Evelyn merasa kepalanya sangat pusing. Sakit, seperti dihantam oleh beban yang sangat berat. Pelan-pelan ia membuka kelopak mata. Cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung di plafon membuat matanya sedikit menyipit.Ia meringis. Mendesis. Seluruh tubuhnya terasa bagai digiling ke dalam mesin penghancur. Lagi, ingatan tentang dirinya yang sudah dinodai oleh Zach benar-benar membuatnya sangat frustrasi. Ternyata itu bukan mimpi, melainkan fakta pahit yang harus ia telan mentah-mentah.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga.”Suara itu menarik perhatian Evelyn. Ia mendapati sosok Daissy sedang mengambil sesuatu di atas meja di pojok ruangan. Setelah itu, Daissy berjalan menghampirinya.Evelyn masih bergeming. Manik matanya beredar memperhatikan setiap sudut ruangan.Tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, satu hal yang paling pasti, Evelyn tahu ini bukan kamar Zach. Bukan tempat kotor yang dipakai oleh si Brengsek itu untuk merampas sesuatu yang paling berharga dari diri Evelyn.
PLAK!Evelyn menundukkan kepala, memegangi bagian yang terasa nyeri akibat satu tamparan keras yang dilayangkan Stella secara dramatis di pipinya. Perih sekali.“Itu peringatan karena kau sudah lancang menggoda suamiku!” Stella tersenyum miring, merasa cukup puas dengan apa yang baru saja ia lakukan kepada perempuan di hadapannya.Dengan mata berkaca-kaca menahan sakit, Evelyn memandang Stella dengan tak kalah sengit. “Aku tidak pernah menggoda suamimu, melainkan dia sendiri yang memaksa agar aku mau berhubungan dengannya.”“Meskipun dia memaksa, bukankah pada akhirnya kau tetap mau juga?”“Sejak awal aku sudah menolaknya, tapi suamimu yang biadab itu sama sekali tidak memberiku ruang untuk menghindar. Dan yang terjadi selanjutnya hanyalah adegan pemerkosaan, yang mana aku sendiri merasa sangat jijik setiap kali mengingatnya,” jawab Evelyn berterus-terang.Stella semakin geram mendengar penjelasan Evelyn. “Omong kosong!” Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat. “Kalau sampai suatu saat a
Evelyn terperangah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zach. Selama beberapa detik, bola mata keduanya saling memandang satu sama lain, seakan sedang berperang siapa di antara mereka yang paling mematikan.“Apa masih belum cukup dengan titik kehancuranku kemarin?” Tatapan Evelyn kini mengendur. Ia sadar, berhadapan dengan Zach tidak akan menghasilkan apa-apa jika keduanya sama-sama keras. “Kenapa aku harus menjadi wanita simpananmu?” tanyanya dengan sabar—mencoba sabar lebih tepatnya.“Karena aku memilihmu,” jawab Zach. Singkat dan padat.Evelyn menggeleng. “Tapi aku tidak mau,” tolaknya seiring dengan tatapan nanar.“Dengan menjadi wanita simpananku, maka tidak ada seorang pun yang berani mengusikmu, apalagi menjadikanmu penghangat ranjang.”“Dan sebagai gantinya, aku harus merelakan diriku ditelanjangi dan dilecehkan setiap malam, demi memenuhi hasrat liarmu di atas ranjang,” tambah Evelyn seraya mengerling dan terkekeh hambar.“Tidak juga,” bantah Zach. Ia melepas tangan Evelyn, m
“Jangan berlebihan, Stella. Aku hanya menyuruhnya istirahat, karena dia masih sakit,” ucap Zach, menanggapi pertanyaan Stella yang diselimuti rasa cemburu dan curiga. “Kalau aku biarkan dia tidur bersama para selir di kamar harem, pasti dia tidak bisa istirahat dengan tenang, karena di sana sangat berisik.”Stella berdecih. “Sejak kapan kau peduli dengan ketenangan seseorang?” sindirnya.“Sayang, ayolah—”“Cukup!” Stella memotong ucapan suaminya begitu saja. “Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun. Selama ini aku selalu sabar dan diam melihatmu tidur dengan para selir di harem, tapi apa kau tahu kalau di sini rasanya sangat sakit, Zach?” Ia menunjuk ke arah dada, memberitahu sang suami bahwa hatinya sudah memendam luka terlalu banyak.Mendengar itu, Evelyn yang tengah menguping di balik pintu lantas berdecih geli. “Selalu sabar dan diam? Apa dia lupa pernah menampar dan mengancamku kemarin?” Ia bergumam, nyaris berbisik, mencemooh perkataan Stella.“Stella, kau hanya salah paham.” Za
“Aku bukan tidur, tapi aku baru saja jatuh karena kau tiba-tiba mendorong pintu,” ralat Evelyn.“Lalu untuk apa kau berdiri di belakang pintu?”Evelyn segera bangkit dari posisinya. Ia membalas tatapan Zach sambil memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. “A–aku ... aku mau ke toilet,” alibinya.Zach menelisik ke dalam bola mata Evelyn, menemukan sesuatu yang menurutnya sedikit janggal. “Ada di sebelah sana.” Ia menunjuk ke arah pintu toilet yang terhubung dengan kamar.Evelyn kalang kabut. Mukanya merah padam karena ia merasa sangat malu, seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri. “Aku tidak tahu kalau di kamar ini ada toilet,” ujarnya yang berpura-pura tidak tahu.Zach tidak menggubris. Ia melirik sejenak ke arah pergelangan tangan Evelyn yang masih dibalut perban. “Apa masih terasa sakit?”Tetap tenang, Evelyn! Itu hanya pertanyaan biasa yang tak berarti apa-apa ....“Sudah jauh lebih baik,” sahut Evelyn seraya mengusap gulungan perban dengan lembut. Ia mengeda
Claudia dibawa pulang ke mansion dan dikembalikan ke harem. Beberapa teman selirnya menyambut hangat kedatangannya, terutama Evelyn. Mereka berpelukan sangat erat, seperti baru dipertemukan lagi setelah sekian lama berpisah.Obrolan mereka diawali dengan menanyakan kabar, menceritakan apa yang terjadi selama Claudia dijual di rumah bordil, dan tidak lupa Evelyn juga meminta maaf karena ia merasa bersalah dengan apa yang Claudia alami.“Kalau bukan karena aku, maka kejadian ini tidak akan menimpamu,” sesal Evelyn yang tengah duduk di sisi matras Claudia.“Tidak usah merasa bersalah. Lagipula, sekarang aku sudah bebas.” Claudia tersenyum tulus menanggapi ucapan Evelyn. “Tapi ... luka apa itu? Apa yang terjadi padamu selama tidak ada aku di sini?”Evelyn mengikuti tatapan mata Claudia yang mengarah pada gulungan perban di pergelangan tangannya. Ia pun menjelaskan soal percobaan bunuh diri yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Claudia sangat terkejut mendengarnya. Ia memarahi Evelyn, mewa
Beberapa hari kemudian ....“Waktunya makan malam! Silakan berbaris di dapur selir,” ucap Daissy usai membuka pintu harem. Setelah itu, ia kembali ke dapur karena harus menjaga meja prasmanan.Jarak dapur dan harem tidaklah jauh. Hanya perlu beberapa langkah saja para selir sudah sampai di area dapur. Mereka menyusun satu barisan, seperti kelompok bebek yang sangat disiplin dan rapi.Semuanya diberi menu makan malam yang sama rata dan sama rasa, yaitu salad untuk menu pembuka, steik dengan mashed potato sebagai hidangan utama, lalu pai apel sebagai makanan penutup.Hingga tiba giliran Evelyn, Daissy memberikan lebih banyak pai dan beberapa potong daging panggang. “Makanlah yang banyak. Kau tidak boleh sakit lagi,” ujarnya setengah berbisik.Evelyn tersenyum. Meskipun sekilas kelihatan seperti ibu tiri yang jahat dan licik, tetapi di satu sisi Evelyn merasa kalau Daissy cukup baik hati. “Terima kasih,” katanya.Evelyn melangkah pergi, menyusul beberapa selir yang sudah lebih dulu menda
Setelah Zach berlalu, suasana harem yang awalnya kondusif pun mendadak menjadi riuh. Mereka heboh mendengar kalimat terakhir yang Zach ucapkan sebelum pergi dari sini.“Apa aku tidak salah dengar?” Claudia meraup kedua pipi Evelyn dengan wajah antusias. “Tuan Zach menyuruhmu untuk menemuinya di kamar wanita pilihannya. Dia menginginkanmu, Eve!”Evelyn tersipu. Hanya saja ia terus menolak perasaan yang menyelubungi ulu hatinya. Ia tak ingin ikut jatuh ke dalam permainan yang telah ia rancang untuk menaklukkan hati Zach. Apa pun yang terjadi, hanya Zach yang boleh jatuh cinta padanya, sedangkan Evelyn tidak mau terjebak di antara perasaan cinta dan benci terhadap pria brengsek tersebut!“Bukankah kau dengar sendiri?” tanya Claudia seraya tersenyum ke arah Veronica yang terlihat menahan amarah dan cemburu. “Evelyn diminta datang ke kamar wanita pilihannya. Jadi, sudah jelas kalau Tuan Zach lebih tertarik pada Evelyn dibandingkan dirimu!”Veronica mengepalkan kedua tangan. Hatinya dirundun