Share

BAB 3

Author: APStory
last update Last Updated: 2023-09-29 22:26:45

"Laksanakan, Tuan!" jawab Joe dan Thomas secara bersamaan. Kompak sekali, karena sudah tak terhitung berapa banyak mereka mengatakan kalimat itu dalam sehari.

Zach melangkah semakin jauh, diikuti oleh beberapa pria yang memakai seragam serba hitam—persis seperti Joe dan Thomas. Ia dikawal kurang lebih oleh sepuluh orang yang mengekor di belakang.

***

Daissy mengajak Evelyn ke harem setelah Joe dan Thomas menyampaikan pesan dari Zach untuknya. Tubuh ramping gadis itu didorong masuk hingga nyaris terjungkal.

Ada seorang pria di dalam sana yang sedang sibuk memilih selir. Hingga kemudian, tatapan matanya berpaling ke arah Evelyn yang menurutnya cukup menarik perhatian. "Rupanya ada mainan baru di sini," ucapnya sambil melangkah mendekati Evelyn.

"Maaf, Tuan, tapi tadi Tuan Zach sudah berpesan kepada saya bahwa siapa pun tidak boleh menyentuh gadis ini—bahkan termasuk Tuan Oliver sekalipun," balas Daissy sesopan mungkin. Ia tak ingin membuat Oliver murka karena tersinggung dengan ucapannya.

Oliver, adik kandung Zach yang berusia dua puluh lima tahun itu memandang Daissy dengan tatapan yang mematikan. "Kau pikir hanya Zach saja yang menjadi tuanmu di sini?! Aku juga punya hak untuk memilih siapa pun menjadi penghangat ranjangku malam ini!" omelnya.

"Bukan begitu, Tuan ... hanya saja saya takut Tuan Zach marah dan—"

PLAK!

Semua mata memandang ngeri ketika Oliver melayangkan satu tamparan yang mendarat di pipi kanan Daissy. Membuat Daissy meringis karena merasakan panas di area bekas gambar telapak tangan Oliver. Perih sekaligus malu!

"Sekarang bagaimana? Kau lebih takut dengan Zach atau aku? Bahkan aku bisa melemparmu ke kandang singa jika masih berani melawan!" hardik Oliver. Rahangnya mengeras menahan emosi yang merajai diri.

Daissy menahan cairan bening di pelupuk matanya yang nyaris terjatuh. Ia menatap nanar Oliver, tapi mustahil baginya mengharapkan belas kasihan dari keluarga Muller. "Ampuni saya, Tuan ..." ucapnya dengan suara bergetar diselimuti rasa takut.

Oliver tersenyum penuh kemenangan. Persis seperti iblis yang bersembunyi di balik wajah tampannya yang menipu. Ia kembali melirik Evelyn dengan tatapan seakan menelanjangi gadis itu. "Sampai bertemu nanti malam di kamar pribadiku," ujarnya.

"Aku tidak pernah bilang setuju atas permintaanmu yang menjijikkan itu!"

Oliver baru saja mengambil langkah pertama menuju pintu saat mendengar ucapan Evelyn yang membuatnya berhenti melangkah. Lalu laki-laki berhidung mancung tersebut berbalik badan, menoleh pada Evelyn sambil mengernyit kikuk. "Apa?"

"Selain penggila selangkangan seperti kakakmu, ternyata kau juga tuli ya?" ejek gadis itu. "Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku tidak akan pernah mau menyerahkan tubuhku kepada para lelaki bajingan penghuni neraka di tempat ini!"

Semua mata kini memandang ke arah Evelyn. Tubuh mereka bergetar melihat sikap berani gadis itu. Bahkan ada yang saling berbisik melihat dirinya menolak tawaran Oliver secara terang-terangan, di saat wanita-wanita lain mengantre untuk bisa dijadikan selir kesayangan keluarga Muller.

Oliver sudah berdiri tepat di hadapan Evelyn. "Apa kau ingin merasakan sakitnya ditampar seperti Daissy? Tarik kembali kata-katamu, maka aku akan memaafkanmu kali ini."

"CIH! Aku bahkan tidak sudi mengucapkan kata maaf. Itu terlalu berharga untuk pria brengsek sepertimu." Tak ada raut ketakutan di balik wajah Evelyn, yang ada hanyalah ekspresi menantang seolah mengibarkan bendera perang.

Wajah Oliver memerah. Baru kali ini dirinya dipermalukan di depan banyak orang. "Tarik kembali kata-katamu, atau kau akan aku kubur hidup-hidup!" ancamnya.

"Silakan kubur aku hidup-hidup. Kebetulan aku ingin mati," jawab Evelyn. "Akan jauh lebih baik jika aku mati, dibandingkan harus tidur dengan pria brengsek seperti kau ataupun kakakmu!"

"Kau—" Oliver sudah mengangkat tangan hendak menampar Evelyn. Namun, ia mengurungkan niat dan kembali menurunkan tangan. "Sialan!" umpatnya.

"Kenapa berhenti? Cepat tampar aku! Bahkan aku tidak takut dibunuh olehmu," tantang gadis berambut lurus sebahu tersebut.

"Memohonlah padaku agar aku membebaskanmu dari kungkungan Zach. Kudengar ayahmu juga ditawan di ruang bawah tanah."

"Jika kata mohon yang kau maksud adalah dengan menyerahkan tubuhku, maka pilihanku akan tetap jatuh pada kata 'tidak'."

"Di antara saudaraku yang lain, hanya aku yang belum menikah, sedangkan Zachary dan Aldrick sudah memiliki istri. Bukankah kau seharusnya bangga jika aku pilih? Aku bisa saja menjadikanmu nyonya besar selanjutnya di keluarga Muller."

"WOW! Sayang sekali aku tidak tertarik," balas Evelyn yang tetap teguh pada pendiriannya.

Pria bermata hazel itu menghela napas, mencoba tetap tenang. Kini ia beralih menatap Daissy. "Suruh gadis ini membersihkan diri dan mengganti pakaian, lalu bawa dia ke kamarku sekarang juga!" titahnya.

"Laksanakan, Tuan!" Daissy tak bisa menolak perintah Oliver kali ini, karena ia tidak ingin menerima tamparan untuk yang kedua kalinya.

Evelyn terbelalak melihat kepergian Oliver yang terkesan tidak menghargai keputusannya. Pria itu tahu dirinya sudah menerima penolakan, tapi ia seakan tidak peduli. Menjengkelkan sekali!

"Kau sudah dengar sendiri, bukan?" tanya Daissy. "Aku masih berbaik hati dengan tidak memanggil pengawal untuk menyeretmu ke kamar mandi—bahkan setelah kejadian aku ditampar oleh Tuan Oliver hanya karena dirimu. Jadi, mari kita bekerja sama."

Evelyn masih terpaku ketika Daissy mulai berjalan mencarikan pakaian untuknya di lemari. Mau tidak mau, Evelyn masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

Usai mendengar kabar tentang Edgard yang ditahan di kantor polisi, Zach langsung meluncur ke tempat kejadian perkara. Akan tetapi, ia dan Stella—istrinya—hanya menunggu di dalam mobil bersama supir pribadi dan membiarkan anak buahnya yang bergerak menyelesaikan masalah.

Zach merupakan kandidat presiden pada periode selanjutnya. Ia tidak ingin ada orang yang melihatnya masuk ke kantor polisi dan menebak-nebak apa yang ia lakukan, lalu muncul berita simpang-siur di media sosial yang membuat namanya tercemar. Jadi, pilihan terbaik baginya adalah dengan duduk manis di mobil sambil mengisap rokok.

Setelah bernegosiasi dengan pihak kepolisian, pada akhirnya uang sebesar sepuluh ribu dolar A.S harus dikeluarkan demi menempuh jalan damai. Jumlah yang sangat sedikit di mata Zach, bahkan tidak sampai seujung kuku dari keseluruhan harta kekayaannya.

"Kupikir ini akan menjadi akhir dari kesuksesanmu, Zach." Stella, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu menarik telapak tangan Zach untuk digenggam.

Zach tersenyum miring, memandang ke luar kaca mobil, memperhatikan anak buahnya yang baru saja keluar dari kantor polisi bersama Edgard. "Ini hanya kerikil kecil dari banyaknya lika-liku yang sudah kita lalui, tapi kau masih saja panik seperti baru pertama kali menghadapinya," balasnya.

Stella hanya menanggapi ucapan Zach dengan senyuman takjub. Kemudian, Zach melepaskan tangan dari genggaman sang istri, memakai topi dan masker hitam supaya tidak ada orang yang mengenali dirinya. Setelah itu, ia membuka kaca mobil yang telah diketuk oleh anak buahnya. Puntung rokok yang hanya tersisa sedikit pun ia lempar ke badan jalan.

"Masalah sudah selesai, Tuan," ucap laki-laki bernama Alex tersebut.

Zach merespons, "Berikan uang tutup mulut untuk anak ini dan jangan pernah libatkan dia lagi ke dalam bisnis kita."

"Laksanakan, Tuan!"

Edgard menatap Zach dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, Tuan Grey, aku masih ingin menjadi bagian dari kalian. Tolong jangan pecat aku dari pekerjaan ini," pintanya memohon.

Grey merupakan nama yang dipakai oleh Zach saat ia melakukan penyamaran dari orang lain. Jadi, ada dua nama yang melekat pada dirinya. Pertama, Zachary Muller yang dikenal sebagai seorang politikus yang mencalonkan diri menjadi presiden tahun depan. Kedua, Greyson Muff yang dikenal sebagai mafia kelas kakap yang kejam, licik dan arogan.

The Sawtooth Eel, atau belut gigi gergaji adalah sebutan orang-orang untuk Greyson Muff, karena pria itu licin dan sulit ditangkap seperti belut, juga tajam dan berbahaya.

"Kau hanya bocah ingusan yang tidak dapat diandalkan. Beruntung aku tidak menyuruh Alex untuk mencekik lehermu," ucap Zach kepada Edgard diiringi tatapan bengis.

Di tengah obrolan, seseorang baru saja turun dari mobil pengawal, lalu berjalan menghampiri Zach yang masih duduk santai di dalam mobil.

"Lapor, Tuan! Ada telepon dari Daissy. Katanya, Tuan Oliver memaksa Evelyn menjadi wanita penghangat ranjang untuknya sekarang juga," beritahu pria yang merupakan satu dari sepuluh pengawal pribadi Zach.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Simpanan Mafia Kejam   Rencana S2

    Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️

  • Wanita Simpanan Mafia Kejam   Extra Part 4

    “Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y

  • Wanita Simpanan Mafia Kejam   Extra Part 3

    “Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c

  • Wanita Simpanan Mafia Kejam   Extra Part 2

    “Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di

  • Wanita Simpanan Mafia Kejam   Extra Part 1

    Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber

  • Wanita Simpanan Mafia Kejam   BAB 113

    “Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status