WANITA YANG BUNUH DIRI ITU TERNYATA ISTRIKU (2)
Kini aku hanya bisa duduk terdiam di lorong rumah sakit, meratapi semua yang telah terjadi. Masih berharap jika ini semua mimpi. Rasanya ingin kembali pulang ke rumah dan mendapati Alika tengah menyambutku di sana.
Namun, keberadaanku saat ini di rumah sakit beserta lalu lalang orang berbaju putih khas perawat dan dokter, meyakinkanku bahwa ini semua kenyataan yang tak dapat lagi dielakkan.
Jasad Alika telah dievakuasi dan tengah berada di rumah sakit untuk proses identifikasi lanjutan dan juga proses autopsi.
Aku yang tak tahu harus berbuat apa hanya mengikuti semua arahan yang diberikan polisi sebelumnya. Termasuk saat mereka meminta beberapa keterangan tentang Alika.
Tiba-tiba aku teringat tentang Alesha di rumah, bagaimana nasib anak itu ke depannya tanpa Alika?
Segera kuhubungi Wulan yang berada di rumah untuk mengabari perihal Alika, juga menanyakan kabar Alesha.
"Wulan, Alika telah meninggal, Wulan! Dia bunuh diri!" terangku saat kuhubungi istri keduaku.
Dari belakang telepon sana masih dapat kudengar tangisan Alesha. Ah ..., anak itu pasti merindukan Ibunya, karena anak itu memang tak dekat dengan Wulan ataupun Ibuku, neneknya sendiri.
"Hah ..., bunuh diri? Kau pasti bercanda 'kan Galang? Tak mungkin dia melakukannya!" elak Wulan tak percaya.
"Tidak, Wulan, aku serius! Aku sekarang sedang berada di rumah sakit bersama jenazahnya."
"Yang benar saja? Berani juga dia melakukannya! Alika, Alika...!" ucap Wulan sambil tertawa.
"Apa maksudmu, Wulan?" selidikku, kesal karena Wulan malah menertawai hal yang tidak lucu sama sekali.
"Ah, bukan apa-apa, kok! Sudah ya Galang, nanti aku tunggu kau di rumah ya, Sayang! Bye!"
Entah kenapa respons Wulan saat kukabari tentang Alika tadi malah seperti menertawakan. Wulan malah terdengar senang atas berita yang baru saja kusampaikan.
Aku jadi curiga telah terjadi sesuatu di rumah sebelum adanya insiden ini? Yang kutahu memang Ibuku dan Wulan tak pernah akur dengan Alika. Setiap hari selalu ada saja pertengkaran antara mereka bertiga.
Bukan aku tidak mencoba untuk mendamaikan mereka. Segala cara telah kucoba agar Alika, ibuku dan Wulan bisa Hanya saja mereka tidak Apa lagi mengingat watak keras Ibuku terutama pada Alika.
Alika berulang kali meminta untuk pindah rumah, tak mau bersatu dengan Ibuku dan madunya. Namun, tak pernah kugubris permintaannya. Pikirku buat apa pindah, sedang rumah yang kami tempati jelas adalah rumahku sendiri.
Rumah itu kubeli atas jerih payahku sendiri. Rumah yang cukup besar dengan banyak kamar. Makanya aku memilih tak memisahkan rumah Alika dan Wulan karena rumah itu saja masih cukup untuk menampung beberapa orang lagi.
"Alika ..., Alika ...." suara derap langkah kaki berlari mendekat, disertai suara orang memanggil-manggil nama istriku.
Ternyata itu adalah Ibu dan Bapak mertuaku. Entah siapa yang memberitahu mereka, tiba-tiba saja mereka sudah ada di rumah sakit padahal aku sama sekali belum mengabari mereka akan kondisi anaknya.
Bapak sekonyong-konyong mendekatiku, menarik kerah kemeja dengan keras, hingga membuatku yang sedang duduk tiba-tiba terangkat berdiri dibuatnya.
"Apa yang telah kamu lakukan pada anakku, sehingga ia nekat bunuh diri?" tuduhnya penuh dengan emosi. Matanya memerah, menatapku nyalang. Aku sungguh takut ia akan menyakitiku.
Beberapa polisi yang berada di dekat kami segera melerai. Meminta Bapak Mertuaku itu untuk lebih tenang. Sedang Ibunya Alika kini menangis histeris, ia meraung-raung duduk di kursi seorang diri.
"Di mana Alesha berada?" tiba-tiba Hilya adik Alika datang, menanyakan anakku.
"Di--dia di rumah," jawabku gugup.
"Dengan siapa dia di sana? Biar aku menjemputnya!" ucap Hilya, sambil pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dan izinku terlebih dahulu.
Gawat, jika Hilya sampai datang ke rumah dan mendapati ada Wulan di sana, bisa jadi keluarga Alika akan semakin marah padaku karena telah berani menduakan Alika.
Tapi memang semestinya mereka marah padaku. Karena aku akui telah terlalu banyak menyakiti Alika.
Setahun yang lalu aku nekat menikahi Wulan, saudara jauh Ibuku. Wulan gadis yang cantik dan memesona. Lelaki mana pun pasti tak akan menolaknya.
Ibu yang memang tak menyetujui pernikahanku dengan Alika sejak awal, mendesakku untuk menikahi Wulan. Awalnya aku menolaknya karena tidak mau menyakiti Alika. Tapi ibu terus memaksaku. Sehingga akhirnya aku aku tetap menikahi perempuan itu meski Alika tidak menyetujuinya.
Sejak pernikahanku dengan Wulan, hidup Alika makin berubah memang, tak ada lagi Alika yang polos dan ceria. Ia makin murung dari hari ke hari.
Bagiku murungnya Alika hanya karena dia belum bisa menerima Wulan sebagai madunya. Waktu akan membuatnya berdamai dengan keadaan, pikirku waktu itu.
Sering kali memang Alika mengeluhkan sikap Wulan yang keterlaluan menurutnya. Tapi tak pernah kugubris keluhan wanita berusia dua puluh lima tahun itu. Aku tak ingin dipusingkan dengan masalah apa pun lagi, sedang di kantor urusanku begitu banyak.
Betapa kejamnya aku mengabaikannya dan mengabaikannya lagi. Bahkan semenjak pernikahanku dengan Wulan, tak kuberikan lagi uang sepeser pun pada Alika, karena Ibu dan Wulan memaksa agar Wulan saja yang mengatur keuangan keluarga.
Mungkin ketidakadilan dariku inilah yang menjadi penyebab Alika bunuh diri.
Teringat kejadian tadi pagi bersama Alika. Dia memohon agar aku mengizinkan pergi ke rumah orang tuanya. Tentu saja tak kuizinkan, seperti biasanya setiap ia meminta pulang. Karena aku takut Alika akan mengadukan perbuatanku, yang telah menduakannya. Juga mengadukan perbuatan Wulan dan juga Ibu. Aku juga tak mau jika Alika tak kembali lagi ke rumah dan malah menuntut cerai dariku.
Walau bagaimanapun aku tak pernah mau kehilangan Alika. Ia adalah cinta pertamaku. Wanita yang susah payah kudapatkan walau harus mengabaikan persetujuan Ibu.
Maka, walau sudah ada Wulan, aku tak pernah mau melepas Alika walau ia terus saja merengek dan memohon kuceraikan.
Aku memang berengsek. Aku memang jahat. Kenapa baru sekarang aku menyadari konsekuensi dari semua sikapku ini? Kenapa Alika harus menyadarkanku dengan melakukan bunuh diri? Harusnya dia marah padaku, memukuliku jika perlu agar aku tersadar. Bukannya malah diam, memendam semuanya seorang diri dan menangis lalu bunuh diri kini.
"Pak Galang!" Seorang polisi menghampiriku. Gegas aku berdiri mendekatinya. Bapak Mertuaku pun seketika ikut mendekat ingin mengetahui apa yang akan disampaikan oleh polisi tersebut.
"Sebelumnya saya turut berduka cita atas meninggalnya Istri dan juga anak Bapak," ucap Polisi tersebut tulus.
Hah, anak? Aku tidak mengerti apa yang diucapkan polisi tersebut. Apa mungkin hal itu ditujukan pada Bapaknya Alika?
"Saya datang kesini, ingin meminta persetujuan untuk melakukan proses autopsi pada jenazah Ibu Alika, karena ternyata kami temukan beberapa luka pada tubuhnya selain luka yang diakibatkan proses bunuh dirinya!" lanjutnya lagi.
"Apa?" Bapak tersentak kaget. Aku pun sama tak percayanya.
"Luka apa yang ada di tubuh Alika memangnya, Pak Polisi?" tanya Bapak tampak sangat terpukul.
"Kami belum bisa menyimpulkan, Pak! Tapi sepintas seperti luka dari benda tumpul. Seperti ada tindak kekerasan."
Bapak lagi-lagi menatapku tajam, penuh emosi. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang amat sangat. Tangannya mengepal kuat seperti sedang menahan sesuatu.
"Kamu pasti telah melakukan KDRT pada anakku, 'kan?" Bapak seketika berusaha untuk menyerangku dengan mendorong tubuhku. Aku pun segera berusaha menghindar, beruntung para polisi yang ada segera menghentikan aksinya padaku.
Bapak pasti mengira aku yang telah melakukannya. Padahal aku pun sama kaget dengannya. Tak pernah sekali pun aku melakukan kekerasan fisik pada Alika. Sekejam-kejamnya tindakanku pada Alika, pantang bagiku menyakiti fisiknya.
Seketika pikiranku tertuju pada Wulan dan Ibu. Apakah mereka yang telah menyakiti Alika? Apakah perlakuan Wulan dan Ibukulah yang membuat Alika akhirnya memilih bunuh diri? Karena memang kerap kali Alika mengeluhkan perlakuan Ibu dan Wulan. Namun, tak pernah kugubris sedikit pun.
Aku tidak akan tinggal diam jika sampai terbukti mereka telah menyakiti Alika sehingga membuatnya bunuh diri!
Dendi seorang pemuda berusia kisaran 28 tahunan baru saja terbangun dari tidurnya. Bunyi notifikasi dari ponsel tiada henti mengganggu tidur lelapnya. Sambil mengumpulkan nyawa, Dendi mencoba mencari tahu siapa gerangan yang terus saja menghubunginya itu.[Den, kau sudah lihat berita? Klienmu, Pak Galang ditemukan mati terjatuh dari lantai 4 kantornya bersama dengan temannya sendiri!]Dendi, mencoba membaca pesan dari salah satu temannya itu, berulang kali. Mencoba mencerna semua isinya. Berharap yang ia baca salah. Namun berulang kali Dendi membaca, isinya tetap sama tak berubah.Dendi sangat tak percaya akan berita yang baru saja diterimanya itu. Pasalnya kurang dari seminggu lalu Galang datang menemuinya.Dengan wajah murung, dan putus asa, hampir tengah malam Galang memaksa Dendi agar mau meluangkan waktu untuknya, kala itu. Dendi sempat menolak. Ia tak mau bekerja di luar jam kerjanya. Ia tak pernah mau pekerjaan mengganggu jam istirahatnya.Tapi Galang memaksa, ia berjanji akan
"Pak Galang, saya sudah menemukan beberapa bukti yang menguatkan penggelapan dana yang telah dilakukan oleh Pak Satria!" lapor Vera bersemangat, sesaat setelah aku kembali dari hotel.Tak bisa fokus, aku tak langsung menanggapi ucapannya."Apa sebaiknya kita bicarakan terkait ini semua nanti saja, Pak?" tanya Vera ragu-ragu. Mungkin ia menangkap perubahan mood-ku yang sangat berbeda setelah kembali dari hotel."No, no, kita selesaikan semua ini sekarang juga. Aku minta kau salin semua bukti yang kau dapatkan. Berikan salinannya padaku dan kuminta kau segera buat laporan terkait Satria ke polisi, Ve! Aku percayakan kasus ini padamu!" titahku, seraya menatap Vera penuh keyakinan bahwa dia akan menyelesaikan semua dengan baik."Sa-saya yang buat laporan, Pak? Bagaimana jika orang lain saja, jujur saya takut menghadapi Pak Satria nantinya, Pak ...." Nampaknya Vera tak percaya diri untuk meneruskannya, sayangnya ia tak punya pilihan, hanya dia yang bisa melakukannya. Maka tak ada pilihan l
Mendapati Alika yang melawan, Wulan tak tinggal diam. Ia mendatangi Alika kembali dengan nafas yang terengah-engah lalu sekonyong-konyong menjabak rambut Alika keras hingga Alika tersungkur terjatuh."Jangan pikir kau bisa melawanku, Alika. Tak akan pernah bisa!" murka Wulan. Sembari mengeraskan cengkeramannya pada rambut Alika. Alika memekik kesakitan. Ia tak tahan lagi terus diperlakukan kasar. Seketika ia mengambil alat pel lantai yang tergeletak begitu saja lalu memukulnya ke badan Wulan dengan keras.Wulan meringis kesakitan. Tak percaya Alika melawan. Langsung saja Wulan merebut alat pel di tangan Alika, lalu menghujani Alika dengan pukulan bertubi-tubi. Alika tak dapat berbuat banyak. Ia hanya meringkuk kesakitan sembari melindungi janin di dalam perutnya.Saat Wulan sedang melancarkan aksinya, tiba-tiba saja terdengar tangisan Alesha yang kencang. Alesha ketakutan melihat ibunya dipukuli, dan juga menjerit kesakitan.Ibu segera menghampiri Alesha, dan menggendongnya. Tapi bu
Author's POV2 tahun yang lalu.17 Desember 2018Seperti biasa, hari itu Alika tengah mengerjakan pekerjaan rumahnya seorang diri saat belum ada seorang pun penghuni rumah yang bangun dari tidurnya. Menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, semua Alika kerjakan tanpa sedikit pun ada bantuan dari Wulan--madunya sendiri--atau pun Ibu mertuanya. Tiba-tiba, Rendi, adik dari madunya datang begitu saja dan mendorong Alika yang sedang mencuci piring di wastafel. Sekonyong-konyong lelaki yang seumuran dengan Alika itu memuntahkan seisi perutnya.Alika kesal bukan main melihat ulah lelaki pengangguran itu, yang bisanya hanya merepotkan di rumah ini. Setiap harinya selalu pulang pagi dan dalam keadaan mabuk seperti sekarang ini. Tak pernah ada kegiatan berarti yang ia lakukan. Kesalnya lagi, kakaknya, Wulan selalu saja menuruti adiknya yang hanya bisa minta uang padanya saja. Apalagi uang yang diberikan oleh kakaknya itu adalah uang dari Galang suami Alika yang juga suami Wulan."Kau in
Malam kini sudah semakin gelap. Suasana di bangunan gedung mangkrak ini semakin mencekam. Kudengar dari dalam gedung ada ketegangan yang teramat sangat. Nampaknya Rendi dan juga lelaki asing itu mempertahankan diri dengan cukup keras."Bajingan Rendi ...!" murka Pak Andre saat mendengar pengakuan Kaira barusan. "Awas saja akan aku habisi dia setelah ini!" pekiknya lagi, nampak sangat marah. Tangannya mengepal kuat, menahan amarah yang sudah di ubun-ubun.Bagaimana tidak, Rendi telah dengan sengaja menodai Kaira anak gadisnya. Aku saja yang bukan siapa-siapa Kaira ikut geram dibuatnya. Memang Kaira salah telah menyebarkan video itu. Tapi tak seharusnya Rendi melakukan hal sejauh ini.Sementara itu, Kulihat Kaira menangis tersedu memeluk sang Ayah. Dapat kurasakan kesedihannya, ia pasti sangat shock dan juga terpukul atas semua yang menimpa dirinya."Mari, Pak, kita harus segera pergi. Di sini terlalu berbahaya!" ajak para polisi wanita itu seiring terdengar lagi suara tembakan dari dala
"Aku siapa? Haha ... Sebaiknya kau tak usah tahu. Tapi yang pasti aku tahu siapa dirimu, Galang Ginanjar!" jawab lelaki itu angkuh. Lelaki itu kini mulai melangkah maju, mengitariku, entah untuk apa."Kau 'kan yang telah memperlakukan Wulan seenaknya, menceraikan dia lalu membuatnya terlantar? Kau juga yang membuat ia akhirnya bunuh diri seperti yang dilakukan istri pertamamu!" ucap lelaki yang entah siapa itu, dengan angkuhnya."Kau siapa? Apa hubungannya dirimu dengan semua ini?" tanyaku, kesal akan tingkah angkuhnya."Aku memang bukan siap-siapa, tapi aku pernah berjanji akan melindungi Wulan. Maka sekarang saatnyalah aku melakukannya, agar Wulan tenang di alam sana." jawabnya. Dengan tetap mengitariku. Membuatku merasa risih."Lantas, apa yang mau kalian perbuat padaku sekarang?" tanyaku lagiKemudian mereka pun saling memberikan kode yang entah apa artinya dengan matanya. Sampai tiba-tiba, lelaki itu memegangi tanganku dari belakang mengunci gerakanku.Lalu Rendi mengeluarkan ta
Terbangun saat aku merasakan haus yang teramat sangat di tenggorokan ini. Perlahan kubuka mata, merasa aneh berada di tempat yang nampak asing ini. Aku berada di mana? Kenapa aku bisa berada di tempat yang .... Tiba-tiba indra perasaku mulai aktif kini. Kepalaku berdenyut hebat dan terasa amat sakit. Saat kuangkat tangan, untuk memegangi kepala yang rasanya akan copot itu, kulihat ditanganku menempel sebuah selang dan jarum infus.Aku di rumah sakitkah? Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku?Dengan keras kucoba mengingat semua yang terjadi hari ini. Aku datang ke pemakaman Wulan, kembali bekerja, menemukan hal mencurigakan di perusahaan, lalu .... Kaira. Ya, aku kemarin mencari Kaira dan tak menemukannya. Yang ada malahan aku diserang oleh lelaki bertopeng dengan sebilah kayu. Nampaknya aku pingsan setelahnya. Lalu, siapa yang membawaku ke rumah sakit ini?"Galang, kau sudah siuman?" Satria datang menghampiri. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran."Kau, ini ceroboh sekali, mau jadi
Dibalik cermin aku mengobati lukaku sendiri dengan sebongkah es batu dan betadine. Ternyata pukulan Rendi keras sekali hingga meninggalkan legam yang membiru di wajah ini.Sebenarnya saat Rendi memukuli tadi, aku seperti melihat diri sendiri yang sedang marah saat mengetahui bahwa Alika mengalami KDRT oleh Wulan dan Ibu. Rasanya ingin bisa melakukan seperti yang Rendi lakukan barusan kepadaku. Namun sayang aku tak bisa memukuli wanita. Maka waktu itu aku menahannya.Kembali aku merenungi semua yang telah terjadi. Ibu dan Wulan telah memilih jalan yang sama dengan Alika. Satu persatu akhirnya mereka telah merasakan apa yang dirasakan Alika sebelumnya. Walau akhir hidup mereka yang mengenaskan itu semua tidak masuk dengan rencanaku sama sekali.Tinggal Rendi yang belum mendapat balasan apapun dariku. Aku harus melakukan sesuatu untuk membongkar semua perbuatannya dan membuatnya menyesali perbuatannya. Tapi kini Rendi juga menuduhku menjadi penyebab kematian kakaknya. Skor kami 1-1 kini.
Selepas dari rumah Pak Andre tadi, aku langsung kembali ke kantor. Tak mau berlama-lama berada pada suasana canggung di rumah itu karena Pak Andre yang mungkin merasa terluka atau tersinggung akan perilaku Wulan padanya.Kaira memintaku untuk tinggal lebih lama lagi. Katanya untuk sekedar menemani merayakan hari yang menyenangkan karena telah berhasil mengusir Wulan dari rumah.Tapi aku menolaknya. Lebih baik aku bekerja lebih keras lagi dan mengembangkan perusahaan dari pada melakukan hal yang tak berguna seperti itu. Juga lebih baik aku mencari cara lain untuk membalas perbuatan Wulan dan Rendi pada Alika yang masih belum tuntas kutunaikan."Galang, kau tahu kasus Wulan yang viral itu? Kacau, benar-benar kacau dia. Kurasa dia mendapat karma atas perbuatannya sendiri," ucap Satria, saat baru saja memasuki ruang kerjaku. "Oh ya, kudengar kau juga kemarin memukuli Rendi habis-habisan di sini?" tanya Satria lagi, makin menggangguku dengan berondongan pertanyaannya, padahal aku tengah s