"Ini adalah kamar para selir. Kau mungkin akan menjadi salah satunya." Daissy menjawab pertanyaan Evelyn seraya mengajaknya berjalan menuju kamar mandi.
"Kamar selir?" Sontak gadis berambut sebahu itu membulatkan mata. "Majikan sialanmu itu pasti mengidap penyakit kelamin. Dia bergonta-ganti pasangan di atas ranjang semudah menabur bubuk wijen di atas daging panggang. Iya, 'kan?""Cepat masuk, dan jangan banyak omong!" perintah Daissy yang baru saja membukakan pintu kamar mandi untuk Evelyn. "Sementara kau membersihkan diri, aku akan mengambilkan handuk dan menyiapkan pakaian."Banyak pertanyaan muncul di benak Evelyn. Namun, gadis itu menahan lidahnya agar tidak mengeluarkan suara. Walaupun merasa kesal dan curiga secara bersamaan, tapi ia mencoba sabar dan memilih patuh pada perintah Daissy.Selesai mandi, Evelyn diajak ke ruang ganti untuk mengenakan pakaian. Daissy memberinya gaun selutut berpotongan rendah yang kelihatan sangat mahal. Akan tetapi, alih-alih senang dan bangga, Evelyn justru merasa seperti wanita murahan yang hendak melayani nafsu bejad laki-laki hidung belang."Tidak adakah pakaian lain yang lebih baik? Bahkan aku malu melihat bayanganku sendiri di dalam cermin," ujar gadis itu seraya membuang tatapan dari cermin besar di hadapannya.Daissy yang sedang menyisir rambut Evelyn hanya bisa menghela napas panjang. Bukan satu atau dua kali dirinya diberi tugas seperti ini oleh sang majikan. Namun, hari ini adalah yang paling sial karena harus dipertemukan dengan Evelyn yang sering kali menanyakan banyak hal kepadanya."Ini permintaan Tuan Zach," balas Daissy. "Aku tidak mau mati konyol hanya karena menolak perintahnya—kecuali jika kau mau bertanggung jawab menggantikan diriku digantung di atas perapian."Kalimat itu lantas membuat Evelyn berdecih. "Selain licik, ternyata dia juga seorang psikopat," ucapnya."Jangan pernah berurusan dengan keluarga Muller jika kau tidak ingin mati di tangan mereka." Daissy menarik kedua bahu Evelyn agar menghadap ke arahnya. Ia tatap bola mata gadis itu lurus-lurus, lalu kembali berkata, "Keluarga Muller, terutama Tuan Zach, tentu bukanlah lawan sepadan untuk kau jadikan musuh. Aku turut prihatin karena kau baru saja terjebak ke dalam neraka yang dihuni para iblis berkedok manusia. Karena sekali saja kau masuk ke sini, maka tidurmu tidak akan pernah nyenyak lagi, Nona!"Evelyn sempat merinding mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Daissy. Ia merasa seperti seekor semut yang terjebak di dalam botol berisi sembilan puluh sembilan persen air. Pengap dan sesak.Di tengah obrolan serius tersebut, dua orang pengawal berpakaian serba hitam baru saja mengetuk pintu dan meminta Evelyn untuk segera keluar dari ruang ganti. Kemudian, Evelyn tidak bisa melawan ketika mereka—Joe dan Thomas—menarik tangannya secara paksa dan membawanya entah ke mana."Hey! Berhenti memperlakukanku seperti binatang. Kenapa kalian kasar sekali?!"Ucapan Evelyn sama sekali tidak digubris. Sementara Joe menahan lengan gadis itu, Thomas membuka sebuah pintu dan tubuh Evelyn didorong dengan kasar oleh Joe untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.Setelah itu, pintu kembali ditutup dan dikunci dari luar sesuai dengan perintah bos mereka.Dan di sinilah Evelyn sekarang. Terkunci di dalam kamar megah milik seorang mafia penyelundup kokain terbesar di Amerika yang identitasnya tidak diketahui oleh banyak orang. Kebanyakan orang hanya tahu namanya, yaitu Zachary Muller. Tapi mereka sama sekali tidak mengetahui siapa Zachary sebenarnya."Lihatlah! Seorang gadis kecil sedang menatapku dengan penuh kebencian. Apakah aku akan dibunuh jika lengah sedikit saja?" Zach berjalan perlahan menghampiri Evelyn dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. "Mari kita lihat! Apa kau menyembunyikan belati di balik gaun seksi yang kau kenakan?""JANGAN SENTUH AKU!" bentak Evelyn. Kalimat spontan terucap sebagai bentuk pertahanan diri."WO-HOO .... Gadis kecil ini lebih menakutkan dari yang aku bayangkan." Zach mengangkat kedua tangan sambil tersenyum miring, membuat wajahnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari sebelumnya. Akan tetapi, jangan harap Evelyn akan jatuh ke dalam pesona pria itu yang menyimpan sejuta muslihat."Kau pikir dengan siapa kau berhadapan sekarang?" tanya Zach dengan nada angkuh. "Bayi singa sepertimu tidak mungkin menang melawan harimau dewasa sepertiku," katanya."Maka dari itu bebaskanlah aku! Bukankah terlalu pengecut jika harimau dewasa mengurung bayi singa di wilayah kekuasaannya?"Skakmat!Evelyn berhasil membungkam kesombongan Zach cukup dengan satu kalimat, sehingga pria itu hanya berdiam diri tanpa sepatah kata pun yang meluncur dari bibir merah mudanya.Zach mencoba membunuh Evelyn dengan tatapan yang mematikan. Namun, ia tidak melihat setitik pun rasa takut di balik bola mata seindah rembulan milik gadis itu. Justru yang ada hanyalah raut wajah menantang seperti mengajak perang."Kau memang tidak ada bedanya dengan Victor, sama-sama angkuh dan pemberani.""Tentu saja, karena aku adalah putrinya." Evelyn mengambil langkah mundur ketika Zach terus mendekatkan wajah ke arahnya. Bahkan semakin dekat, hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka. Sampai akhirnya ...BRUK!Punggung Evelyn membentur tembok. Tak ada kesempatan baginya untuk menghindari laki-laki berperawakan tinggi tersebut. "Apa yang akan kau lakukan? Pergilah dari hadapanku!"Zach tertawa geli, terdengar seperti iblis di telinga Evelyn. "Ini mansionku, tapi kau bersikap layaknya sedang berada di gubuk pribadimu." Ia menempelkan satu tangan ke dinding, tepat di samping gadis itu."Lalu apa tujuanmu mengurungku di mansion kotormu ini?" tanya Evelyn penasaran. "Kau ingin aku menyerahkan tubuhku padamu?""Untuk dimutilasi?" Zach menaikkan satu alisnya, bicara dengan nada dingin dan mencekam. "Apa aku terlihat seperti psikopat?""Untuk memenuhi hasratmu, brengsek!" ralat Evelyn. "Seperti yang dilakukan para selir yang terjebak di ruangan kotor itu!""Kau terlalu percaya diri." Pria itu mengerling meremehkan ucapan Evelyn. "Atau kau memang berharap aku menidurimu, hm?""Aku sama sekali tidak berharap ditiduri oleh pria bajingan sepertimu!" balas Evelyn dengan nada suara yang sangat tegas."Memangnya laki-laki mana yang mau menyentuh tubuhmu yang tidak menggoda itu!?" ejek bos mafia tersebut dengan nada angkuh. "Gadis sepertimu pantasnya menjadi tukang pijat bagi para wanita simpanan yang kelelahan usai melayaniku semalaman di atas ranjang.""Ide bagus! Lebih baik aku menjadi tukang pijat mereka dibandingkan harus menjadi salah satu bagian dari mereka."Zach mengepalkan kedua tangan. Wajahnya merah padam mendengar ucapan Evelyn yang secara tidak langsung telah merendahkannya. Itu membuat emosi di dalam diri Zach berkobar, sehingga pria itu mencengkeram erat pipi Evelyn dengan sebelah tangan. "Dengar, ya! Kau sama sekali bukan tipeku. Bahkan sekalipun kita tidak berhubungan badan, seharusnya aku yang menolakmu. Bukan sebaliknya! Lagipula, gadis sepertimu tidak pantas bersanding denganku di atas ranjang! Mengerti?!"Napas Evelyn semakin memburu seiring dengan keringat yang mulai bercucuran dari keningnya. Melihat wajah marah Zach tentu saja membuat Evelyn takut. Namun, gadis itu berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya. Jangan sampai ia terlihat lemah di hadapan lawan."Jangan bersikap seakan-akan kau paling suci di sini, sedangkan aku adalah si Brengsek yang hobinya merampas kesucian wanita!" pungkas Zach. Evelyn benar-benar mati kata dibuatnya.Di tengah suasana menegangkan tersebut, ponsel di saku celana Zach berdering. Ia pun menepis wajah Evelyn dengan kasar, sebelum akhirnya memeriksa siapa yang menelepon. Kemudian, menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan setelah mengusap ke atas ikon berwarna hijau."Halo, Stella?"'Ada masalah, Zach. Edgard ditahan di kantor polisi karena ketahuan menyembunyikan kokain di dalam sepatunya,' ucap seorang wanita yang merupakan lawan bicara Zach di telepon."Kenapa kau panik sekali? Kita sudah sama-sama tahu apa yang harus dilakukan. Ini masalah kecil bagiku." Sambil berdecih remeh, Zach berjalan melewati Evelyn dan mengeluarkan access card dari saku jas, lalu menempelkan kartu pada kontak sensor di sisi tengah pintu—sebelum akhirnya pintu terbuka secara otomatis.Melihat kepergian Zach, Evelyn tentu sangat senang. Tapi bukan berarti ia bisa bernapas lega. Gadis itu tidak tahu berapa lama dirinya harus terjebak di tempat yang baginya sangat kotor dan menjijikkan."Bawa gadis itu ke harem! Ada urusan yang harus aku selesaikan," pesan Zach kepada Joe dan Thomas yang sejak tadi hanya berdiam diri menunggu di depan pintu kamar. "Dan beritahu Daissy, jangan sampai ada satu orang pun yang menyentuh Evelyn, termasuk adik dan kakakku! Aku mau gadis itu merasakan penderitaan yang lebih parah karena sudah berani main-main denganku!"Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany