Tak ingin buang-buang waktu aku berangkat menaiki ojeg online menuju Rumah Pak Andre di ujung kota ini. Karena jika mengendarai mobil, bisa dipastikan aku akan terjebak macet dan kehilangan banyak waktu. Tak sampai setengah jam aku sudah sampai di rumah Pak Andre yang begitu besar. Di dalam rumah ini terdapat basement, untuk memarkirkan koleksi mobilnya, ada juga lift yang menghubungkan 4 lantai rumahnya ini dan juga kolam renang yang luas.Dulu saat aku masih bekerja padanya, aku selalu ikut berenang di rumahnya ini. Kami pun kadang berlomba mencari tahu siapa yang paling tangkas. "Galang! Senangnya aku dikunjungi olehmu lagi!" sapa Pak Andre, yang ternyata telah menungguku."Aku yang senang karena Bapak masih mau menerimaku ini di sela-sela kesibukan Pak Andre," jawabku."Alah, aku sudah pensiun dalam bisnis, Lang. Sekarang tinggal menikmati hidup saja. Aku sudah melepaskan perusahaan pada anak-ana," terangnya, sambil kami berjalan beriringan masuk kedalam rumah bak istana itu. "
Ditengah permainan catur selepas makan siang tadi, Pak Andre menerima telepon yang sepertinya cukup penting. Aku tentu tak melewatkan kesempatan ini untuk mencari di mana Ibu berada. Dengan beralasan ke kamar kecil, aku mengelilingi rumah Pak Andre, berharap bisa bertemu dengan Ibu dan juga Wulan.Ternyata cukup sulit menemukan keberadaan mereka di rumah yang sebesar ini. Sudah kutelusuri semua lorong rumah, mencari dari kamar ke kamar, tapi belum juga kudapati tanda-tanda keberadaan mereka.Hingga aku pun menyerah, memilih untuk kembali saja. Aku khawatir Pak Andre akan mencurigaiku karena pergi terlalu lama. Namun, tiba-tiba aku melihat sosok Ibu tengah berlari menjauh dari tempatku berada. Nampaknya Ibu lebih dulu mengetahui keberadaanku, lalu ia pun berusaha kabur dariku."Mau kemana, Bu?" tanyaku, seraya menarik lengannya kasar. Ibu nampak amat ketakutan, ia menggeliat, berusaha melepas cengkraman tanganku, agar tak bisa kabur lagi dariku.Kulihat Ibu tengah membawa tas yang cuku
"Pak Leo, ini kita mau kemana ya? Bukannya tadi kubilang kita ke Perumahan Azalea ya? Kenapa ini jalannya berbeda?" tanya Wulan saat ia mulai menyadari bahwa aku tak menbawa mereka ke tempat seharusnya.Tentu saja tak kugubris pertanyaannya. Tetap fokus menyetir mobil, membawa mereka ke tempat di mana seharusnya mereka berada."Pak Leo! Mau kemana kita sih? Kenapa kamu malah membawa kami menjauhi tempat yang aku perintahkan?" protes Wulan kini, terdengar mulai panik."Wulan, kita mau dibawa kemana ini sebenarnya? Kau mau membawaku menyewa sebuah rumah di komplek perumahan elit itu kan?" Ibu kini terdengar tak kalah paniknya. "Kenapa ini seperti jalan mau ke ...." Entah kenapa Ibu tak menyelsaikan ucapannya. Pastinya Ibu dan Wulan tahu jalan yang dilalui ini menuju kemana."Ah sudah Bu, jangan buat aku tambah panik ya! Please Ibu diam saja nanti tahu beres!" ucap Wulan pada Ibu lagi lebih keras kini."Pak Leo! Aku tanya sekali lagi. Kau mau membawa kita kemana?" Kini Wulan membentak d
Ibu dan wulan hanya bisa melongo melihat aksiku dan Satria begitu saja."Jadi Ibu, Wulan, tugas kalian adalah membersihkan semua kekacauan ini sekarang juga!"****"Kau, Galaaaang!" Wulan mencoba protes."Tak usah protes, aku masih baik karena membiarkan kalian mengerjakannya berdua. Sementara waktu itu kalian membiarkan Alika mengerjakan semuanya sendirian," tangkasku melihat raut keberatan keduanya "Ooh ... no ... no ... no ...! Aku sudah pernah diperlakukan seperti pembantu sendirian oleh Galang. Tapi Wulan belum pernah sama sekali. Sekarang biarkan aku istirahat dan giliran Wulan yang melakukan semuanya!" tolak Ibu lalu langsung berlalu begitu saja menuju lantai atas meninggalkan kami semua."Ibu ..., tidak bisa begitu, ayo bersihkan bersama-sama!" protes Wulan kesal."No, silahkan saja. Aku capek, lelah, bosan dengan semua pekerjaan itu!" Ibu terus berlalu meninggalkan Wulan begitu saja yang lalu dibalas cebikan oleh Wulan."Jadi, Wulan sekarang lah giliranmu untuk menyelesaikan
Ibu dan Wulan mau tak mau tetap harus menyelsaikan pekerjaan mereka, walau dengan badan yang terluka dan pastinya sakit-sakit setelah dipukuli oleh Satria barusan. Satria tak mau memberikan keringanan sedikit pun. Ia mengancam akan kembali melakukan aksinya jika semua pekerjaan belum selesai.Sebenarnya aku merasa iba, tapi aku pun harus merasa tega seperti kata Satria. Kubiarkan mereka terus bekerja, toh memang tinggal sedikit lagi saja. Sampai akhirnya Ibu dan Wulan berhasil menyelsaikan semuanya saat jam menunjukkan pukul 22.30. Mereka pun bersegera masuk ke kamar Ibu, dan berisitirahat berdua di sana.Sedang Satria kini sudah pulang kembali kerumahnya. Ia berulang kali mengingatkanku untuk bersikap lebih keras pada Ibu dan Wulan untuk membalas semua perbuatannya pada Alika."Ini kesempatanmu satu-satunya untuk membayar semuanya, Lang! Jangan sampai kau melewatkannya. Ibu dan Wulan pantas mendapatkannya!" ucapnya tadi saat akan pulang. Tentu saja aku hanya mengangguk mengiyakan.Ki
Pagi ini aku mendatangi sebuah kantor detektif untuk membantuku mencari bukti tentang kecurigaan Kaira terhadap Wulan. Aku tak lagi mau meminta bantuan Satria, karena aku pun kini harus fokus menyelidiki dirinya tentang kecurigaanku apakah Satria ada main di perusahaanku.Pada detektif tersebut kuserahkan semua data Wulan, foto, alamat rumah, juga nomor telepon. Kuminta mereka menyadap juga ponsel Wulan agar menyegerakan proses pencarian bukti ini.Tak lupa juga kuserahkan segepok uang muka agar mereka semakin semangat bekerja."Ini sebagai uang mukanya. Setelah kau temukan bukti valid, akan kutambah dua kali lipatnya," ujarku, pada lelaki bertato dengan wajah garang itu. Pak Fatah namanya, ia mengaku sebagai mantan intel polisi. Kini ia sudah pensiun dan fokus pada jasa detektif bersama beberapa anak buahnya."Tenang Pak, kasus seperti ini sudah sering aku tangani. Biasanya bahkan tak sampai dua hari bukti sudah terkumpul," pungkasnya penuh percaya diri."Baguslah, Pak. Lebih cepat,
Keesokan harinya aku mulai bersiap untuk bekerja seperti biasa. Ibu sempat merasa aneh melihatku dengan setelan kerja lagi, setelah sekian lama aku tidak bekerja.Ia dengan sigap menyiapkan keperluanku. Menyiapkan nasi goreng spesial untuk kumakan dan juga segelas susu hangat."Kau berangkat kerja lagi sekarang?" tanya Ibu, sambil menemaniku sarapan. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya."Baguslah. Jangan biarkan Satria menggerogoti perusahaanmu, Galang. Dia itu licik tahu. Kau lihat sendiri apa yang dilakukannya padaku kemarin, kan? Padahal dia tak ada urusan apa pun, tapi dia malah memukuliku habis-habisan. Kau saja tak pernah melakukan hal itu sama sekali," tutur Ibu lagi, yang hanya kudengarkan begitu saja. Biarlah Ibu menilai apa tentang Satria, tapi aku tahu dia tulus padaku. Ia selalu ada untukku bahkan saat aku belum seperti sekarang. Dia juga yang percaya bahwa bukan aku yang melakukan kekerasan pada Alika dan Alesha. Dia juga yang menolongku setiap kali aku kesusahan
Namun belum sempurna meninggalkan ruang makan ini, Ibu kembali memanggilku."Galang, apakah Alika pernah mendatangimu?" tanya Ibu dengan suara yang lemah sekali.****"Hah, apa?" Aku meminta Ibu mengulang pertanyaannya lagi. Takut aku salah mengerti pertanyaannya barusan. Atau Ibu yang salah mengucapkan. Tadi ia mengatakan tentang didatangi Alika kan? Apa Alika benar mendatangi Ibu?"Ah ... tak apa. Lupakan saja!" ucap Ibu,Sambil berlalu meninggalkanku sendirian di ruang makan.Sebenarnya pertanyaan Ibu membuatku penasaran. Tapi kucoba untuk menghiraukannya. Lebih baik kembali fokus dengan urusanku. Rasanya hari ini melelahkan sekali, aku ingin segera mandi, badanku sudah terlalu lengket semua. Maka kulangkahkan kaki ini ke dalam bak mandi, dan membiarkannya terendam seluruhnya. Kembali aku mengingat semua yang terjadi hari ini. Tentang pekerjaanku kini, batalnya mega proyek bersama Dyna Corp, juga tentu saja sikap Rendy yang mencurigakan saat kusampaikan tentang Alika padanya.Jik