Share

Pekerjaan yang Mencurigakan

"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?" 

Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam. 

"Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos. 

Ckk!

Hanan berdecak sebal. 

"Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama.

"Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil.

"Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu  ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga.

"E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."

Malilah menggeleng. 

"Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelamaan. Lagi pula jalanan aspal gak berdebu-debu amat, masih pagi ini."

Malilah tak perduli pada larangan Hanan karena Arumi nampak benar-benar haus. Ia langsung membuka kancing dasternya bagian depan. 

"E ... e .... e .... eh! No! No! No!"

Hanan menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri di depan wajah. 

"Pak Bos! Aku gak papa dilarang, dimarahin, dihina atau mau diatur menjadi seperti apapun oleh Pak Bos, tapi kalau soal kapan waktu Arumi ingin menyus* aku enggak mau kompromi. Maaf Pak Bos!" 

Sahut Malilah tegas, dengan tangan kanan langsung merogoh sesuatu dibalik baju bagian depan, mengeluarkan sumber makanan utamanya Arumi. 

"Eh, Ya ampun Malilah. Aku bukan ngelarang kamu nyusuin Arumi lagi. Tapi maksudku jangan di sini juga Malilah! Di kamar sana!"

Hanan mengusap wajah sambil berpaling melihat adegan ala ibu dan anak di depannya. 

"Eh, Astagfirullah! Iya, Maaf. Aku khilaf Pak Bos," ucap Malilah buru-buru memasukkan kembali modal utamanya dalam bekerja tersebut. Cepat-cepat ia membawa Arumi masuk kamar. Bukan mengada-ngada, ia memang seperti lupa bahwa Hanan seorang lelaki karena ingin cepat menenangkan Arumi.

"Khilaf! Khilaf! Emang dasar gak tau tempat! Tobat aku gusti ...." gerutu Hanan karena hampir saja Malilah sukses membuatnya sakit kepala. Untung saja Malilah langsung minggat ke kamar.

***

Dua Minggu.

Ya, Malilah yakin dia harus bersabar hanya untuk dua minggu. Setelah itu ia akan terbebas dari mata Hanan yang selalu mengawasi setiap gerak- geriknya dan juga mulut Hanan yang kerap mengomentari setiap pekerjaannya. Sungguh membuat risih. 

Namun demikin, ada untungnya juga selama Hanan di rumah. Malilah benar-benar fokus mengurus Arumi. Semua makanan tersedia dengan menu yang enak-enak. Bu Ratih, walaupun sikapnya tidak ramah pada Malilah tapi tetap memasak makanan yang istimewa. Tentu saja karena ia ingin nutrisi cucunya terjaga melalui Malilah. Hanan juga tidak memperbolehkannya meninggalkan Arumi terlalu lama. Alasannya lumayan masuk akal sih. Wanita yang belum empat puluh hari, dilarang terlalu banyak bekerja, jadi di dekat Arumi saja.

Malilah tersenyum mengingat bagaimana dulu dia datang ke rumah itu dengan terpaksa dan berontak. Tapi seiring waktu, Malilah bahkan berusaha mati-matian untuk tetap berada di rumah itu. Ia berusaha menjaga Arumi dengan sangat baik. Apa salahnya mempertahankan sesuatu yang membuat diri merasa lebih nyaman bukan? Bukankah Dimas sendiri yang mengajari bahwa tak baik menolak rejeki?

Dirumah itulah rejeki terbesar yang dirasakan Malilah. Rejeki bukan melulu soal uang. Rumah yang nyaman dan bersih, makanan lezat yang melimpah, kesehatan yang selalu terjaga juga merupakan rejeki. Dan anugerah terbesar yang ia rasakan adalah kebersamaannya dengan Arumi Nasha, bayi mungil yang memberi Malilah  kehidupan baru. 

Tapi, bukan hidup bila tanpa masalah. Hidup susah jadi masalah, terlanjur nyaman pun jadi masalah. Ada perubahan drastis yang meresahkan Malilah selama hampir dua minggu di rumah Hanan. Perubahan di tubuh. Ya! Tubuhnya mulai melebar. Malilah mulai takut bergerak terlalu lincah. Padahal Hanan kalau memerintah harus gerak cepat. Kalau bajunya sobek, bagaimana?

"Malilah! Hey! Kok nasinya enggak di makan?" Tegur Hanan melihat Malilah hanya menyendok sayur saat makan malam. Susu pun tak di sentuhnya.

"Pak Bos, aku ... mulai sekarang aku malam sayur aja ya? Yang lengkap pagi sama siang aja ya?" Jawab Malilah membuat dahi Hanan berkerut.

"Kenapa?"

"Pak Bos gak liat, baju-bajuku mengecil semua. Aku mau diet," terang Malilah. 

Hanan langsung tergelak mendengar jawaban Malilah. 

"Eh, mau bajumu mengecil kek, menyempit kek, yang aku tahu kamu enggak boleh diet-diet segala. Mana ada ibu menyusui yang boleh diet. Enggak boleh!"

"Tapi Pak Bos, kalau baju-bajuku sobek gimana?"

"Kan masih ada baju nenekku!"

"Ih!"

Malilah meninggalkan meja makan ke kamar. Melihat Malilah sudah kembali, Bu Ratih langsung meninggalkan kamar, tapi ia terheran-heran melihat Hanan masuk membawa piring yang berisi nasi, lauk dan sayur.

"Loh, belum makan Lila?" Bu Ratih mengurungkan langkah keluar.

"Udah, Mama makan aja sana. Malilah lagi pengen makan di kamar," sahut Hanan menambah heran Bu Ratih. Tapi ia tetap keluar karena perutnya juga sudah keroncongan. 

"Makan!"

Malilah menggeleng. 

"Makan. Jangan sampai kamu sakit. Besok jadwal posyandu  Arumi. Kita ke Dokter."

Malilah terpaksa menerima piring yang di sodor Hanan. "

Aku akan makan, tapi aku mau tanya sesuatu, dan wajib dijawab."

"Apa?" Hanan tak sabar. 

"Pak Bos, kok di rumah terus? Kapan masuk kerjanya? Pak Bos kerja di kantor, kan?" Tanya Malilah sedikit sok tahu. 

Hanan kembali tergelak. 

"Kenapa memang kalau aku di rumah terus? Kamu gak suka ya?"

"Hiiis, bukan gitu Pak Bos," Malilah jadi tak enak hati. Ia mengaduk-aduk makanan dalam piring. 

"Ku kasih tahu kamu kantorku. Kantorku ya di rumah. Bosnya aku sendiri, karyawannya aku sendiri, managernya aku sendiri. Jadi ya .... gak ada cutinya. Aku 24 jam di rumah!" 

"Sudahkan. Sekarang kamu makan, habiskan, nanti aku balik sudah harus habis!" Perintah Hanan sambil melangkah keluar membuat Malilah lemas. 

"24 jam dirumah banyak duit. Bu Ratih juga enggak kerja. Usaha rumahan gak ada! Fix! Kalau bukan pelihara tuyul, pasti pesugihan dan ilmu hitam! Iiiieeeeew!"

Bulu kuduk Malilah meremang. 

"Aku harus selidiki baik-baik mulai malam ini. Kalau benar Hanan mendapat uang dengan cara haram, aku akan langsung berhenti kerja di sini!" gumam Malilah sambil menyuap nasi dengan terpaksa menghabiskan. Daripada kena semprot Hanan lagi. 

"Sudah?"

Seperti menghitung durasinya makan saja. Hanan langsung datang ketika makanannya habis. 

"Bagus! Sepertinya mulai besok aku harus mengawasimu setiap waktunya makan. Aku khawatir kamu buang makanannya kalau ditinggal," ucap Hanan sambil tersenyum puas. 

Mampus! Jadi lebih ketat dari sebelumnya. Mau naik berapa kilo kalau setiap makan dimandorin?

"Pak Bos, jangan gitu jugalah! Nanti kalau baju-bajuku gak ada yang muat lagi gimana?" 

"Bukan urusanku. Yang aku tahu, nutrisi dan vitamin untuk kesehatan anakku terjaga!"

"Iya Pak Bos. Aku akan makan semua makanan, tapi jangan pakai di jaga juga lah," Malilah mencoba merayu dengan suara lembut.

"Terserah aku!" 

"Pak Bos, laki-laki gak suka kan, perempuan yang ngembangnya kelewatan?"

"Iyalah! Mana enak di pandang," sahut Hanan sambil meraih piring bersiap membawa keluar. 

"Nah, kalau aku terlalu ngembang, entar suamiku gak suka lagi, Pak Bos!" Malilah memberi alasan. 

"Ya biarin lah! Yang pentingkan aku bukan suamimu!" jawab Hanan acuh langsung pergi.

"Sialaaaaan! Dia benar-benar sengaja bikin aku ngembang. Liat aja, kalau suamiku ninggalin aku dan gak ada yang mau lagi, akan kubuat kamu jadi suamiku bagaimanapun caranya, Pak Boooos!" Tekad Malilah dalam hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status