"Ya sudah, aku mau siap-siap dulu buat syuting. Udah gitu, nanti aku mau pergi ke tempat meeting bareng beberapa klien. Hari ini mungkin aku akan pulang terlambat lagi."
Mas Bian melirik ke arah jam digital yang ada di atas nakas, dan berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.Priaku itu lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan ponselnya di atas meja.Bip!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Nama 'Shei' tertera di sana. Dengan jelas bisa kulihat pesan apa yang masuk beberapa detik lalu itu.(Ay, datang ke apartemen dulu, ya. Mumpung aku lagi sendirian.)Pesan itu membuat mataku melotot sempurna, apalagi diiringi dengan emot kedip sebelah mata. Seolah kode kalau mereka bebas melakukan apa saja karena tidak akan ada orang yang mengganggu.Apa-apaan ini?Sialan!Setelah semalam Mas Bian menggumamkan nama wanita itu, kenapa sekarang Sheila justru menyuruh suamiku datang ke tempatnya.Benar-benar mencurigakan.Mondar-mandir tidak jelas seperti kebiasaanku saat ada masalah, otakku memikirkan banyak hal yang tidak-tidak.Ini tidak bisa dibiarkan. Lama-lama aku bisa gila kalau terus berprasangka buruk kepada Mas Bian."Ehm, kenapa kamu, Marin?"Mas Bian menghampiriku dengan penampilannya yang necis. Tampak keningnya berkerut melihatku yang seperti gelisah.Aroma parfum berharga fantastis menguar sampai ke seluruh ruangan. Mas Bian buru-buru mengambil ponsel dan memeriksa isinya, lalu terlihat kerutan di keningnya seperti tengah memikirkan sesuatu."Kamu lagi ada masalah?" tanyanya.Aku menggeleng pelan dan memaksa tersenyum padanya. Senyum yang setiap hari selalu kuberikan, namun entah Mas Bian menghargainya atau tidak."Kenapa kamu malah tanya gitu ke aku?!""Eh, ya, enggak sih.""Eumh, kalau Mas mau pergi ke arah selatan aku sekalian ikut ke salon, ya. Lagi males bawa mobil nih," ucapku beralasan ingin mengetahui reaksinya"Ya, nggak bisa gitu dong. Aku nggak mau sampai terlambat ke lokasi. Nanti aku suruh sopir buat nganterin kamu aja, ya."Mas Bian jelas keberatan. Itu artinya ada sesuatu hal yang lebih penting untuk dia urusi selain pekerjaannya.Dia mendekat, menyentuh bahu kemudian berlalu tanpa mendaratkan bibirnya di kening, seperti kebiasaannya sejak kami menikah.Dan kejanggalan ini kurasakan ketika dia mengendarai mobil seorang diri sambil bersiul-siul, dan terlihat seperti pria yang tengah kasmaran.Membuang rasa penasaran, jangan sampai aku berpikir yang tidak-tidak apalagi suamiku sedang naik daun sekarang. Akan lebih baik jika aku mengikuti kemana dia pergi.Bisa saja Sheila menyuruhnya untuk melakukan sesuatu seperti pekerjaan misalnya, bukan hal-hal buruk yang seperti kupikirkan dalam otakku.Kendaraan merah milik suamiku membelah jalanan ibukota yang lumayan cukup lengang. Aku mengikutinya dari belakang dengan perasaan tidak sabar.Hingga benar saja HRV keluaran terbaru itu masuk ke basement dan si pengemudinya bergegas turun.Diam-diam aku mengikuti pria itu dengan perasaan was-was. Biasanya firasatku tidak pernah melenceng. Jika ada sesuatu hal yang tidak mengenakkan, biasanya akan terjadi sesuatu yang tidak kuharapkan.Oh Tuhan, tolong jaga suamiku jangan sampai dia tergoda oleh perempuan selain aku. Karena jujur saja aku dan Richie belum sanggup hidup tanpa dirinya.Langkahku semakin tak bertulang saja pasca suamiku memencet bel tepat dimana Sheila tinggal.Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Wanita itu menyambutnya dengan tanktop yang menampilkan buah dadanya yang sedikit menonjol.Astaga, hal yang tidak sepantasnya diperlihatkan pada pria yang sudah beristri."Mas, akhirnya kamu datang juga. Ayo, masuk, aku udah nungguin dari tadi," ajaknya.Sheila bertingkah posesif. Dan kurang ajarnya lagi wanita itu bahkan hendak melingkarkan tangannya ke tengkuk suamiku. Tapi untungnya Mas Bian segera menahan tangannya."Tahan dulu, Shei." Priaku itu memindai sekitar. Mungkin takut ada orang yang melihatnya."Emh, maaf Mas. Ya udah, ayo masuk," pintanya dengan gaya manja.Mas Bian kemudian mengangguk dan mengikuti langkah wanita itu, masuk ke dalam dan menutup pintu.Sementara di sini ada yang patah dalam hatiku melihat mereka berduaan di dalam sana. Tanpa sadar mataku basah dan cairan bening itu akhirnya mengalir di pipi.Tidak, tapi aku tidak boleh lemah. Akan kupastikan sebentar lagi untuk memegoki keduanya.Jika mereka tengah berbuat mesum dan asusila, maka siap-siap saja karir keduanya hancur saat aku memviralkannya ke sosial media."Eh, Mbak Marina, sedang apa di sini?"Deg!Suara itu ….Cepat-cepat aku mengusap air mata yang jatuh di pipi saat suara yang familiar terdengar di telinga."Sony, kamu sendiri ngapain di sini?" tanyaku sambil celingukan. Barangkali dia datang bersama dengan timnya.Tapi, Sony datang hanya seorang diri. Aneh."Oh, aku mau nganter makanan buat team. Mereka ada meeting di apartemen milik Sheila. Mbak sendiri, mau bergabung bersama kami?" tanya pria itu dengan cepat.Aku menggeleng pelan dan sebisa mungkin mengulas senyum. Jangan sampai pria yang statusnya masih lajang itu curiga kalau aku tengah menguntit suamiku hingga sampai ke tempat ini."Nggak usah, Son. Kebetulan aja Mbak lewat sini untuk bertemu dengan teman. Ya udah, kalau begitu mbak pergi sekarang, ya?"Pria itu mengangguk dengan ekspresi datar saat kutinggalkan.Malu juga rasanya karena ketahuan. Semoga Sony tidak berpikir kalau aku tengah mencurigai suamiku. Bisa memalukan jika dia dan team mengetahui aku istri yang posesif, yang mengejar-ngejar suami dan tak percaya padanya.Masuk ke dalam mobil, mengambil nafas berulang kali, aku terus berusaha mengenyahkan perasaan yang bercokol dalam dada.Tadi artinya kecurigaanku tidak beralasan. Kukira mereka hanya berdua, ternyata ada timnya juga sedang ada di dalam sana.Beberapa notifikasi masuk di atas layar. Viona, penata rias yang ditugaskan untuk mengatur penampilan juga style Mas Bian memposting sesuatu.'Liburan tipis-tipis ....'Caption yang dibuatnya membuatku membelalakkan mata. Viona tak sendirian. Dia dan keenam team yang dibentuk oleh Sony tengah berlibur di Kepulauan seribu.Dan dilihat dari postingannya, mereka tengah berada di sana sambil menikmati breakfast. Itu artinya mereka bukan hanya baru datang, tapi kemungkinan sudah tiba sehari sebelumnya.Mataku melotot tak percaya memastikan jam dan waktu saat dia mempostingnya, yang tiba-tiba saja ramai dengan para netizen yang komen dan menanyakan perihal keberadaan Mas Bian juga.Itu artinya Sony benar-benar telah membohongiku.Astaga, kenapa aku bisa terkecoh. Bodohnya aku, pria itu 'kan tidak membawa makanan, malah membawa paper bag dan tas berukuran sedang.Ya Tuhan, aku benar-benar kecolongan.Gegas kaki ini melangkah dengan cepat meninggalkan pintu mobil yang sedikit terbuka. Tapi langkahku tiba-tiba tertahan saat ketiga orang itu keluar dari unit dan berjalan bersisian, yang diikuti oleh Sony di belakangnya.Ketiga orang itu mengenakan kacamata hitam dengan tangan saling bertautan, antara Sheila dan Mas Bian.Tapi, apa boleh mereka sedekat itu saat tidak ada hubungan spesial di antara keduanya, kecuali terlibat dalam kontrak yang sama dalam sebuah sinetron?"Janji ya, Mas. Kamu harus manjain aku di sana," ujar Sheila pada suamiku."Iya, bawel. Makanya sabar dulu jangan di sini, nanti ketahuan," jawabnya sambil menjawil hidung wanita itu.Apa-apaan mereka itu. Tingkahnya sudah seperti pasangan kekasih yang akan berangkat liburan saja.Atau, emang jangan-jangan mereka mau menyusul Viona juga ke Kepulauan seribu?Ini benar-benar tidak bisa biarkan. Mereka benar-benar tengah membohongiku mentah-mentah.Tapi baiklah, Mas, aku akan ikuti sampai di mana permainanmu ini berujung. Dan aku takkan pernah membiarkan kalian semua membohongiku mentah-mentah.Tunggu saja, kebohongan kalian akan segera terungkap. Secepatnya!Telepon itu datang seperti petir di siang bolong. Baru saja aku duduk di ruang kerja, mencoba melupakan pertengkaran sengit dengan Sabrina pagi tadi. Suara Papa mertua terdengar dingin, hampir seperti tamparan di wajahku."Ardian, apa yang sudah kau lakukan pada putriku?”“Memang apalagi yang aku lakukan padanya? Kenapa dia mengadu sesuatu?” Cukup, aku sudah muak dengan semua sandiwara ini. Rasanya aku tidak perlu berpura-pura menjadi pria baik di depan mertuaku. Aku janji setelah ini akan menceraikan wanita itu, tak peduli dengan kehamilannya. Ya, sebuntu itu memang otakku saat ini. Banyaknya masalah pertengkaran juga sikap Sabrina yang kekanakan membuatku mengambil pilihan ini. “Apa yang kau bicarakan itu? Saat ini Sabrina kecelakaan. Dia di rumah sakit sekarang. Segera datang atau terpaksa aku melaporkanmu ke kantor polisi."“Apa?! Bagaimana mungkin itu terjadi, Pa?”“Heh, apakah pikir aku sedang membuat pura-pura? Di saat seperti ini keselamatan putriku yang terpenting! Dia sed
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki
Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek
Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi
“Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan
Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam