"Nina?" Maureen makin penasaran. Matanya menatap papanya dengan aneh."Nanti kamu tahu." Gio tersenyum manis lalu beranjak ke kamarnya."Kak, lanjutin masaknya, ya. Tinggal angkat ikannya terus selesai. Aku bikin minuman dulu," kata Maureen pada Felipe. Dia menekan rasa kesal yang mulai merayap cepat di dadanya."Siap," sahut Felipe.Maureen membuat es jeruk dan membawanya ke ruang tamu. Maureen memperhatikan wanita muda yang duduk di sana. Ya, ini wanita yang berdua dengan papa di food court siang itu. Cantik dengan rambut berombak sebahu. Wajahnya lembut. Maureen tidak akan lupa.Maureen menaruh gelas di meja. Gadis cantik itu tersenyum ramah ke arah Maureen."Terima kasih," ucap wanita itu. Suaranya lembut terdengar.Tidak salah lagi. Wanita ini yang memang sedang dekat papanya."Kamu pasti Maureen, ya?" ujarnya wanita itu. Suara lembut, tatapan ramah, masih tertuju pada Maureen."Nama kamu Paulina, kan?" Maureen berkata dengan sinis. Dia membalas sikap ramah tamu papanya dengan di
Dengan senyum lebar, Veronica masuk ke gedung di depannya. Untuk kesekian kali, Veronica melangkahkan kakinya di sana. Jika yang lalu, dia sedang berjuang menaklukkan hati CEO dingin untuk menerima tawaran kerja sama, kali ini, Veronica datang dengan kabar gembira. Dia yakin CEO itu akan tersenyum, tidak memandang dengan wajah datar dan dingin. Veronica bicara pada resepsionis, meminta waktu bertemu CEO sebentar. Dan, sangat normatif, Veronica ditanya apakah sudah ada janji. Veronica sedikit kesal, kenapa seketat itu aturan perkantoran. Tetapi tetap dia menjawab dengan senyum yang ramah, agar bisa meluluhkan hati pegawai manis itu dan menolongnya bertemu sang CEO Sedingin Kulkas. “Terima kasih,” ucap Veronica lega, saat resepsionis itu akhirnya mau menghubungi kantor Gio. Veronica duduk di lobi menunggu. “Bu, Pak Gio akan turun sebentar lagi,” kata resepsionis manis itu. “Oh? Terima kasih.” Veronica cukup kaget. Jawaban yang menyenangkan. Hari ini memang hari baik untuknya. Hati
"Tidak mengecewakan. Beberapa hari distro buka, lumayan yang berkunjung. Apalagi dengan menggunakan media sosial untuk mengenalkan distro, menolong sekali orang mengenal A&L." Veronica berbicara di telpon dengan sahabatnya.Cukup sering Veronica berkomunikasi dengan sahabatnya untuk menumpahkan apa yang dia rasa dan alami. Dengan orang tuanya juga tidak jarang Veronica berkirim kabar, tetapi tetap lebih terasa free mengungkap semua yang dia rasa jika pada sahabat."Great job, Ve. Aku senang kamu begitu bersemangat. Boleh aku bilang sahabat cantikku telah lahir kembali?" Kalimat itu tak Veronica kira akan dia dengar."Ahh, kamu membuat aku meleleh, Lady." Veronica terharu mendengar itu."Teruslah begini. Aku tahu kamu akan jadi seseorang yang hebat. Proud of you, really." Lady membuat hati Veronica makin bergairah.Gairah untuk menata hidup dan memulai masa depan yang baik, yang Veronica tidak pernah yakin akan indah setelah dia kehilangan suami dan anaknya."Thank you for always suppor
Gio masih terdiam di tempatnya. Kalimat terakhir yang Ranintya ucapkan terngiang kuat di telinga pria itu. Apa memang benar yang Ranintya katakan? Gio melukai hati wanita hanya karena menolak pemberiannya?"Kalian saja yang terlalu sensitif." Gio bicara lirih.Lalu tangan Gio terulur ke arah kotak di meja. Dia menarik kotak itu mendekat. Kotak yang manis. Berwarna hitam dengan pita emas menghiasinya. Ada kartu kecil terpasang di pojok kiri atas.'A little gift. Nothing can say, but thank you'Tulisan tangan ditorehkan dengan tinta emas tertulis di sana. Rapi. Tulisan tangan Veronica enak dilihat. Gio membuka pita emas yang membalut kotak itu. Dia lanjutkan membuka penutup kotak dan melihat isinya. Aroma wangi dan manis segera merebak ke penciuman Gio."Bolen pisang?" Gio tidak mengira isi kotak itu adalah bolen pisang, salah satu makanan khas Bandung.Gio mengangkat kotak itu, mencium lebih kuat aroma dari makanan yang ada di depannya."Ini Veronica membuatnya sendiri?" tanya Gio.Tam
Maureen berjalan lambat ke ruang tamu. Dalam hati dia menata apa saja kata-kata yang akan dia ucapkan waktu berhadapan dengan Paulina. Malu sekali jika ingat sikapnya yang lalu. Kata-kata Maureen tajam, menuduh begitu saja pada Paulina.Di ruang tamu, Paulina duduk bersebelahan dengan pemuda hitam manis dengan rambut agak gondrong. Mereka tampak bicara serius. Hati Maureen makin berdebar-debar tak karuan."Ah, Maureen sudah antar minumannya?" Dari belakang Maureen, Gio muncul.Paulina dan pemuda itu menoleh melihat ke arah Maureen dan Gio. Seketika Paulina mengurai senyumnya. Pemuda di sampingnya ikut tersenyum tipis. Tatapan ramah yang pernah Paulina tunjukkan terlihat lagi.Gio mendahului Maureen mendekat pada kedua tamunya lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka."Sini, Reen," panggul Gio.Maureen mendekat, berdiri di samping Gio. Gio membantu Maureen menyuguhkan minuman pada tamunya."Maureen duduk di samping Papa, ya?" pinta Gio.Maureen makin tidak tenang. Paulina te
"Eh, begini. Sepupuku mau menikah. Dia minta aku baca puisi di hari pernikahannya. Dia sudah buat puisinya. Dan itu harus dibaca cowok dan cewek. Sudah tiga hari aku cari teman yang cocok buat baca bareng, tapi ga ada. Padahal acaranya besok. Jadi karena mendesak aku ke sini. Re, kamu bersedia, kan?" Panjang lebar Resita menjelaskan alasan kedatangannya. Maureen muncul membawakan minuman untuk Resita. Gio yang memberitahu Maureen agar menyediakan minuman untuk tamu. "Minum ya, Kak. Biar hangat," kata Maureen. "Di luar udara dingin." "Ini Maureen, adikku yang cewek." Reggy mengenalkan Maureen. "Hai, Kak." Maureen tersenyum. "Hai ... maaf ya, merepotkan," ucap Resita. "Ga apa, Kak. Cuma minum aja." Maureen tersenyum. "Silakan, Kak." Maureen balik ke dalam. "Wih, beneran cantik gebetan Kak Reggy," bisik Maureen sambil menengok lagi memperhatikan Resita. "Aku ngerti kamu pasti bingung cari teman untuk membaca puisi itu. Waktunya mepet juga, kan?" Reggy melanjutkan pembicaraan awal
Reggy meyakinkan hatinya, dia tidak boleh lambat bergerak. Jadi dia harus mengatakan sesuatu tentang hatinya pada Resita."Kamu tahu, Sita, karena lomba puisi yang lalu, sebenarnya aku-""Re, dua rumah di depan. Kita sampai." Resita memberi petunjuk terakhir dan selesai perjalanan mereka.Reggy menghela napas. Ah, dia sedikit terlambat. Kalimatnya bukan saja tidak selesai dia ucapkan tetapi juga Resita ternyata lebih fokus dengan jalanan, karena memang mereka sudah tiba di tujuan."Ini rumahku. Ala kadarnya. Beda, tidak seperti rumah kamu yang besar dan keren." Resita menunjuk rumah di sebelah kiri mereka. Memang rumah di perumahan sederhana tipe sedang, tidak sebesar rumah keluarga Hendrick. Ruang tamu tampak diterangi lampu temaram, di bagian dalam terlihat gelap."Mungil dan manis. Terkesan adem." Reggy ikut memperhatikan."Makasih udah ngantar aku. Maaf, aku merepotkan kamu. Sampai besok, ya?" Resita melepas sabuk pengaman dan bersiap turun dari mobil."Aku harus bertemu orang tu
Dada Veronica berdegup kencang. Pertanyaan Gio belum segera dia jawab. Yang mulai berkelana di kepalanya adalah kisah pedih yang dia mau tinggalkan dengan pindah ke Malang.Tapi Veronica tidak mungkin tidak menjawab. Gio menunggu Veronica membuka mulut dan memberi alasan pilihan Veronica memulai bisnis di kota kecil yang jauh dari tempat asalnya."Malang kota yang sejuk dan tenang. Kota yang sedang berkembang. Saya mencoba peruntungan saja, mungkin saya akan menemukan yang lebih baik di sini." Entah bagaimana kalimat itu mengalir begitu saja dari bibir Veronica."Really?" Gio seperti tidak percaya dengan jawaban Veronica. "Bukannya peluang lebih besar jika tetap di Bandung?""Ah, Pak Gio benar soal itu. Tapi, hanya saja ..." Veronica mencari kata yang tepat, tapi tidak juga menemukan."Apa terlalu pribadi?" Gio melihat aura yang lain saat Veronica mencoba melengkapi kalimatnya.Wajah Veronica memerah. Sama sekali tidak dia kira sejauh itu Gio akan bisa membaca yang terjadi dengannya."