Seandainya bisa, Gio ingin menghilang dan langsung muncul lagi di depan distro. Dia tidak sabar untuk bertemu Veronica dan bicara dengannya. “Jadi, Veronica minta putus setelah mendapat kiriman foto-foto dari Shiany? Lalu dia mau membuka hatinya pada Jodi karena berpikir aku hanya menipunya? Gila! Shiany ternyata benar-benar gila,” kata Gio geram. Jalanan masih lumayan padat, Gio tidak bisa meluncur dengan cepat seperti yang dia harapkan. Kesal rasanya dan perjalanan pun terasa sangat lambat. “Ayo, cepat, cepat …” ucap Gio gusar. Setelah bergelut dengan penuhnya lalu lintas, akhirnya Gio berhasil masuk ke jalanan perumahan. Beberapa menit lagi, dia akan sampai di distro. Dada Gio mulai berdetak sangat kuat. Wajah cantik Veronica mulai terpampang di pikirannya. Dia rindu, sangat rindu pada Veronica. Tapi rasa marah dan kecewa menutupi semuanya. Distro tampak cukup ramai. Padahal sudah hampir jam delapan malam. Gio tidak begitu memperhatikan yang lain. Dia memarkir mobil dan de
Gio mengurai senyum kecil di ujung bibirnya. Dia memandang Veronica dan mengangguk pelan."Ya. Sejak tahu Jodi menemuimu meskipun memang ada urusan pekerjaan, aku sudah tahu dia pasti akan mencoba mendekati kamu." Gio membuka pikiran yang sempat menyusup di kepalanya tapi tidak dia katakan pada Veronica."Alasannya?" Veronica menatap Gio lebih lekat."Jodi dikenal pengagum wanita dan suka bermain dengan mereka," jawab Gio. "Kamu cantik dan menarik. Kamu cerdas dan penuh semangat. Akan sangat mudah pria mengagumi kamu, Vero. Apalagi Jodi.""Karena itu sebenarnya Kak Gio agak berat melepas aku bekerja sama dengan Pak Jodi?" tanya Veronica lebih jauh."Boleh kamu katakan begitu," ujar Gio."Dari mana Kak Gio pikir aku tertarik dengan Pak Jodi?" Veronica masih ingin mengerti isi hati Jodi, dia bertanya lagi."Ah, kenapa kamu tanya itu?" Gio menaikkan kedua alisnya. “Hmm?” Veronica mengangkat kedua bahunya. Dia masih heran Gio bisa menduga Veronica begitu mudah beralih hati pada pria lain
"Bye, Pa! Sukses ya!!" Maureen melambai pada Gio yang sudah ada di dalam mobil. "Thank you. Kamu juga baik-baik di rumah. Hati-hati kalau pergi ke pantai." Dia siap berangkat menjemput Veronica lalu bersama meluncur ke Bandung. Maureen sebenarnya ingin sekali ikut. Tetapi karena Gio akan pergi beberapa hari, Gio tidak mengijinkan. Begitu juga dengan Felipe dan Reggy. Gio tidak mau mereka bolos sekolah karena urusannya. Gio akan melamar resmi Veronica pada orang tuanya. Gio mengajak adik satu-satunya, Marco Franciscus Hendrick, untuk ikut serta sebagai keluarga. Marco tinggal di Yogyakarta bersama keluarganya. Dia menunggu Gio menjemput, lalu lanjut ke Bandung bersama. Sementara sang ayah memperjuangkan kelancaran urusan cintanya dengan Veronica, anak-anak akan healing di pantai. Rencana camping akhirnya matang dan siap dieksekusi. Hari itu persiapan terakhir dan esok pagi-pagi mereka akan meluncur menuju pantai di Malang selatan. Reggy dan Randy bagian mengurus tenda. Maureen deng
"Semua siap, ya?!" Seru Reggy. "Oke ... Mantapp ... Siap!" semua membalas Reggy dengan semangat. Mobil hitam itu meninggalkan rumah besar keluarga Hendrick. Hari cerah dan terang menambah semangat anak-anak memulai perjalanan. Waktu yang mereka tempuh lebih kurang tiga jam tidak terasa karena tak lepas dari canda dan tawa. Mereka sampai tujuan sekitar jam sepuluh pagi. Langsung mereka berbagi tugas untuk menyiapkan apa-apa yang mereka perlukan. Reggy, Yerry, dan Randy mendirikan tenda. Maureen, Resita, dan Wuri menyiapkan makanan untuk makan siang. Felipe hanya ditugaskan duduk dengan tenang menunggu semua siap. "Aduh, aku seperti orang ga berguna saja," ujar Felipe. "Santai, Bro! Bayangkan saja kamu rajanya kali ini," tandas Yerry. Felipe tertawa dengan komentar Yerry. Tak lama setelah itu, makan siang siap. Mereka menikmati makan bersama. Lalu Reggy, Yerry, dan Randy meluncur ke pantai. Randy kecil, anjing kesayangan Maureen ikut dengan mereka. Felipe duduk di bawah pohon be
Di Bandung, perjalanan Gio dan Veronica berjalan lancar. Pertemuan dengan orang tua Veronica menyenangkan. Gio dan Marco diterima dengan sangat baik. Mereka terbuka dan ramah pada Gio dan Marco.Usai pertemuan keluarga, Marco yang datang dengan istrinya langsung kembali ke Yogyakarta, sementara Gio tetap tinggal. Veronica berencana mengunjungi makam suami dan anaknya.Dengan senang hati, Gio mengantar Veronica. Di depan makam, Veronica tidak dapat menahan hatinya. Kesedihan tetap ada, rasa kehilangan kembali muncul membuat sendu. "Kalian sudah bahagia dengan Tuhan. Aku yakin itu. Kalian jangan kuatir, aku sudah hidup dengan baik sekarang. Tuhan memberiku hadiah sangat banyak. Nanti kalau aku pulang menyusul kalian, aku akan ceritakan semuanya."Gio berdiri dua langkah di belakang Veronica. Dia biarkan Veronica berbicara sampai puas, melepas rindu pada orang-orang yang sangat dia cintai.Puas berada di pusara mendiang suami dan anaknya, Veronica memutar tubuhnya dan melihat pada Gio.
Sampai di lokasi, semua sudah siap. Band ada di tempatnya. Yerry dan teman band-nya keren sekali dengan kemeja putih dan jas hitam. Vera dengan gaun merah marunnya cantik dan anggun. Reggy tinggal memastikan semua berjalan baik. Pendeta dan petugas dari catatan sipil juga sudah siap. Keluarga pun sudah hadir. Ada Marco dan keluarganya. "Good luck, Brother. I know your happiness is now for you completely." Marco memeluk erat kakaknya. Dia lega, akhirnya Gio benar-benar akan mendapat pendamping lagi dalam menjalani kehidupannya. "Thanks, Marco. Never I thought, but God knows my best," ujar Gio. Lalu dia bersiap menanti mempelai wanitanya untuk masuk bersama menuju altar. Lima belas menit kemudian, Veronica datang. Orang tua dan keluarga dari Bandung juga menyertai. Tidak lupa Lady dan calon suaminya pun ikut serta. Wajah mereka terlihat gembira. Natan, Wuri dan Ibu Ratu, Resita dan kedua orang tuanya. Lalu datang juga Randy, Sandy, Santoko dan istri barunya. Titin, Lusi, dan dua kary
Pesawat baru take off. Gio dan Veronica duduk sambil berpegangan tangan. Mereka bertatapan mesra. Akhirnya mereka bisa bersama, menjadi suami istri. "Kamu lelah?" tanya Gio. "Tidak terlalu. Aku senang sekali. Reggy mengatur acara kita begitu manis." Veronica tersenyum. "Yup. Aku salut dengan hasil kerjanya. Resita juga banyak membantu dia," kata Gio dengan rasa lega. "Kak Gio .." panggil Veronica. "Hmm ..." Gio menatap Veronica. "Aku baru sadar, namamu sama dengan Leon," ucap Veronica. "Sungguh?" Gio menaikkan kedua alisnya, tidak menyangka mendengar itu. "Nama tengah kamu Leonard. Nama suamiku dulu juga Leonard. Leonard Ardhiwijaya." "Oh, bisa begitu, ya ..." Gio tersenyum. "Aku ... hanya bisa bersyukur dengan semua ini. Terima kasih buat semuanya." Veronica menggenggam tangan Gio. "Aku pun tak bisa berkata lain, selain bersyukur dan terima kasih," ujar Gio. "Apa ga masalah kita tinggal anak-anak selama dua minggu?" Veronica bertanya. "Tidak apa-apa. Mereka s
“Bengong!!" Felipe mengguncang kedua bahu Maureen. Kontan saja Maureen kaget. Dia menoleh. "Apa sih, Kak?" ujarnya. Felipe duduk di sebelah Maureen. Maureen lagi melihat resep, mau memasak, tapi malah jadi kepikiran Natan. "Kamu kenapa?" tanya Felipe. Dia memandang wajah Maureen. Papa benar, Maureen sedang galau. Jelas sorotan matanya sedih. Seperti habis menangis. "Ga apa-apa," jawab Maureen. "Hmm, mulai ga mau cerita. Biar aku penasaran," kata Felipe. "Bukan gitu." Maureen menjawab lesu. "Terus?" Felipe menelisik muka adiknya. "Aku ..." Maureen melihat Felipe. Memang dia tidak bisa bohong pada kakaknya. Felipe menunggu Maureen menyelesaikan kalimatnya. "Natan mau pindah." Akhirnya keluar juga kalimat itu. "Pindah? Pindah sekolah? Atau pindah rumah?" tanya Natan. "Ke Kanada." Maureen mengusap ujung matanya yang mulai basah lagi. "Kanada? Ga salah, Reen?" Mata Felipe melotot. "Serius, Kak. Papanya mendadak dipindahkan untuk tugas di sana. Mereka pindah sekelua