Usai menciptakan kebingungan untuk Hanan, Fania berdiri lalu meninggalkan mereka masuk. Hanan ikut berdiri dan menyusul Fania ke kamar.
"Apa kubilang, Pa! Harusnya Fania kemaren-kemaren gak usah diijinin balik-balik lagi ke rumah Ratih," gerutu Bu Heni yang semula diam seribu bahasa.
"Gak usah diijinin gimana? Kayak gak tau Fania aja, Ma. Kalau ada kemauan."
"Halah. Papa aja yang lembek emang!"
"Eh, Ma. Baguslah kalau Fania hamil. Biar Hanan enggak cuma fokus sama Arumi yang terlanjur lengket sama perempuan itu."
Bu Heni berpikir sebentar.
"Bener juga ya, Pa. Kalau dipikir-pikir, Fania pintar juga ya. Secara tidak langsung menjauhkan Hanan dari perempuan itu dengan memaksa Hanan tinggal di sini. Biar deh, Arumi sementara diurusin sama jalang itu. Kalo udah gede, kan kita tinggal ambil!"
Bu Heni tiba-tiba berubah pikiran dan senang dengan kehamilan Fania.
"Tapi, Ma. Kalau Hanan tinggal di sini, kasian jug
Fania akhirnya setuju. Hanan sedikit lega dan membawanya kembali menemui Arumi. Disana Malilah sudah pasti lelah mengurusnya seorang diri sejak tadi."Mas! Malam ini, kita tidur disini, kan?" tanya Fania ketika mereka memasuki ruangan. Malilah yang terkantuk-kantuk mendadak segar. Ia langsung duduk tegak, kemudian menunduk saat melihat Hanan datang bersama Fania yang bergelayut manja disampingnya."Iya! Malilah, kamu istirahat aja, kita gantian menjaga Arumi. Nanti kalau dia mau nyusu, aku panggil,' ucap Hanan sambil melirik Malilah.Malilah mengangguk tanpa menjawab, kemudian bergeser ke tempat duduk yang lain. Fania mengambil alih tempat duduk Fania di dekat Arumi sambil menarik Hanan untuk berdiri lebih dekat dengannya."Mas! Aku lapar. Mas cari makan, ya? Kasian kan, adiknya Arumi kalau kurang nutrisi?" ucap Fania manja sambil mendongak menatap wajah suaminya"Ehem. Iya! Lila, kamu mau makan apa?" tanya Hanan sembari menoleh p
Setelah Hanan keluar, Fania langsung mendekati Malilah."Malilah, maaf ya. Aku lagi labil. Soalnya, kan tahu sendiri rasanya hamil muda," ucap Fania sambil mendekat pada Malilah. Malilah hanya tersenyum sambil mengangguk. Ada yang tercubit sedikit di bagian hatinya mendengar ucapan Fania. Tadi ia sempat heran, melihat Hanan kembali bersama Fania dengan wajah yang datar seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya Hanan terlihat begitu marah."Enggak apa-apa, kok!" jawab Malilah berusaha tersenyum."Tadi Hanan bilang, akan ikut pindah ke rumah. Soalnya dikehamilanku yang kedua aku pengen dekat orang tuaku sendiri," ucap Fania sambil mengangkat bahu.Malilah terdiam sebentar. Membayangkan ucapan Fania. Dahinya berkerut membayangkan Bu Ratih. Tapi, sesaat kemudian wajah Malilah kembali datar."Wajar kok!" sahutnya kemudian singkat.Fania tersenyum. Ia makin semangat memamerkan bayangan-bayangan indah
"Bagaimana Hanan? Kamu setuju kan?" Bu Ratih mendesak Hanan yang terlalu lamban menanggapi ucapannya."Ma! Itu enggak mungkin!" Hanan menggeleng perlahan."Kenapa enggak mungkin Hanan. Kalau kamu berani ambil tindakan, semua pasti mungkin. Kamu memang masih dibutakan oleh cinta, Hanaaan! Sadar Hanan! Sadar!" Bu Ratih geregetan."Ma ... memang, aku sempat berniat berpisah dengan Fania setelah apa yang dia lakukan pada Mama kemaren. Tapi ....""Tapi apalagi. Langsung!"Bu Ratih memberikan semangat untuk niat Hanan yang memang sangat ditunggunya. Hanan menggeleng."Enggak bisa, Ma. Fania lagi hamil," ucap Hanan akhirnya membuat wajah Bu Ratih yang semula memancarkan keceriaan, sayu kembali."Apa kamu bilang? Hamil? Fania Hamil?"Hanan mengangguk."Jangan cari alasan, Hanan! Konyol!" Bu Ratih menggeleng tak percaya."Serius, Ma!""Paling akal-akalan Fania aja," Bu Ratih bersikukuh.
Bu Ratih melangkah ke kamar mencari ponsel. Tak sabar ia ingin berbicara dan memarahi Hanan.Tuuut! Tuuut! Tuuut!Tak tersambung. Rupanya Hanan sengaja mematikan ponselnya. Bu Ratih bertambah geram dengan ulah Hanan. Ia duduk bersandar di ranjang, berusaha menetralkan emosinya. Malilah masuk setelah Arumi sudah agak tenang."Ibu. Tenang dulu Bu. Jangan marah-marah nanti tekanan ibu naik lagi. Saya ambilin minum dulu, ya?"Malilah meletakkan Arumi kembali ke kasur, lalu ia bergegas mengambil air minum. Bu Ratih yang masih emosi langsung menghabiskan segelas air."Bisa-bisanya Hanan, diperbudak oleh perempuan ular itu? Paling itu akal-akalannya dia aja!" gumam Bu Ratih dengan tatapan kosong.Malilah diam saja. Tak tahu harus menjawab apa."Apa yang terjadi di rumah sakit, Malilah?" tanya Bu Ratih dengan dada naik turun. Malilah jadi tak tega dan takut bicara yang bisa menaikkan emosinya Bu Ratih.&
"Mas, kamu kenapa sih, gelisah. Sini coba temani aku," Fania menarik Hanan ke pembaringan.Tok! Tok! Tok!Pintu kamar di ketuk."Masuk aja, Bik!" seru Fania masih dalam posisi berbaring.Seorang Wanita masuk membawa nampan yang penuh berisi makanan. Ia meletakkan makanan di meja dekat tempat tidur. Setelah mengangguk pada mereka Hanan dan Fania, wanita tersebut keluar lagi."Bik Sumi, pembantu baru," ucap Fania menyebutkan nama wanita tadi. Hanan diam saja. Bukan itu yang membuatnya heran."Ayo, makan," ajak Fania langsung menyibak bantal."Kenapa harus di kamar sih? Kenapa enggak di luar aja?" tanya Hanan risih karena bukan kebiasaan di rumah mereka."Aih! Mas ... gak papalah. Apa gunanya pembantu kalau enggak ngantarin makan sampai ke kamar sih! Apalagi, aku lagi hamil muda gini," gerutu Fania."Oh, jadi kamu kalau makan di rumahmu, selalu di antarin ke kamar?" Dahi Hanan b
Hanan mencoba mengulang panggilan, namun tak ada jawaban. Sekali, dua kali, tersambung. Panggilan ketiga direject langsung oleh ibunya. Lama Hanan termenung memikirkan semuanya. Ini kemarahan terbesar kedua setelah dulu ia berhasil meluluhkan hati ibunya untuk menikahi Fania.Untuk kali ini Hanan rasa ibunya tak yakin akan luluh. Malilah? Tiba-tiba Hanan menepuk jidat. Kenapa dia lupa ada Malilah alternatif lainnya. Ia mencoba menelpon Malilah, tapi sama. Tersambung tapi tak diangkat."Mungkin dia sibuk sama Arumi," pikir Hanan sambil mengusap layar ponsel dengan perasaan melow.Ia membuka WA dan mencari kontak Malilah. Dibukanya foto profil Malilah. Hanan menyungging senyum di bibir, melihat Malilah memasang fotonya yang sedang memandang Arumi dengan tatapan mesra dalam pangkuan. Setetes rasa hangat mengalir di lubuk hati Hanan yang sedang dilanda resah dan bimbang. Cukup lama Hanan menatap foto Profil Malilah. Kehangatan di hatinya makin bertambah,
Malam hari Hanan gelisah menunggu Fania tidur. Hanan mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Malilah.[Jangan tidur dulu, Aku mau video Call. Mau liat Arumi][Iya]Hanan menarik napas resah sambil berbalik memunggungi istrinya. Berpura-pura tidur lebih dulu. Fania tak kunjung tidur. Rasanya sudah cukup lama Hanan meringkuk dalam selimut sambil memejamkan mata, Fania masih saya bermain-main dengan ponselnya sementara televisi tak berhenti menyala. Terakhir Hanan melihat jam di ponselnya tadi kurang lima belas menit jam sepuluh malam.Kurang lebih setengah jam kemudian, tak ada lagi krasak-krusuk di sebelahnya. Hanan membuka mata dan mengangkat kepala pelan. Ia melihat Fania terpejam dengan ponsel terkulai di telapak tangan.Pelan-pelan Hanan meraih ponselnya. Fania tak bergerak. Rupanya ia sudah tertidur lelap. Hanan mencoba mengusap layar ponsel. Terkunci pola. Hanan mencoba berbagai pola, selalu gagal. Akhirnya ia meletakkan kembali ponsel
Malilah terdiam di tempat tidur setelah menyambut ponsel yang beberapa saat tertahan di tangan Bu Ratih. Ia tak menyangka Bu Ratih mendadak masuk kamar Arumi saat Hanan berbicara memanggil-manggil Arumi. Apesnya lagi Bu Ratih langsung mengacungkan telunjuk melarang ia merubah posisi, kemudian menyilang telunjuk melarang Ia memberitahukan keberadaannya yang ikut mendengar pembicaraan mereka."Untung saja, aku tadi ke dapur untuk mengisi air minum yang habis. Kalau enggak, mungkin seterusnya kalian akan saling berhubungan secara sembunyi-sembunyi di belakangku!" ucap Bu Ratih dengan nada dingin."Ma-af, Bu. Sa-ya ....""Iya! Aku tahu, Hanan yang menyuruhmu diam-diam, kan?" potong Bu Ratih sambil menatap Malilah tajam. Malilah mengangguk sambil menunduk."Tapi enggak seharusnya kamu mengiyakan, Lila! Aku kan sudah bilang, jangan pernah angkat kalau Hanan menelpon. Heh! Masih aja!" ucap Bu Ratih dengan nada geregetan."Ma-af, Bu!" ucap Mali