“Sial! Badanku lengket semua!”
Serina duduk di sofa ruangan Bos, tempat yang ditempati Leon dan Brata—pemilik club. Leon duduk di hadapannya sambil terus menghela napas.
“Harusnya kau tidak usah meladeninya. Langsung panggil aku atau pengawal saja.”
Serina tidak menanggapi, malah sibuk menyeka dadanya yang lengket dengan tisu basah.
“Kita bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik-baik dan mengantar mereka pulang dengan tenang.”
Serina memutar bola mata, menjauhkan tisu basah yang sudah penuh dengan bekas wine dari dadanya. “Lalu membayar ganti rugi? Memang apa salahnya berargumen sedikit? Bukannya menyentil kelamin suaminya, dia malah menyerangku. Bodoh sekali. Memangnya aku yang menggendong suaminya untuk datang ke sini?”
Leon mendesah takjub pada pilihan kata-kata Serina yang unik. Ia menyandarkan punggung ke sofa dengan wajah lelah lalu menatap Serina tidak enak.
“Ini penghinaan terakhir yang kudapatkan. Setelah ini aku harap kau melindungi para pekerja dengan baik. Bukan mereka yang harus minta maaf, Leon. Mereka bisa membalas jika memang tidak salah.”
“Kau yakin ingin berhenti?”
Serina berkedip malas. “Tentu saja.”
Ekspresi Leon terlihat ragu, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, namun terlalu buruk untuk diterima oleh wanita di hadapannya.
“Bos sudah menyetujuinya?”
“Kontrakku sudah berakhir. Tidak ada alasan untuk tidak menyetujuinya.”
Sejak awal, Brata memang cuma menjanjikan masa lima tahun untuk Serina dengan syarat Serina mesti mampu membuat club menjadi tempat hiburan malam nomor satu di kota itu.
Dan sekarang sudah terwujud. Jangankan lima tahun, tiga tahun pun Serina sudah bisa melakukannya. Dengan kecantikan dan pelayanannya, tidak ada satu pun laki-laki yang bosan dan pergi hanya dengan satu kali memesan, seolah wanita itu punya semacam zat adiktif yang bisa membuat orang kecanduan.
Tapi beberapa hari yang lalu, Leon mendapatkan tugas yang amat berat dari Brata, yaitu membuat Serina tetap tinggal di tempat ini. Karena Serina adalah ikon dari club ini, ladang uang dan pembawa keberuntungan.
“Bos menyuruhku menyampaikan ini, katanya kau tidak bisa keluar tanpa uang jaminan kontrak.”
Serina mengernyit secepat kilat. “Uang jaminan kontrak? Apa maksudnya?”
“Uang yang harus kau berikan jika ingin keluar dari sini.”
Dan saat itu juga wajah cantik Serina menjadi marah. “Kontrakku sudah berakhir! Kenapa aku harus membayar jaminan kontrak? Kami sudah saling menguntungkan selama ini! Tidak ada pihak yang dirugikan!”
“Aku tahu. Serina, aku bersimpati padamu. Tapi, kau tahu peranmu untuk club ini, kan? Orang-orang bisa kehilangan minat jika kau pergi. Itulah yang ditakutkan Bos. Makanya dia ingin mengikatmu di sini.”
“Kalau begitu tinggal cari Serina-serina yang lain! Kenapa mesti menjebakku dengan uang?”
“Tinggallah sebentar lagi. Mungkin satu atau dua tahun sampai club ini menemukan penggantimu. Tempat ini bisa mati jika kau tinggal secara tiba-tiba.”
Serina mengeraskan wajah. “Aku tidak peduli, Leon. Aku bukan budak kalian.”
“Mungkin tidak butuh waktu selama itu, aku akan segera mencari penggantimu jadi tinggallah dulu.”
Serina meremas tisu basah yang kini tak lagi basah itu. “Berapa uang yang harus kubayar?”
Leon menarik napas berat. “Dua puluh miliar.”
Lalu dalam sekejap Serina berdiri dengan mata membelalak. “KAU GILA! UANG YANG KUKUMPULKAN SELAMA INI BAHKAN TIDAK SEBANYAK ITU!”
“Apa kau tidak membaca kontrakmu dengan detail? Di situ tertulis kalau kau memang harus membayar berapa pun jumlah yang diinginkan pihak pertama yaitu Bos jika ingin keluar dari sini—meskipun kontrakmu sudah berakhir.”
Serina sangat syok. Dia pikir dia sudah membaca semua poin yang tertera dalam surat kontrak itu. Meski waktu itu tangannya gemetar dan ia sedang dalam kondisi yang sangat buruk.
“Awas saja kalau si Brata Kampret Sialan itu membodohiku. Aku akan cek isi kontraknya!”
Dengan derap langkah murka, Serina keluar dari ruangan Bos menuju ruang yang disediakan khusus untuk pekerja istimewa alias para wanita penghibur. Diambilnya surat kontrak itu dari lokernya. Dia baca dengan saksama setiap poin yang tertera di sana.
Lalu matanya menemukan poin terakhir, dengan tulisan kecil dan sengaja disamarkan seolah poin itu tidak penting dan hanyalah sebagai pelengkap. Tertulis di bagian bawah dan dibungkus dengan kata-kata kiasan.
‘Pihak kedua memberikan imbalan kepada pihak pertama jika masa kontrak sudah berakhir. Imbalan ini bisa berupa hadiah atau sesuatu yang diinginkan oleh pihak pertama sebagai bentuk balas budi karena sudah membantu pihak kedua.’
Sial! Jadi imbalannya adalah uang 20 miliar itu?
Serina menggertakkan gigi, meremas lembaran surat kontrak itu dengan urat-urat leher yang menegang.
“Brata Keparat!”
Yang tertangkap saat Serina membuka mata adalah cahaya remang-remang. Lampu besar di tengah kamar mati dan yang menyala hanyalah lampu tidur di atas nakas. Suasananya tidak seterang saat ia dan Tanjung memasuki kamar. Wangi parfumnya dan parfum Tanjung menyatu dan menyebar di seluruh ruangan. Meski pendingin ruangan tetap menyala seperti tadi, tapi rasanya tidak dingin sama sekali, sebab ada tubuh yang merangkumnya dengan cara yang sangat hangat. Punggung telanjangnya menempel pada dada bidang yang terasa keras namun lembut. Serina menggerakkan kepala, menoleh dan menemukan Tanjung yang terpejam dengan damai. Tak ada kegelisahan di wajah maha tampan itu dan Serina menyukainya. Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi jari jemari mereka menyatu di depan dadanya. Serina tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada perasaannya dan mengapa jantungnya berdebar halus namun penuh antusias. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa jijik saat mendapati seorang lelaki telanjang di atas ranjangny
Tangan kokoh itu mendekap pinggangnya, terasa kuat namun seolah tengah mencari kekuatan. Serina terbawa suasana, pada embus napas Tanjung yang melemah, hangat tubuhnya, serta irama jantungnya yang berdetak cepat. “Aku akan menemanimu.” Serina mengucapkannya bukan karena merasa kasihan, sebab hatinya ingin memberitahukan pada lelaki ini, bahwa dia, “… akan berada di sisimu.”Tanjung tak menjawab. Hatinya merasa senang sekaligus pedih. Haruskah ia percaya pada Tuhan dan membiarkan wanita ini berada di sisinya? Sebab ia tak menemukan jaminan Serina akan selalu baik-baik saja dalam tampungan atap istana Maulana. “Sudah tengah malam. Bawa dia ke kamarmu, Serina.” Ucapan tegas itu memotong dari arah belakang. Sebelum Tanjung mengangkat wajah dan hendak menengok ke belakang, Serina mendekap kepala lelaki itu dan kembali menenggelamkannya di dadanya. “Tidak, dia harus pulang, Izora.” Meski suara berat itu samar, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. Nada keberatan, lalu menghilang seol
Wanita itu masih ada di hadapannya. Kondisinya masih sama—menyedihkan, seperti mayat hidup yang enggan mati, tak jua bisa dikatakan hidup. “Dua puluh dua tahun aku mengurungmu di sini, itu belum cukup, Rahayu.”Rahayu yang tak lagi terlihat manis dan menawan itu menatapnya dengan bola mata yang melotot, mengerti perkataan Narumi, tapi tak punya susunan kata untuk membalasnya. Bibir pucat dan pecah-pecah itu berat untuk terbuka. “Dan selama itu pula, anakmu ada di tanganku. Kusiksa dan kumanfaatkan sesukaku.” Ucapan itu memantik keseluruhan diri Rahayu. Ia memberontak, hendak maju menerjang Narumi, tapi terhalang oleh rantai dan pasung. Rambut yang berantakan tak terurus, tubuh kurus kerempeng hingga tulang-tulangnya menyembul, pakaian yang seadanya dan sudah robek-robek serta warnanya tak lagi terlihat, luntur, dan kumal. Dia tak lagi bisa disebut manusia. “Ingat ini, Rahayu. Karena dosa-dosamu di masa lalu, anakmu jadi menderita.” Narumi ikut terbawa perkataannya sendiri. Piki
Meski sudah 22 tahun berlalu tanpa melihat sang ibu, Tanjung hafal betul wajah yang kerap kali tersenyum lembut padanya. Ia menanamnya di kepala selama ini selagi ia bertarung di rumah Maulana. Mungkin ibunya juga akan terlihat kurus dan tidak terawat, tapi jelas wanita ini bukanlah ibunya. Tinggi tubuhnya, sorot matanya, proporsi wajah, dan sentuhannya. Segalanya berbeda. “A-apa maksudmu?” Serina amat terkejut mendengar pengakuan Tanjung. Wanita itu bukan ibunya? Jelas-jelas perempuan itu adalah satu-satunya orang yang berada di tempat yang diam-diam selalu Narumi kunjungi.“Aku ibumu! Anakku!!” Wanita itu kembali mendekap Tanjung, tapi Tanjung mengurainya dengan kasar. “Anda bukan ibu saya!”Kekesalan di wajahnya benar-benar tercetak dengan jelas. Lebih daripada itu, ia amat kecewa. Harapannya melambung tinggi, tapi lagi-lagi ia terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Mungkin ini adalah pertama kalinya, Serina melihat wajah itu benar-benar mengerut penuh kekesalan. Bibirnya
Haruskah Serina mengakui jika dia juga menyukai cara lelaki ini menatapnya? Lembut, penuh penghormatan, dan rasa rindu yang dalam. Ia tak berani menyimpulkan terlalu jauh, sebab setiap lelaki yang mengaku tertarik padanya, tak pernah mencintainya. Mereka hanya terobsesi pada kecantikan seorang Serina, tapi lelaki ini berbeda. Matanya memandang dengan cara yang berbeda dari para lelaki bajingan itu. “Aku sudah banyak menyakitimu. Aku ingin melihatmu lagi, tapi tidak di rumah itu, tidak di tempat di mana Ibu akan mengancammu setiap hari.”Ah, dia sangat baik. Serina akhirnya bisa merasakan perasaan terenyuh. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menatapnya khawatir di atas ranjang. “Lalu, haruskah kita kabur saja? Tinggal berdua di rumah lain?”Ide yang diucapkan secara asal-asalan itu mampu membuat hati Tanjung berdenyut perih. Bisakah ia melakukannya? Ia menginginkannya, tapi tidak untuk sekarang ketika Narumi sanggup menemukannya ke mana pun dia pergi. Serina meletakkan tangan di
“Kalian sama. Dia perempuan yang merebut–”“Hentikan, Ibu.” Belum sempat jawaban yang ditunggu-tunggu semua orang itu terucap, Tanjung naik ke panggung diikuti oleh beberapa pengawal. “Bawa Ibu ke kamar 718. Biarkan dia istirahat.”Dua pengawal langsung memapah Narumi turun dari panggung. Orang-orang mungkin mengira wanita itu tengah mabuk, tapi hanya Tanjung yang tahu bahwa obat yang dia berikan pada minuman Narumi sudah bekerja. Sayangnya, rencananya gagal. Ia tak tahu apa yang direncanakan Serina malam ini, tapi kehadiran Serina membawa sesuatu yang beda. Ia menatap wanita itu, intens dan cukup lama. Diambilnya mikrofon dari tangan Serina lalu dia buka jasnya untuk disampirkan ke bahu Serina. Sesaat setelah napasnya terembus pendek, ia menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggung Serina. Wanita yang basah karena siraman wine itu dia bawa turun dari panggung. Serina mengerjap ketika tubuhnya terayun-ayun. Apa yang sedang dilakukan Tanjung di tengah orang-orang yang berbisik-b