“Ada apa, Rania?”
Gadis itu memuntahkan semua makan malamnya di wastafel. Tanpa Rania sangka, Zack memeluk perutnya dari arah belakang sembari memberikan tatapan menilai. Lelaki itu memperhatikan wajah Rania yang pucat lewat cermin wastafel dengan sangat lekat.Kepala Rania terangkat sedikit. Sembari membalas tatapan Zack lewat cermin, dia tidak menemukan kekhawatiran di mata pria itu, yang ada hanya pertanyaan basa-basi pada partner yang kebetulan sedang sakit. Sekadar formalitas, mengingat sikap Zack selama ini.“Hanya mual. Sepertinya aku salah makan hari ini,” jawabnya dengan suara serak dan lemah.Mata pria itu sedikit mengeras, dan dia pun memberikan tatapan yang begitu intens padanya.“Seharusnya kau memperhatikan makananmu, Rania. Makanlah makanan yang sehat.”Rania mengangguk sembari menahan diri agar tidak meringis, akan tetapi Zack belum juga melepaskan pelukan di perutnya. Lelaki itu malah semakin merapatkan dadanya yang bidang dan hangat itu ke punggung Rania. Dan secara tiba-tiba lelaki itu pun menghirup aroma tubuhnya yang feminim sambil memejamkan mata.“Kau sangat wangi. Aku merindukan aromamu selama di kantor,” bisik Zack dengan nada yang rendah.Rania luar biasa gugup. Mereka tidak sedang berada di ranjang, tapi terkadang pria itu akan melakukan hal seperti ini sebagai sentuhan yang wajar bagi sepasang kekasih.“Bukan, Rania. Bukan kekasih,” ujar Rania dalam hati.Zack Lawson tidak butuh cinta dari seorang wanita. Rania ingat setahun lalu saat Zack menawarinya sesuatu yang gila, membujuk dengan uang dan segala macam kemewahan dengan syarat dirinya mau menjadi kekasih yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun. Dia benar-benar dimanjakan oleh Zack. Apartemen mewah, mobil yang manis tapi mahal. Segala perhiasan dan pakaian dengan merek ternama. Sekarang Rania bisa menikmati semua kemewahan itu.Rania tersihir pada apa pun yang ada dalam diri Zack, pada setiap tindakan pria itu. Dirinya selalu saja terpesona. Gadis itu tidak mampu berkedip dan mengalihkan pandangan dari cermin.“Kau sudah selesai?” Lelaki itu berbisik di pucuk kepala Rania sembari menempelkan bibir di rambut brunnetnya yang panjang. “Kalau begitu keluarlah dan minum obat apa pun yang bisa meredakan rasa sakitmu.”Rania keluar dari kamar mandi dengan langkah sedikit tertatih. Dia masih merasa mual, dan bahkan aroma parfumnya sendiri tiba-tiba membuat perutnya kembali bergejolak. Rania segera berlari menuju dapur dan memilih menumpahkan isi perutnya di wastafel cuci piring. Dia tidak pernah merasakan perasaan aneh seperti ini. Rasa sakit, melilit, sesak, haru dan mual terus-terusan adalah kombinasi yang tidak pernah dia rasakan. Ini menyiksanya.Padahal sebentar lagi Zack akan keluar dari kamar mandi dan menagih jatahnya setiap malam.“Apa yang harus kulakukan?”Perutnya seperti mendidih dan dia mulai pusing. Bahkan tubuhnya harus bertumpu di pinggir wastafel agar tetap berdiri. Kembali dia merasa mual lagi, tapi kepalanya terasa berat untuk sekadar menunduk di wastafel.Ketika dirinya mendengar suara samar di balik tubuhnya, penglihatan Rania mulai menggelap dan tiga detik kemudian, dia pun ambruk ke lantai.Rania terbangun dalam keadaan kamar yang masih terang. Dia menyipitkan mata saat pandangannya kabur. Rasa sakit menyengat kepala ketika dia hendak bergerak.Apa yang terjadi? Kenapa pria itu memeluknya semesra ini?Dalam kepala yang penuh akan pertanyaan, tiba-tiba saja kelopak mata dari pria di hadapannya pun terbuka perlahan. Dan tatapannya yang sayu tampak memandangi dirinya dengan lembut.“Perutmu masih sakit?”“Ah, i-iya sedikit,” jawabnya, sembari menarik selimut hingga menutupi setengah wajah.“Apa lagi yang sakit sampai kau pingsan di dapur, Rania?”Mendengar pertanyaan pria itu, Rania pun menggigit sudut bibirnya. Dia tidak menyangka telah pingsan di dapur.“Aku … hanya pusing dan mual.”“Aku akan menyuruh Huges mengantarmu ke rumah sakit besok pagi.”Kepala Rania menggeleng pelan. Jelas sekali bahwa gadis itu keberatan.“Tidak perlu. Ini akan sembuh besok. Percayalah, ini bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Kurasa, aku hanya terkena flu.”Mendapati tatapan Zack yang tajam, Rania merasa tidak suka, sehingga dia pun mencoba untuk memalingkan wajah dan memutus kontak mata dari pria di sisinya.“Aku bisa pergi sendiri kalau begitu.”Bibir Zack mengetat, menandakan bahwa Rania tidak boleh membantahnya lagi. “Aku akan mendapatkan laporan yang lebih detail jika kau bersama Huges.”………..“Nona Camerry,” panggil Huges dengan ekspresi datar. Pria itu menatap Rania beberapa saat, sebelum akhirnya mengulurkan tangan, meminta lembar pemeriksaan yang berada dalam genggaman Rania. “Berikan laporannya, Saya ingin membuat laporan kepada Mr. Lawson.”Lelaki itu membaca dengan raut serius, sedangkan dahinya berkerut cukup dalam. Rania tak membuka mulut sedikit pun, tapi dia yakin bahwa Huges sudah memahami situasinya.“Anda … hamil?”Mendengar kata itu, Rania merebut laporannya kembali. “Aku akan meneleponnya,” ucap Rania dengan suara bergetar. “A-aku sendiri yang akan memberitahukan berita ini padanya.”Malam selanjutnya, tepat setelah dia kembali dari kerjaan, jantung Rania terasa diremas begitu mendapatkan sebuah pesan dari Asisten Pribadi Zack, yang berbunyi;Huges : Mr. Lawson meminta laporan kesehatan Anda, Nona Camerry, dan Saya tidak bisa menolaknya. Sehingga, Saya memberitahukan kebenarannya pada Mr. Lawson. Tampaknya dia sangat marah dan tidak senang akan kejutan ini.Huges : Saya akan menyampaikan pesan dari Mr. Lawson untuk Anda, Nona Camerry. Tolong disimak baik-baik.Tangan Rania berguncang hebat, hingga dia kesulitan menggenggam ponselnya dengan baik dan nyaris menjatuhkan benda itu ke lantai.Matanya nanar begitu dia membaca pesan susulan yang Huges kirimkan.Huges: Mr. Lawson meminta Saya untuk menyampaikan agar anda menggugurkan kandungan.Hari-hari terasa berlalu sangat lambat di Blue Island, membuat Rania selalu dilanda kecemasan. Pikirannya seakan berkelana kemana-mana. Para pegawai yang bekerja dengannya pun teramat sering mendapati dirinya melamun dengan tatapan kosong menghadap ke pintu atau jalanan. Seolah-olah, wanita itu menunggu antisipasi akan kedatangan seseorang.“Tidak terasa ya perayaan Tora Flora akan segera tiba.”Suara lembut Sofia yang datang dari arah belakang, mengejutkan Rania seketika. Dengan memegangi dada, Rania pun berpaling kea rah bawahannya tersebut.“Aku sampai lupa dengan perayaan itu. Astaga, rasanya kepalaku sangat penuh,” ringis Rania yang kembali berbalik menatap pintu seperti sedia kala.Sofia hanya bisa menggeleng pelan. Dia yakin, kedatangan pria asing beserta keberadaan hotel baru di depan mereka adalah sumber dari berisiknya kepala Rania.“Sayang sekali, Miss Kendrick tidak bisa melihat perayaan Tora Flora tahun ini,” desah Sofia, mencoba membawa topik pembicaraan untuk men
“Bagaimana?” Tidak sekalipun Zack mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sedang dirinya pelajari. Pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada sekretarisnya itu bahkan terdengar seperti angin lalu.Sementara itu, Cintya yang sejak setengah jam lalu berdiri diam di dekat pintu memberikan jawaban seadanya. Diikuti oleh senyum tipis, wanita itu melirik jam yang melingkar di lengan.“Seperti yang anda katakana, Sir. Nona Camerry menolak keras bingkisan-bingkisan tersebut.”Cukup lama Cintya memandangi jarum jam yang berputar. Sikapnya yang tidak biasa itu mengundang perhatian Zack yang sejak tadi berfokus pada lembaran-lembaran file di meja.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, dan bibirnya membentuk garis tipis dengan tatapan sedikit penasaran.“Katakan apa yang ada dalam pikiranmu saat ini.”Mendengar perintah tersebut, Cintya mengangkat sedikit kepala dan seketika pandangannya pun bertabrakan dengan manik sebiru Samudra yang kini berfokus hanya padanya. Sangat l
“Rania, apa ini?” Jennie memandang penasaran pada bingkisan dan tas belanja yang tergeletak di atas sofa. “Apa kau baru saja berbelanja?” Dengan penuh rasa ingin tahu, Jennie pun berjalan cepat menuju kumpulan benda-benda yang tergeletak sembarangan tersebut. Melihat segel yang masih terpasang, firasatnya sedikit janggal. Dia merasa familiar dengan lambang di bingkisan yang terbungkus rapi. Mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Rania yang baru saja menidurkan Oliver di kamar pun bergegas untuk melihat benda yang Jennie pertanyakan. Begitu tersadar kemana arah pertanyaan tersebut, langkah Rania pun semakin cepat dan secara tiba-tiba dia menarik bingkisan yang hendak Jennie pegang. Hal itu membuat Jennie melemparkan tatapan aneh padanya.Sedikit gugup, Rania pun berusaha mengangkut seluruh pemberian Zack ke dalam kamarnya sendiri.“Ini bukan apa-apa,” jawab Rania, dimana suaranya terdengar bergetar sementara napasnya nyaris tersengal. “Hanya titipan dari Mrs. Mallory.”Kebohongan
“Mommy!”Begitu mendengar suara manis yang ruang itu memanggilnya, ekspresi Rania yang tadinya gusar berubah menjadi berseri-seri dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Dia bahkan lupa akan bingkisan beserta tas belanjaan yang menjadi sumber amarah. “Hai Baby!”Segera Rania angkat tubuh mungil yang berlari-lari kecil ke arah pelukannya itu. Dan seketika suara tawa anak batita itu pun pecah, hingga mengisi ruangan toko yang mulai sepi. “Mom, mom! Mrs. Mallory bilang aku tambah besar! Lihat! Aku sangat tinggi Mommy!” celoteh batita itu dengan bahasa yang berlepotan, namun jernih terdengar di telinga Rania. Melihat tingkah menggemaskan putranya, Rania pun mencium gemas pipi gempal batita itu. Dan lagi-lagi tawanya yang renyah menggema hingga memenuhi langit-langit toko roti. “Benarkah? Mrs. Mallory bilang begitu? Coba ibu periksa,” ucap Rania, berpura-pura membuka baju putranya itu. “Oh Tuhan, kau benar-benar semakin besar!”Pujian yang Rania lontarkan semakin membuat batita i
Wajah Rania begitu pucat saat dia memasuki toko, dan hal ini menarik perhatian Sofia. Namun, pegawai wanitanya itu hanya diam tanpa banyak bertanya. “Miss Kendrick baru saja kembali ke hotel. Dia bilang akan kembali lagi besok.”Rania yang sejak tadi hening hanya menjawab dengan anggukan pelan. Jelas sekali, wanita itu tampak lebih murung dari biasanya. Sofia yang tidak tahu cara menghibur orang lain hanya bisa membiarkan Rania sendirian. “Aku ada di section depan jika kau butuh bantuanku,” ucap Sofia, pamit ke tempatnya semula. Tanpa melihat sekitar, Rania pun bergegas ke balik konter dan melayani para pelanggan dengan memasang senyum palsu. “Selamat siang, selamat datang di Toko Kami,” ujarnya ramah sembari menyodorkan menu pada pelanggan baru. Sebisa mungkin dia melupakan kejadian sebelum ini, dan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. ***Dua jam setelah pertemuan, satu per satu pelanggan pun mulai meninggalkan toko. Jam-jam sibuk di toko itu pun mulai sepi, dan
“Selamat Da … tang,” sambut Rania terbata.Mata Rania membulat seketika, dan pelipisnya basah akan cucuran keringat yang muncul tiba-tiba. Raut wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi sedikit gusar.“Kami tidak menerima tamu seperti anda, Tuan. Pergilah ke tempat lain yang menyambutmu dengan ramah,” tutur Rania dengan nada sedikit tajam.Penolakan itu sangat jelas terlihat, terutama ketika matanya menyipit tajam dengan bibir berubah menjadi segaris tipis. Tidak ada keramahan maupun senyuman.Pria yang berdiri di hadapannya hanya memandang datar sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu mata pria itu mendapati Jennie yang berjalan dengan senampan penuh roti menuju ruangan belakang toko, raut datarnya berubah sinis. Kini, mata itu berbalik menghunus ke arah Rania yang berupaya menyembunyikan kegelisahan dari tempatnya berdiri.“Aku tidak datang sebagai pelanggan, tetapi aku datang hanya ingin menyampaikan sesuatu.” Dia sengaja memandang wajah Rania terang-terangan, mem