Mas Bian dan Sheila sudah pergi, sementara Sony memeriksa ponselnya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil miliknya.
Gegas aku menarik bahunya membuat pria itu berpaling padaku. Terlihat wajah Sony yang terkejut begitu melihatku berdiri dengan tatapan emosi padanya."Mbak Marina?""Bukankah kau harus menjelaskan sesuatu padaku tentang hubungan mereka?" tanyaku langsung tanpa basa-basi."Ma-maksud Mbak apa, ya? Dan kenapa Mbak masih ada di sini?" tanyanya pura-pura bingung. Aku mendecih dengan tatapan serius."Sudah berapa lama mereka berhubungan, dan sesering apa mereka pergi berdua?""Mbak sepertinya salah paham. Sheila dan Pak Bian tidak ada hubungan apa-apa. Beneran. Mereka cuma rekan kerja yang kebetulan terlihat dekat, ya tentu saja agar dapat chemistry saat syuting nanti.Mbak juga tahu 'kan, kalau hal itu biasa di antara para pemain," jawabnya langsung memberi penjelasan, seolah aku adalah wanita bodoh yang mudah sekali dibohongi."Heh, begitukah?" Ragu-ragu Sony mengangguk."Jangan menyembunyikan apapun dariku, Son. Kebohonganmu itu tidak akan tertutup selamanya. Lagian kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dengan melindungi mereka.""Kayaknya Mbak terlalu berpikir kejauhan, deh. Mbak harus percaya pada Pak Bian, jangan curiga yang tidak beralasan, Mbak.""Ok, kalau begitu ke mana mereka pergi sekarang?""Itu … memangnya Mbak mau apa?""Aku mau mulai sekarang kamu memberitahuku kegiatan pria itu dan apa yang mereka lakukan di luar jam syuting."Lekas aku menyambar sling bag yang dipegang oleh Sony. Kuambil 2 ponsel satu iPad termasuk buku agenda yang selalu dibawa kemana-mana.Sontak Sony kelabakan melihat tingkahku yang spontan itu."Mbak, tolong jangan begini. Mbak harus percaya kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa!""Kalau begitu kau tidak perlu takut, karena aku tidak akan melakukan apa-apa. Hanya saja aku harus menghindarkan dia dari kemungkinan yang bisa terjadi di luar harapanku, bukan?""Mbak, kalau Mbak bersikap seperti ini, itu hanya kamu menyulitkan aku. Tolong, percaya saja kalau—""Ke mana Mas Bian pergi?" potongku cepat.Rasanya tak perlu mendengarkan basa-basi dari Sony karena jelas sedang melindungi hubungan gelap mereka. Sedangkan jika aku langsung mencurigai Mas Bian dan menguntitnya, aku tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kebohongan.Belum sempat Sony menjawab, ponselku berdering. Nama Mbak Ani terpampang di layar.Jam pulang sekolah masih satu jam lagi tapi, kenapa wanita itu menghubungiku.Penasaran, segera kutekan tombol hijau untuk menjawab."Ya, Mbak? Ada apa?""Itu, Bu. Richie nangis di sekolah. Tadi dia berebut mainan dengan temannya. Dan Richie tetap mau pulang meskipun saya sudah mencoba untuk membujuknya."Astaga, ada-ada saja."Oke Mbak tunggu aja, sebentar lagi Sony ke sana untuk menjemput."Sony yang melihat wajah seriusku terlihat bingung. Aku melempar kunci mobil padanya meminta bertukar kunci dengan milikku."Jemput Richie di sekolah dan bawa pulang ke rumah. Dan ya, kamu belum menjawab ke mana Mas Bian dan wanita itu pergi? Cepat katakan, Son," desakku tidak sabar.Bukan posesif atau cemburu, aku hanya ingin mencegah kemungkinan yang lebih buruk terjadi.Bukan tidak mungkin keduanya pergi ke suatu tempat kemudian melakukan tindakan di luar batas, bukan. Apalagi seperti gumaman Mas Bian semalam, kalau dia begitu terobsesi pada bentuk tubuh Sheila."Mereka pergi ke tempat syuting, Mbak.""Jangan berani-berani bohong padaku, Son. Kamu jelas tahu kalau Viona dan yang lainnya sedang berlibur di Kepulauan seribu!"Sony tertohok mendengar suaraku yang meninggi. Pria itupun pasrah dan mengatakan nama sebuah resto yang menyatu dengan hotel ternama di pinggiran ibukota."Tolong jangan katakan informasi itu dariku, Mbak. Aku takut Pak Bian marah dan memecatku." Lirih Sony memohon yang kutanggapi dengan dengusan kesal."Kau tenang saja. Aku hanya ingin memastikan apa yang kulihat dan kutakutkan tidak terjadi."Gegas aku masuk ke mobil Sony agar tidak dicurigai, tak lupa membawa ketiga ponsel miliknya dan kumasukan ke dalam tas, tentu saja alasannya agar Sony tidak melaporkan hal itu kepada Mas Bian.***Laju kendaraan membelah jalanan ibukota kemudian berbelok ke bagian pinggir.Panas terik matahari tidak kupedulikan. Hatiku lebih panas memikirkan apa yang mungkin mereka berdua lakukan tanpa Sony.Sesekali kupukul setir untuk membuang rasa kesal sekaligus memperingatkan agar orang-orang segera melajukan kendaraannya dan tidak menghalangi jalan.Membutuhkan waktu sekitar satu jam, hingga akhirnya aku menepi ke tempat yang dituju.Memikirkan mereka hanya akan makan di lobi saja membuatku kesal, apa kabar jika mereka melakukan lebih dari itu. Check in misalnya.Oh Tuhan, tolong jaga suamiku agar dijauhkan dari perbuatan haram dan sebagainya.Pelayan dengan ramah datang mendekat saat aku bertanya tentang keberadaan Mas Bian. Wanita itu tersenyum simpul kemudian menunjuk salah satu ruang VIP.Tak sabar, aku membuka pintu secepat yang kubisa, lalu tampaklah dua manusia dengan wajah terkejutnya melihatku berdiri di tempatku."Ma-Marin?"Mas Bian begitu terkejut, begitupun wanita yang ada di sampingnya. Buru-buru wanita itu melepaskan rangkulan dari lengan suamiku. Setelah berusaha menyembunyikan keterkejutannya, Sheila berusaha bersikap senang. Bener-bener wanita itu pandai berakting di depanku."Mbak Marina, sedang apa Mbak di sini?"Aku mendekat ke arahnya dan duduk tempat di samping kanan suamiku."Kebetulan aku lewat sini dan tidak tahu kalau kalian tengah berduaan," sindirnya berusaha meredam emosi yang membara.Sudah puluhan episode yang mereka mainkan di depan layar, baik adegan biasa maupun adegan yang lebih intens. Tapi jika mereka berduaan di luar itu, aku benar-benar tak tahan melihatnya."Oh itu, kami ada urusan di sekitar sini, Sayang. Jangan berpikir yang aneh-aneh apalagi curiga pada suami. Itu nggak baik bagi kesehatan mentalmu." Mas Bian yang menjawab."Oh, padahal aku tidak mengatakan apa-apa lho. Kenapa Mas malah berpikir seperti itu?""Eh, itu—""Sudahlah, Mas. Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk banyak-banyak mengingat anak dan istrimu sebelum kamu berbuat terlalu jauh," ujarku serupa sindiran sambil melirik ke arah Sheila yang seperti terkejut mendengar ucapanku."Marin—""Ah sudahlah, tidak usah dibesar-besarkan. Karena kita sudah berkumpul di sini, bukankah sebaiknya kita makan bertiga?""Oh, i-iya. Pesanlah makanan apa saja yang kamu mau. Setelah itu kita pulang.""Nggak perlu, Mas. Toh di sini juga banyak makanan. Aku makan ini saja."Aku mengambil makanan dari piring Sheila dan menyuapkannya separuh ke mulut, lalu meletakkan kembali di piringnya."Oh, maaf. Aku lupa kalau tak akan ada orang yang suka dengan bekas makanan orang lain."Mas Bian dan Sheila tidak dapat menyembunyikan raut kekesalan di wajah mereka, ketika melihat aksiku.Aku kini bahkan seperti orang ketiga diantara keduanya.Kamu lihat Sheila, ini hanya perumpamaan kecil untuk mengingatkanmu.Telepon itu datang seperti petir di siang bolong. Baru saja aku duduk di ruang kerja, mencoba melupakan pertengkaran sengit dengan Sabrina pagi tadi. Suara Papa mertua terdengar dingin, hampir seperti tamparan di wajahku."Ardian, apa yang sudah kau lakukan pada putriku?”“Memang apalagi yang aku lakukan padanya? Kenapa dia mengadu sesuatu?” Cukup, aku sudah muak dengan semua sandiwara ini. Rasanya aku tidak perlu berpura-pura menjadi pria baik di depan mertuaku. Aku janji setelah ini akan menceraikan wanita itu, tak peduli dengan kehamilannya. Ya, sebuntu itu memang otakku saat ini. Banyaknya masalah pertengkaran juga sikap Sabrina yang kekanakan membuatku mengambil pilihan ini. “Apa yang kau bicarakan itu? Saat ini Sabrina kecelakaan. Dia di rumah sakit sekarang. Segera datang atau terpaksa aku melaporkanmu ke kantor polisi."“Apa?! Bagaimana mungkin itu terjadi, Pa?”“Heh, apakah pikir aku sedang membuat pura-pura? Di saat seperti ini keselamatan putriku yang terpenting! Dia sed
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki
Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek