dia ucapkan.
“Riku.”
Kerutan di kening Serina semakin dalam. Apa itu riku?
“Ibu tiriku … menyingkirkannya.”
Tanjung mendaratkan telapak tangannya pada dinding di belakang Serina, benar-benar membungkus tubuh Serina. Deru napasnya terdengar berat.
“Hei, Tuan Tanjung. Bisa bicara yang lebih jelas sedikit?” Serina mendorong dada laki-laki itu, tapi usahanya sia-sia. Tanjung sama sekali tidak bergerak.
“Menikahlah denganku.”
Yang tertangkap saat Serina membuka mata adalah cahaya remang-remang. Lampu besar di tengah kamar mati dan yang menyala hanyalah lampu tidur di atas nakas. Suasananya tidak seterang saat ia dan Tanjung memasuki kamar. Wangi parfumnya dan parfum Tanjung menyatu dan menyebar di seluruh ruangan. Meski pendingin ruangan tetap menyala seperti tadi, tapi rasanya tidak dingin sama sekali, sebab ada tubuh yang merangkumnya dengan cara yang sangat hangat. Punggung telanjangnya menempel pada dada bidang yang terasa keras namun lembut. Serina menggerakkan kepala, menoleh dan menemukan Tanjung yang terpejam dengan damai. Tak ada kegelisahan di wajah maha tampan itu dan Serina menyukainya. Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi jari jemari mereka menyatu di depan dadanya. Serina tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada perasaannya dan mengapa jantungnya berdebar halus namun penuh antusias. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa jijik saat mendapati seorang lelaki telanjang di atas ranjangny
Tangan kokoh itu mendekap pinggangnya, terasa kuat namun seolah tengah mencari kekuatan. Serina terbawa suasana, pada embus napas Tanjung yang melemah, hangat tubuhnya, serta irama jantungnya yang berdetak cepat. “Aku akan menemanimu.” Serina mengucapkannya bukan karena merasa kasihan, sebab hatinya ingin memberitahukan pada lelaki ini, bahwa dia, “… akan berada di sisimu.”Tanjung tak menjawab. Hatinya merasa senang sekaligus pedih. Haruskah ia percaya pada Tuhan dan membiarkan wanita ini berada di sisinya? Sebab ia tak menemukan jaminan Serina akan selalu baik-baik saja dalam tampungan atap istana Maulana. “Sudah tengah malam. Bawa dia ke kamarmu, Serina.” Ucapan tegas itu memotong dari arah belakang. Sebelum Tanjung mengangkat wajah dan hendak menengok ke belakang, Serina mendekap kepala lelaki itu dan kembali menenggelamkannya di dadanya. “Tidak, dia harus pulang, Izora.” Meski suara berat itu samar, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. Nada keberatan, lalu menghilang seol
Wanita itu masih ada di hadapannya. Kondisinya masih sama—menyedihkan, seperti mayat hidup yang enggan mati, tak jua bisa dikatakan hidup. “Dua puluh dua tahun aku mengurungmu di sini, itu belum cukup, Rahayu.”Rahayu yang tak lagi terlihat manis dan menawan itu menatapnya dengan bola mata yang melotot, mengerti perkataan Narumi, tapi tak punya susunan kata untuk membalasnya. Bibir pucat dan pecah-pecah itu berat untuk terbuka. “Dan selama itu pula, anakmu ada di tanganku. Kusiksa dan kumanfaatkan sesukaku.” Ucapan itu memantik keseluruhan diri Rahayu. Ia memberontak, hendak maju menerjang Narumi, tapi terhalang oleh rantai dan pasung. Rambut yang berantakan tak terurus, tubuh kurus kerempeng hingga tulang-tulangnya menyembul, pakaian yang seadanya dan sudah robek-robek serta warnanya tak lagi terlihat, luntur, dan kumal. Dia tak lagi bisa disebut manusia. “Ingat ini, Rahayu. Karena dosa-dosamu di masa lalu, anakmu jadi menderita.” Narumi ikut terbawa perkataannya sendiri. Piki
Meski sudah 22 tahun berlalu tanpa melihat sang ibu, Tanjung hafal betul wajah yang kerap kali tersenyum lembut padanya. Ia menanamnya di kepala selama ini selagi ia bertarung di rumah Maulana. Mungkin ibunya juga akan terlihat kurus dan tidak terawat, tapi jelas wanita ini bukanlah ibunya. Tinggi tubuhnya, sorot matanya, proporsi wajah, dan sentuhannya. Segalanya berbeda. “A-apa maksudmu?” Serina amat terkejut mendengar pengakuan Tanjung. Wanita itu bukan ibunya? Jelas-jelas perempuan itu adalah satu-satunya orang yang berada di tempat yang diam-diam selalu Narumi kunjungi.“Aku ibumu! Anakku!!” Wanita itu kembali mendekap Tanjung, tapi Tanjung mengurainya dengan kasar. “Anda bukan ibu saya!”Kekesalan di wajahnya benar-benar tercetak dengan jelas. Lebih daripada itu, ia amat kecewa. Harapannya melambung tinggi, tapi lagi-lagi ia terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Mungkin ini adalah pertama kalinya, Serina melihat wajah itu benar-benar mengerut penuh kekesalan. Bibirnya
Haruskah Serina mengakui jika dia juga menyukai cara lelaki ini menatapnya? Lembut, penuh penghormatan, dan rasa rindu yang dalam. Ia tak berani menyimpulkan terlalu jauh, sebab setiap lelaki yang mengaku tertarik padanya, tak pernah mencintainya. Mereka hanya terobsesi pada kecantikan seorang Serina, tapi lelaki ini berbeda. Matanya memandang dengan cara yang berbeda dari para lelaki bajingan itu. “Aku sudah banyak menyakitimu. Aku ingin melihatmu lagi, tapi tidak di rumah itu, tidak di tempat di mana Ibu akan mengancammu setiap hari.”Ah, dia sangat baik. Serina akhirnya bisa merasakan perasaan terenyuh. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menatapnya khawatir di atas ranjang. “Lalu, haruskah kita kabur saja? Tinggal berdua di rumah lain?”Ide yang diucapkan secara asal-asalan itu mampu membuat hati Tanjung berdenyut perih. Bisakah ia melakukannya? Ia menginginkannya, tapi tidak untuk sekarang ketika Narumi sanggup menemukannya ke mana pun dia pergi. Serina meletakkan tangan di
“Kalian sama. Dia perempuan yang merebut–”“Hentikan, Ibu.” Belum sempat jawaban yang ditunggu-tunggu semua orang itu terucap, Tanjung naik ke panggung diikuti oleh beberapa pengawal. “Bawa Ibu ke kamar 718. Biarkan dia istirahat.”Dua pengawal langsung memapah Narumi turun dari panggung. Orang-orang mungkin mengira wanita itu tengah mabuk, tapi hanya Tanjung yang tahu bahwa obat yang dia berikan pada minuman Narumi sudah bekerja. Sayangnya, rencananya gagal. Ia tak tahu apa yang direncanakan Serina malam ini, tapi kehadiran Serina membawa sesuatu yang beda. Ia menatap wanita itu, intens dan cukup lama. Diambilnya mikrofon dari tangan Serina lalu dia buka jasnya untuk disampirkan ke bahu Serina. Sesaat setelah napasnya terembus pendek, ia menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggung Serina. Wanita yang basah karena siraman wine itu dia bawa turun dari panggung. Serina mengerjap ketika tubuhnya terayun-ayun. Apa yang sedang dilakukan Tanjung di tengah orang-orang yang berbisik-b
Dalam sekejap, seisi ballroom dipenuhi rahang-rahang yang terbuka, mengagumi sosok indah di atas panggung yang bersinar dengan gaun pastelnya. Terbuka di sepanjang bahu dengan potongan lengan yang menjuntai ke bawah bagai sayap yang tertutup.Rambut kelamnya yang bagai malam pekat tercepol dengan anak-anak rambut yang terjatuh, menonjolkan kulit bahunya yang mulus bak porselen. Suaranya melantun indah menyebutkan nama Maulana.Tanjung terperangah. Bukan hanya pada kecantikan sempurna yang dipamerkan Serina di atas sana. Namun, pada kehadiran tiba-tiba wanita itu. Mengapa Serina kembali?“Saya istri dari Tanjung Maulana.”Semakin senyap dan kian tegang. Dari ekor matanya, Tanjung melirik ekspresi Narumi yang tak tertebak. Bibirnya tak mengetat seperti biasanya, seolah kedatangan Serina kembali bukan masalah besar baginya.Atau justru … Narumi memang menunggu kedatangan Serina.Tanjung meremang. Tidak. Ia harus memulangkan Serina lagi. Dia hendak bangkit dari duduknya ketika senyum mani
Ballroom hotel bernuansa emas dan gelap, khas Maulana. Aroma mawar yang sedikit menyengat mendominasi udara di dalam ruangan maha luas itu. Saat kepala mendongak, puncak langit-langit yang dikelilingi lampu-lampu mewah seolah seperti langit yang sesungguhnya. Amat tinggi dan menyilaukan. Setiap tahun Tanjung menyiapkan acara megah seperti ini. Tiap tahun pula ia mesti mengumpulkan semua kolega, karyawan, dan petinggi perusahaan dalam satu ruangan. Lalu yang duduk di takhta tertinggi dan menerima semua pujian adalah Narumi Maulana, putri tunggal Maulana yang berhasil mempertahankan bisnis Maulana dan membentuknya menjadi kerajaan makanan yang besar. Wanita hebat yang berhasil mendidik pewaris hebat sepertinya.Wanita bergaun maroon gelap itu berdiri di tengah orang-orang penting dan menjadi pusat perhatian. Orang-orang berebut ingin menjalin relasi dengannya. Para pegawai di perusahaan memanfaatkan acara ulang tahun perusahaan untuk mendapatkan perhatiannya. Tanjung menjauh dari ker
Helaan napas pelan itu berembus mendominasi dinding lift yang dingin. Tak sedikit pun Narumi melunturkan wajah angkuhnya meskipun hanya ada dirinya di dalam ruangan besi yang sempit ini. Seperti apa menantu yang dia inginkan? Pertanyaan itu sudah muak ia dengar. Telah berulang kali ia dapatkan dari berbagai macam orang. Narumi tak pernah menjawabnya. Meskipun yang bertanya adalah sosok presiden sekalipun.Karena ia tak butuh menantu. Dia tak menginginkan sosok menantu di rumahnya. Tak akan ia biarkan anak dari perempuan jalang itu menikah dan memiliki keluarga seperti ibunya. Narumi ingin melihat anak itu tumbuh menjadi sosok yang dia inginkan. Sosok yang dia manfaatkan habis-habisan dan sosok yang akan menjadi orang paling kesepian di dunia ini, bahkan lebih dari yang dia rasakan. Tanjung akan menjadi pionnya, aset, dan boneka yang akan dia gunakan sepuasnya. Karena anak itulah dia kehilangan cintanya, keluarga, dan seluruh hidupnya. Ia kembali mengingat saat dirinya jatuh cinta