Tiga pesan yang masuk secara bersamaan itu membuat Rania membeku. Matanya memindai huruf demi huruf yang tertera di layar. Tangan Rania yang memegang ponsel itu pun gemetar dengan hebatnya sedangkan napasnya tercekat di tenggorokan dan dadanya terasa sesak.
Kembali dia membaca pesan itu dan tidak ada yang berubah. Tulisannya masih sama.Apa yang terjadi? Mengapa Zack mengatakan itu?Rasa pusing mendera kepalanya dan Rania merasa sulit bernapas. Jari-jarinya yang bergetar pun bergerak cepat di atas keyboard ponsel, memanggil nomor Zack.Tidak aktif.Rania men-dial nomor pria itu sekali lagi, tapi suara operator di seberang panggilan terus mengulang kalimat yang sama. Hingga akhirnya Rania pun beralih menghubungi Huges.Cukup lama telepon itu baru tersambung.“Halo, Mr. Andreas. Apa Zack ada bersamamu?” sapa Rania buru-buru. Dia tidak ingin membuang waktu. Dirinya harus memastikan sendiri apakah Zack betul-betul mengatakan pesan semenyakitkan itu padanya. “Aku tidak bisa menghubungi Zack. Apa kau tahu dia ada di mana?”“Tentu saja. Mr. Lawson sedang berdiskusi dengan kolega dari Dubai. Sebaiknya Anda tidak mengganggu Mr. Lawson saat ini, Nona Camerry.”Dada Rania naik turun. Matanya pun mulai berkabut. “Aku hanya ingin memastikan mengenai pesan yang kau sampaikan. Apa Zack benar-benar mengatakan itu?”“Tentu saja. Saya adalah sekretaris pribadi beliau. Tugas saya menyampaikan apa yang Mr. Lawson katakana, dan beliau mengatakan tidak ada waktu untuk mengurusi kehamilan Anda. Kuharap Anda mengerti, Nona Camerry.”Jantung Rania seperti berhenti berdetak. Seolah ada ribuan jarum panas yang tiba-tiba merajam tubuhnya tanpa henti. Dia tidak pernah membayangkan Zack akan mengatakan hal seperti itu.“Berikan ponselmu padanya. Aku harus bicara dengan Zack!”“Nona Camerry.” Suara Huges berkali-kali lipat lebih dingin dari biasanya, membuat Rania terdiam seketika. “Saya sudah bilang, Mr. Lawson tidak ingin diganggu. Dia menyampaikannya sendiri. Jika Anda masih ingin menjadi wanita simpanannya, gugurkan janin itu dan bersikaplah seperti tidak pernah terjadi apa pun.”Perkataan Huges bagaikan tamparan yang menyakitkan bagi Rania, membuatnya mematung hingga telepon itu pada akhirnya ditutup secara sepihak dari seberang sambungan. Mata gadis itu hanya bisa menatap kosong pada dinding polos di hadapan. Sungguh, dia tidak mampu mencerna apa yang baru saja Huges sampaikan.Bagaimana bisa lelaki yang memeluknya sepanjang malam mengatakan hal sekejam itu? Ini darah dagingnya sendiri. Anak dari hasil percintaan mereka selama ini.“Tidak. Kau tidak bisa menyuruhku mengugurkannya, Zack. Ini anak kita. Kau tidak boleh melakukannya!”…….Rania duduk semalaman di sofa menunggu Zack pulang. Tatapan matanya kosong pada layar televisi yang menyala di hadapan.Sampai pagi menjelang, Zack tidak juga pulang. Berkali-kali Rania memandang nanar pintu apartemen yang tidak dibuka sejak semalam. Perasaannya kacau. Pikirannya terus berperang, mengulang-ulang semua perkataan Huges di telepon.“CEO Moon Light Hotel, Zack Lawson akan melangsungkan pertunangan dengan Amanda Harlot, seorang influencer ternama. Dikabarkan mereka sudah menjalin hubungan selama setahun dan berencana akan menikah pada awal musim semi tahun ini.”Suara dari seorang penyiar memutus lamunan Rania. Dengan cepat kepalanya berpaling ke arah televisi yang menampilkan potret Zack tengah memeluk pinggang seorang wanita cantik di sebuah pesta.“A-apa ini?” bisik Rania tidak percaya.Matanya membulat begitu dia mengingat kapan Zack memakai stelan jas yang berada di potret. Jelas sekali, foto tersebut diambil sekitar empat hari yang lalu. Sebuah pesta jamuan di mana seorang Rania Camerry tidak akan bisa masuk tanpa Zack, dan sayangnya Zack bahkan tidak mengajaknya ke pesta ekslusive tersebut.“Ini sebabnya kau tidak membawaku?” gumam Rania dengan suara bergetar dan pandangan kabur.Lagi-lagi gadis malang itu tampak tercekat. Tarikan napasnya berubah cepat dan sekujur tubuhnya gemetar.“Apa karena ini kau menyuruhku menggugurkan kandungan?” Seketika tangan Rania pun memegangi perutnya yang masih terlihat rata. “Kenapa kau lakukan ini, Zack? Kenapa?”Mata yang sejak tadi memerah itu akhirnya menumpahkan tangis. Rasa terhina menyerang dada Rania.Perkataan Huges yang menyebutnya ‘wanita simpanan’ semakin terngiang-ngiang. Hingga tanpa sadar, Rania pun menjerit keras sembari melempar bantal sofa ke arah televisi yang menayangkan potret kebersamaan Zack bersama seorang wanita bernama Amanda.Selama ini dia sudah menuruti semua kemauan lelaki itu untuk merahasiakan hubungan mereka dari publik, tapi mengapa Zack malah membeberkan pertunangannya dengan perempuan lain.Omong kosong macam apa ini!Rania kembali menelepon Zack dan lagi-lagi ponselnya tidak aktif. Dia mengulang panggilan itu puluhan kali, tapi tidak ada hasil.“Kau menyuruhku menggugurkan anak kita untuk bertunangan dengan perempuan lain?” Pekik Rania, mencengkeram erat ponselnya diikuti air mata yang meleleh di pipi dan kernyitan kemarahan di dahi.Dia harus bicara dengan Zack!Rania kembali ke kamar. Mengganti pakaian dan bersiap ke kantor. Wajah mungil itu masih sembab dan pucat. Hari masih pagi dan kantor masih sangat sepi, tapi Zack biasanya sudah ada di ruangannya di jam segini.Tanpa peduli jika kepalanya terasa berat karena tidak tidur semalaman, Rania pun bergegas keluar dari apartemen mewah yang Zack berikan.…..Seperti yang Rania duga, hotel itu masih sangat sepi ketika dirinya datang. Para staf yang tinggal di paviliun belakang hotel masih berkeliaran untuk sekadar menghirup udara pagi atau berolahraga.Dengan langkah cepat, Rania menuju ruangan CEO yang ada di lantai dua puluh dua. Kedatangannya disambut oleh pandangan datar Huges di meja sekretaris yang terletak tepat di depan ruangan Zack. Rania lekas melangkah hendak masuk ke ruangan, namun dengan cepat Huges menghadang di depan pintu.“Anda tidak bisa masuk, Nona Camerry.”Rania membalas tatapan pria itu dengan tajam. “Aku yakin belum ada klien sepagi ini, Tuan Andreas. Kumohon menyingkirlah, aku ingin bicara dengan Zack sekarang juga.”Dagu tajam Huges terangkat sedikit. “Saya sudah bilang berulang kali. Mr. Lawson tidak ingin diganggu. Dia tidak ada waktu membicarakan kehami⸺ ““Tidak ada waktu untuk kehamilanku, tapi punya banyak waktu untuk membeberkan pertunangannya dengan wanita lain?!” Rania yakin Zack bisa mendengar suaranya di dalam sana.Huges tidak menyanggah wanita di hadapan. Raut wajah pria itu masih begitu kaku, seolah banyak hal yang harus dia sembunyikan.Huges maju dua langkah, lalu membungkuk untuk menatap kedua mata Rania.“Anda tahu bahwa dia tidak menginginkan bayi sejak awal. Jadi, percuma saja Anda menuntut. Anda hanya akan terluka.” Ia kembali mundur lalu menatap pintu besar di hadapannya. “Silahkan masuk, Nona Camerry. Kuharap Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan.”Kedua kaki Rania gemetar saat Huges membukakan pintu dan pemandangan ruangan Zack menyerbu matanya seketika.Dia melangkah dengan tatapan nanar dan suara yang tercekat. Dadanya berdenyut perih seperti ditusuk ribuan belati saat matanya mendapati Zack ada di sana. Duduk di meja kebesarannya sambil fokus pada layar laptop. Kedua siku maskulin lelaki itu bertumpu di atas meja dengan tangan menyatu di depan dada.Zack hanya melirik Rania sekilas, lalu kembali pada pekerjaannya. Seolah menegaskan bahwa keberadaan wanita itu tidaklah penting untuknya.“Aku ingin bicara.” Amarah dan kekecewaan menyatu di hati Rania. Dia ingin berteriak, namun tidak mampu menahan air mata yang mendesak ke pelupuk.Zack mengangkat wajah, lalu menatap Rania tajam. “Bukankah sudah kuberikan pesan kemarin malam? Apa Huges kurang jelas memberitahukannya padamu?”Hari-hari terasa berlalu sangat lambat di Blue Island, membuat Rania selalu dilanda kecemasan. Pikirannya seakan berkelana kemana-mana. Para pegawai yang bekerja dengannya pun teramat sering mendapati dirinya melamun dengan tatapan kosong menghadap ke pintu atau jalanan. Seolah-olah, wanita itu menunggu antisipasi akan kedatangan seseorang.“Tidak terasa ya perayaan Tora Flora akan segera tiba.”Suara lembut Sofia yang datang dari arah belakang, mengejutkan Rania seketika. Dengan memegangi dada, Rania pun berpaling kea rah bawahannya tersebut.“Aku sampai lupa dengan perayaan itu. Astaga, rasanya kepalaku sangat penuh,” ringis Rania yang kembali berbalik menatap pintu seperti sedia kala.Sofia hanya bisa menggeleng pelan. Dia yakin, kedatangan pria asing beserta keberadaan hotel baru di depan mereka adalah sumber dari berisiknya kepala Rania.“Sayang sekali, Miss Kendrick tidak bisa melihat perayaan Tora Flora tahun ini,” desah Sofia, mencoba membawa topik pembicaraan untuk men
“Bagaimana?” Tidak sekalipun Zack mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sedang dirinya pelajari. Pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada sekretarisnya itu bahkan terdengar seperti angin lalu.Sementara itu, Cintya yang sejak setengah jam lalu berdiri diam di dekat pintu memberikan jawaban seadanya. Diikuti oleh senyum tipis, wanita itu melirik jam yang melingkar di lengan.“Seperti yang anda katakana, Sir. Nona Camerry menolak keras bingkisan-bingkisan tersebut.”Cukup lama Cintya memandangi jarum jam yang berputar. Sikapnya yang tidak biasa itu mengundang perhatian Zack yang sejak tadi berfokus pada lembaran-lembaran file di meja.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, dan bibirnya membentuk garis tipis dengan tatapan sedikit penasaran.“Katakan apa yang ada dalam pikiranmu saat ini.”Mendengar perintah tersebut, Cintya mengangkat sedikit kepala dan seketika pandangannya pun bertabrakan dengan manik sebiru Samudra yang kini berfokus hanya padanya. Sangat l
“Rania, apa ini?” Jennie memandang penasaran pada bingkisan dan tas belanja yang tergeletak di atas sofa. “Apa kau baru saja berbelanja?” Dengan penuh rasa ingin tahu, Jennie pun berjalan cepat menuju kumpulan benda-benda yang tergeletak sembarangan tersebut. Melihat segel yang masih terpasang, firasatnya sedikit janggal. Dia merasa familiar dengan lambang di bingkisan yang terbungkus rapi. Mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Rania yang baru saja menidurkan Oliver di kamar pun bergegas untuk melihat benda yang Jennie pertanyakan. Begitu tersadar kemana arah pertanyaan tersebut, langkah Rania pun semakin cepat dan secara tiba-tiba dia menarik bingkisan yang hendak Jennie pegang. Hal itu membuat Jennie melemparkan tatapan aneh padanya.Sedikit gugup, Rania pun berusaha mengangkut seluruh pemberian Zack ke dalam kamarnya sendiri.“Ini bukan apa-apa,” jawab Rania, dimana suaranya terdengar bergetar sementara napasnya nyaris tersengal. “Hanya titipan dari Mrs. Mallory.”Kebohongan
“Mommy!”Begitu mendengar suara manis yang ruang itu memanggilnya, ekspresi Rania yang tadinya gusar berubah menjadi berseri-seri dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Dia bahkan lupa akan bingkisan beserta tas belanjaan yang menjadi sumber amarah. “Hai Baby!”Segera Rania angkat tubuh mungil yang berlari-lari kecil ke arah pelukannya itu. Dan seketika suara tawa anak batita itu pun pecah, hingga mengisi ruangan toko yang mulai sepi. “Mom, mom! Mrs. Mallory bilang aku tambah besar! Lihat! Aku sangat tinggi Mommy!” celoteh batita itu dengan bahasa yang berlepotan, namun jernih terdengar di telinga Rania. Melihat tingkah menggemaskan putranya, Rania pun mencium gemas pipi gempal batita itu. Dan lagi-lagi tawanya yang renyah menggema hingga memenuhi langit-langit toko roti. “Benarkah? Mrs. Mallory bilang begitu? Coba ibu periksa,” ucap Rania, berpura-pura membuka baju putranya itu. “Oh Tuhan, kau benar-benar semakin besar!”Pujian yang Rania lontarkan semakin membuat batita i
Wajah Rania begitu pucat saat dia memasuki toko, dan hal ini menarik perhatian Sofia. Namun, pegawai wanitanya itu hanya diam tanpa banyak bertanya. “Miss Kendrick baru saja kembali ke hotel. Dia bilang akan kembali lagi besok.”Rania yang sejak tadi hening hanya menjawab dengan anggukan pelan. Jelas sekali, wanita itu tampak lebih murung dari biasanya. Sofia yang tidak tahu cara menghibur orang lain hanya bisa membiarkan Rania sendirian. “Aku ada di section depan jika kau butuh bantuanku,” ucap Sofia, pamit ke tempatnya semula. Tanpa melihat sekitar, Rania pun bergegas ke balik konter dan melayani para pelanggan dengan memasang senyum palsu. “Selamat siang, selamat datang di Toko Kami,” ujarnya ramah sembari menyodorkan menu pada pelanggan baru. Sebisa mungkin dia melupakan kejadian sebelum ini, dan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. ***Dua jam setelah pertemuan, satu per satu pelanggan pun mulai meninggalkan toko. Jam-jam sibuk di toko itu pun mulai sepi, dan
“Selamat Da … tang,” sambut Rania terbata.Mata Rania membulat seketika, dan pelipisnya basah akan cucuran keringat yang muncul tiba-tiba. Raut wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi sedikit gusar.“Kami tidak menerima tamu seperti anda, Tuan. Pergilah ke tempat lain yang menyambutmu dengan ramah,” tutur Rania dengan nada sedikit tajam.Penolakan itu sangat jelas terlihat, terutama ketika matanya menyipit tajam dengan bibir berubah menjadi segaris tipis. Tidak ada keramahan maupun senyuman.Pria yang berdiri di hadapannya hanya memandang datar sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu mata pria itu mendapati Jennie yang berjalan dengan senampan penuh roti menuju ruangan belakang toko, raut datarnya berubah sinis. Kini, mata itu berbalik menghunus ke arah Rania yang berupaya menyembunyikan kegelisahan dari tempatnya berdiri.“Aku tidak datang sebagai pelanggan, tetapi aku datang hanya ingin menyampaikan sesuatu.” Dia sengaja memandang wajah Rania terang-terangan, mem