Kabar tentang menghilangnya Victor dan Evelyn benar-benar membuat gempar. Beritanya heboh, semua orang sibuk membahas dan berdiskusi di mana-mana. Terutama Lucas, laki-laki berusia dua puluh delapan tahun yang sudah menyusun rencana untuk menikahi Evelyn dua hari lagi.
Isi kepala Lucas nyaris meledak memikirkan di mana Evelyn dan calon ayah mertuanya berada sekarang. Beruntung dia tidak sampai sakit jiwa. Terlebih lagi keluarga besarnya terus menuntut jawaban mengenai bagaimana keputusan Lucas dalam menghadapi hari H.Apakah Lucas harus membatalkan acara yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan tersebut?Sedangkan, undangan telah tersebar di mana-mana. Gedung pernikahan, suvenir, beberapa bintang tamu yang merupakan penyanyi kelas internasional, gaun dan jas, mahar dan masih banyak lagi. Bisa dibilang segalanya telah dipersiapkan dengan tingkat kematangan mencapai sembilan puluh lima persen. Sisanya hanya tinggal menggelar pesta di hari yang ditentukan.Itu semua jelas menguras biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi, tentang seberapa banyak uang yang dikeluarkan, Lucas sama sekali tidak mempersoalkan itu. Ia hanya mempertanyakan, kenapa Evelyn tiba-tiba menghilang satu minggu sebelum pesta berlangsung?"Ayah mengerti betapa sedih dan terpukulnya dirimu begitu mendengar kabar mengenai hilangnya Evelyn. Tapi, semua yang telah direncanakan tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. Dengan sangat menyesal dan ikut prihatin, Ayah ingin kau tetap menikah meskipun gadis itu bukan Evelyn."Suara berat dan dalam itu terus mengalun di kepala Lucas, seperti kaset yang diputar secara berulang-ulang. Itu adalah pesan mutlak dari Ronald, ayahnya yang menolak keras ketika Lucas memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan tersebut.Ronald sangat malu dan menganggap berita menghilangnya Evelyn adalah aib bagi keluarga besar mereka. Jadi, Ronald menyuruh Lucas mencari seorang wanita sebagai pengantin pengganti Evelyn untuk berjalan di atas altar pernikahan yang sakral dan suci. Akan tetapi, Lucas tidak tahu siapa dan seperti apa wanita yang harus dia tunjuk. Jalan pikirannya buntu. Dunianya sudah retak, dan sang ayah malah membantingnya secara paksa hingga remuk.Di tengah konflik yang membuatnya dilema, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar dan menyadarkan Lucas dari lamunan panjang. Begitu menoleh, ia melihat Isabella, asisten pribadinya yang sedang berdiri menunggu diperintahkan untuk masuk.Pintu dan dinding ruangan memang sengaja didesain khusus menggunakan bahan kaca tebal dan sedikit buram, sehingga mudah bagi Lucas untuk mengetahui siapa yang mengetuk pintu dan melewati ruangan."Masuk!" perintah Lucas dengan nada yang tetap tenang, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa saat ini ulu hatinya sangat hancur.Isabella masuk, lalu tidak lupa memberikan salam hormat dengan cara membungkukkan sedikit badannya. "Lapor, Tuan! Di depan gedung ada banyak wartawan dari berbagai awak media yang ingin menggali informasi mengenai kabar hilangnya Tuan Victor dan Nona Evelyn."Lucas memejamkan mata, mengurut pelipisnya seraya mendengkus frustrasi. Sejak Victor dan Evelyn dinyatakan hilang entah ke mana, tugas dan wewenang dalam mengurus stasiun televisi memang digantikan sementara oleh Lucas yang merupakan wakil CEO SMTV. Jadi, setiap ada masalah atau kegaduhan, orang-orang selalu membebankannya ke punggung Lucas."Atur jadwal untuk menghadiri konferensi pers. Aku akan menjelaskan semuanya di sana," titah Lucas sambil menggerakkan kursi putar ke kiri dan ke kanan, sedangkan tatapannya menyorot lurus ke dalam manik mata Isabella.Wanita itu mengangguk. "Baik, Tuan!" Kemudian, pamit untuk meninggalkan ruangan.Pada malam harinya, Lucas pergi ke kelab malam untuk melepas penat dan melupakan sejenak masalah-masalah yang menyerbunya seakan tiada henti.Beberapa gelas minuman masuk ke mulut pria itu tanpa memikirkan risiko yang akan diterima jika ia berlebihan mengkonsumsinya.Dalam kebimbangan yang membuat dirinya hampir putus asa, seorang perempuan tiba-tiba datang menghampiri Lucas dan merebut gelas berisi alkohol di tangan pria malang tersebut.Lucas tersentak. Menoleh ke arah pelaku, memandanginya dengan geram dan tajam. Meskipun titik kesadarannya berkurang lima puluh persen, tapi ia dapat memastikan siapa perempuan di hadapannya saat ini."Jane?" Lucas bergumam. Iya, tidak salah lagi itu adalah Jane, sahabat Evelyn yang juga secara otomatis telah menjadi sahabat Lucas sejak dua tahun lalu dikenalkan oleh Evelyn.Tanpa banyak omong, Jane membuang sisa minuman di gelas tersebut, membiarkannya mengalir hingga tak bersisa. Bahkan ia juga merampas botol minuman yang baru saja diambil oleh Lucas di atas meja. Sama sekali tidak memberi kesempatan pada pria itu untuk memasukkan lebih banyak alkohol ke mulutnya."Seandainya Evelyn kembali dan melihatmu sehancur ini, dia pasti akan merasa bersalah dan sedih sekali. Jadi, tolong jangan lakukan sesuatu yang bisa membuat Evelyn menyesal. Hargai dirimu sendiri dengan tidak merusaknya," ucap Jane setelah melempar botol minuman ke sembarang arah, hingga orang-orang di sekitar terkejut dan memandang bingung ke arahnya.Lucas benar-benar sudah buntu dalam mencari titik terang dari masalah yang ia alami, alih-alih pikirannya bercabang tak tentu arah. Namun, di ujung tembok besar yang menghalangi jalannya, ia melihat garis keretakan yang nyaris membuat dinding masalahnya pecah."Benar, jawabananya adalah Jane." Pria itu berbicara sangat pelan, sehingga Jane tidak bisa mendengar selain hanya menangkap gerakan kecil di bibir Lucas.Jane terkesiap ketika Lucas tiba-tiba melingkarkan jemari di pergelangan tangannya. Ia dicengkeram dan ditarik. Tidak diberi ruang untuk menghindar sedikit pun. Hingga ketika bola mata mereka saling bertegur sapa, Lucas melontarkan sebuah kalimat mengejutkan yang berhasil membuat jantung Jane berdetak sangat kencang. "Menikahlah denganku!"***Sudah terhitung hampir satu bulan sejak Evelyn terjebak di mansion tanpa tahu bagaimana cara untuk melarikan diri. Ia diberi makan dan minum seperti para selir lainnya. Namun, sejak kejadian di mana Zach memukul wajah Oliver pada saat itu, kini tak ada lagi yang berani memilih Evelyn sebagai penghangat ranjang.Termasuk Oliver. Sepertinya peringatan yang keluar dari bibir Zach benar-benar berhasil membuat Oliver kapok. Buktinya sampai detik ini pun Oliver tidak pernah lagi menunjuk Evelyn untuk masuk ke kamar pribadinya.Pada satu kesempatan, Evelyn berhasil keluar dari kamar harem karena para penjaga di depan pintu sedang pergi entah ke mana. Mungkin ada urusan penting yang membuat kedua manusia itu terpaksa meninggalkan tugasnya. Dan Evelyn yakin sekali kalau itu benar-benar sesuatu yang mendesak. Sebab, selama dirinya terperangkap di tempat sialan ini, baru sekarang ia melihat tidak ada penjaga di depan pintu harem.Maka dari itu, Evelyn tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia melangkah dengan sangat pelan. Mengendap-endap seperti maling yang tidak ingin tertangkap basah. Menoleh ke setiap sudut dan memperhatikan lorong dari kejauhan. Kalau sampai hari ini ia gagal dalam percobaan melarikan diri, belum tentu besok atau lusa ia mempunyai peluang yang sama."HEY! MAU KE MANA KAU?!"Evelyn terbelalak mendengar teriakan seorang laki-laki dari belakang. Keringat dingin mulai membanjiri kening dan telapak tangannya. Alih-alih menoleh demi memastikan siapa pemilik suara tersebut, ia malah mengambil langkah seribu untuk menghindar.Satu hal yang pasti, Evelyn sangat yakin itu adalah salah satu penjaga di mansion yang mewah dan super megah ini. Pasti!"TANGKAP DIA!" Seorang penjaga berteriak kepada para penjaga lainnya.Dalam upaya melarikan diri, Evelyn mencoba mengatur napas yang mulai berantakan, sementara denyut jantungnya semakin kacau dan tak terkendali. Ia terus berlari, tapi juga kelimpungan saat mencari jalan keluar. Tempat ini terlalu luas dan sangat membingungkan, seperti lingkaran setan yang tidak berujung.Evelyn semakin panik ketika melihat beberapa penjaga di depan sana. Akan tetapi, tanpa pikir panjang ia mengambil keputusan cepat untuk berbelok ke sebuah tikungan. Baginya yang paling penting saat ini adalah menghindari orang-orang itu. Bahkan jika tong sampah menjadi satu-satunya tempat untuk Evelyn bersembunyi, maka ia akan masuk ke sana tanpa harus berpikir dua kali.Di tengah situasi menegangkan tersebut, Evelyn menyempatkan diri menoleh ke belakang. Ingin mengukur seberapa jauh ia berhasil menghindar dari kejaran para penjaga. Namun, tiba-tiba ...BRUK!Tanpa disangka Evelyn membentur sesuatu, sehingga tubuh mungilnya tersungkur dalam hitungan sepersekian detik. Ia kembali menoleh ke depan, lalu melihat sepasang pantofel hitam yang mengkilap. Seseorang sedang berdiri tepat di hadapannya.Gadis itu mendongak dengan tubuh gemetar. Tulangnya terasa dingin dan nyaris membeku saat mendapati Zach sedang memandangnya dengan tatapan tajam dan mengerikan."Berusaha kabur?" Pria itu menunjukkan ekspresi seperti ingin menelan bulat-bulat tubuh mungil Evelyn. Atau ... seakan sedang menguliti gadis itu tanpa belas kasihan.Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany