Share

Kepo

Setelah menyelesaikan makan, Malilah bergegas mencuci piring, sebelum Arumi terbangun. 

Sekilas ia melirik Hanan yang menggantikan posisinya duduk di meja makan. Hanan pun memperhatikan Malilah dengan seksama, sampai Malilah selesai mencuci piring. 

"Kenapa?" 

Malilah merasa risih, saat menyadari mata Hanan masih mengawasi dirinya.

"Enggak apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan dapur tidak termasuk dalam tugasmu, kamu fokus ngurus anakku saja," jawab Hanan datar.

"Aku sudah biasa melakukannya, ini hanya mencuci bekasku sendiri! Lagi pula Arumi masih tidur." 

"Oh, ya Malilah. Nanti kalau Arumi sudah bangun, sebelum mandi kamu bawa dia berjemur sebentar. Tapi .... bajumu itu loh!"

Hanan menopang wajahnya dengan tangan yang ditumpukan ke meja makan. 

"Kenapa dengan bajuku, Pak Bos? Apa ada yang robek?" 

Malilah berputar di depan Hanan, menoleh ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap bagian dasternya.

"Bukan. Kalau bawa anakku keluar rumah, pakailah baju yang layak!"

"Apa? Dia bilang pakaianku tidak layak pakai? Ini loh, udah baju-baju pilihan yang aku punya!" protes Malilah dalam hati. 

"I-ya! Pak Bos. Nanti aku ganti lagi," jawab Malilah terpaksa patuh. Mengingat satu-satunya cara supaya ia bisa melunasi semua tanggungan dengan cara cepat adalah dengan mengambil hati Hanan juga Bu Ratih, supaya bisa dapat tambahan minimal dua bulan masa kerja lagi. 

Biarlah! Iyakan saja dulu. Nanti kalau dia sudah berangkat kerja, dia pun tidak bisa memantau lagi. Begitu jalan pikiran Malilah. Setelah ia memilih mengurung diri bersama Arumi di kamar. 

***

Perlahan matahari merangkak naik. Malilah menatap jam dinding, sudah di atas jam delapan pagi. Pekerja kantoran pasti sudah berangkat sejak tadi. 

Malilah tersenyum sambil mengangkat tubuh mungil Arumi lalu meletakkannya di stroller yang sudah di siapkan Hanan tadi.

"Kita jalan-jalan pagi dulu ya, tayaaang!" Malilah mengusap pipi Arumi lembut. Arumi pun menggeliat-geliat layak bayi pada umumnya. Sungguh, Arumi benar- benar obat kesedihan Malilah bila ia teringat sakitnya kehilangan anak.

"Kita jalan-jalan .... horreee," Malilah mendorong stroller keluar sambil terus mengajak Arumi berbicara. 

"Ehem!" 

Malilah tersentak begitu mendekati pintu keluar. Stroller nyaris terlepas, dan langsung dipegang oleh .... Hanan?

Hanan tidak pergi ke kantor? Dan Malilah tidak berganti pakaian seperti yang di perintahnya tadi? Ah. Melesat dari perkiraan. 

"Kamu enggak dengar tadi aku bilang apa kalau bawa anakku keluar?" Hanan menatap Malilah tajam.

"I-iya Pak Bos. Maaf, baru ingat. Tadi lupa. Aku ganti baju dulu. Titip Arumi sebentar," ucap Malilah langsung ngibrit kembali ke kamar. 

"Apa dia enggak kerja di kantor, ya? Darimana dia dapat uang banyak? Jangan-jangan hasil pesugihan? Ah, enggak mungkin. Bisa aja kan dia lagi cuti? Ah, iya. Biasanya orang kantoran kan ada cutinya. Sabar Malilah! Cuti biasanya hanya dua minggu. Setelah itu dia tak akan terus mengawasimu!"

Malilah menggetok kepalanya sendiri, karena sempat suudzon. Buru-buru ia membongkar isi tas mencari pakaian yang menurutnya bagus.

Tapi ...

Rata-rata memang bajunya sudah lama semua. Walaupun masih bersih dan tak ada sobekkan, tapi tetap seperti usang, karena warnanya mulai memudar. Apalagi baju-baju yang ia punya bukan baju mahal. Kebanyakan hanya stok baju tidur dan daster yang dijual dengan harga seratus dapat tiga. Malilah memilih satu yang di anggapnya paling bagus. 

Setelah ganti baju kilat, ia kembali ke depan. Namun masih saja Hanan menatapnya dengan sorot tak suka. Malilah jadi salah tinggkah. 

"Enggak ada baju lain lagi, apa?" 

"Banyak Pak Bos. Tapi cuma ini yang paling baru?"

"Baru? Kalau kulihat ini pakaian yang sudah dibeli setahun yang lalu," cemooh Hanan berargumen.

"Tapi Pak Bos, ini sudah bersih!" 

"Biar bersih tapi kusam. Enggak enak dilihat!"

"Ya enggak usah dilihat, Pak Bos! Mau gimana lagi? Memang aku punyanya yang begini-begini!" Sahut Malilah cemberut. Lama-lama kesal juga ia karena merasa terus-terusan di hina oleh Hanan. Tanpa sadar ia menepis tangan Hanan dari pegangan stroller.

"Sini! Enggak usah! Biar aku yang bawa Arumi keluar!" Hanan menyingkirkan Malilah dengan menyenggol badannya. 

"Jangan, Pak Bos. Ini kan tugasku! Pak Bos sendiri yang bilang tadi," ucap Malilah bersikeras menyingkirkan Hanan juga. 

"Heh, kalau kubilang aku aja, ya aku aja!" 

"Ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut aja!"

Akhirnya suara Bu Ratih menghentikan perdebatan Hanan dan Malilah. 

"Ini Ma. Liat dia mau keluar bawa Arumi pake baju begitu!"

"Tapi Bu, saya cuma punya ini yang paling baru! Lagi pula ini bersih," Malilah membela diri.

Bu Ratih menarik napas panjang. Wajahnya memperlihatkan ketidak sukaan. Entah tak suka pada siapa. Malilah atau Hanan.

"Gitu aja ribut! Tunggu sebentar!" Bu Ratih langsung berbalik ke dalam. Malilah diam, Hanan pun diam sambil duduk di kursi, menunggu apa yang akan dilakukan oleh Bu Ratih. 

"Ini! Kamu gantilah pakai baju ini! Baru kamu bawa Arumi jalan-jalan!"  Titah Bu Ratih sambil menyodorkan baju dan celana yang terlipat rapi ke tangan Malilah. 

Sontak Hanan langsung berdiri, merebut kembali baju dan celana dari tangan Malilah. 

"Mama apa-apaan sih? Aku kan sudah bilang, enggak usah di buka-buka itu lemari. Apalagi sampai isinya dipakai!" 

Nada bicara Hanan sedikit melemah tapi jelas nada kesalnya. 

"Ya sudah bawa Arumi jalan-jalan sekarang!" Perintah Hanan pada Malilah seketika. 

Tanpa menjawab Malilah langsung mendorong stroller keluar.

"Ma. Jangan lagi buka-buka lemari itu. Aku gak suka liat barang-barangnya apalagi kalo dipakai orang!"

"Kan sayang, bajunya Fania masih bagus-bagus. Lagian pas sama Malilah!"

Malilah menghentikan langkah, menarik mundur stroller dan bergeser sedikit ke samping menjauhi pintu mendengar Bu Ratih menyebut nama Fania. Siapa dia?

"Ya kalau enggak suka semua barang Fania di buang aja! Ngapain juga pake di simpan-simpan rapat lagi dalam lemari! Nyampah aja ujung-ujungnya nanti!"

Suara Bu Ratih terdengar sengit. Malilah makin tertarik untuk menyimak pertengkaran ibu dan anak tersebut. 

"Sudah Ma. Enggak usah sering-sering sebut nama Fania! Aku muak!"

"Heran aku sama kamu Hanan. Ngomong benci, muak! Tapi barangnya masih aja di simpan! Lempar sana ke sampah!" Bu Ratih merampas baju dari tangan Hanan dan langsung melempar keluar dari pintu kemudian melangkah masuk.

"Apaan sih, Ma!"

Hanan langsung melompat keluar untuk memungutnya kembali, dan begitu terkejut melihat Malilah masih berdiri di dekat pintu. Malilah sendiri yang tak menyangka Hanan akan keluar secepat itu tak sempat mendorong stroller Arumi menjauh. 

"Hey! Kamu kubayar untuk mengurus anakku! Bukan untuk nguping! Bisa enggak kamu patuh sama perintahku?" Sentak Hanan dengan nada marah. 

"Aduh! Sudah hilang berapa point aku hari ini di depan Pak Bos  gara-gara membantah dan kepo?" Sesal Malilah dalam hati. Tekadnya tadi, kan mau mengambil hati, kenapa malah menuai emosi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status