Share

3

"Wulan ..., Ibu ...!" teriakku sesaat setelah sampai di rumah.

Tadi setelah menanda tangani semua berkas keperluan penyidikan, aku diminta untuk menunggu hasil autopsi Alika di rumah saja. Karena prosesnya pun bisa memakan waktu kurang lebih 3 x 24 jam katanya.

Sementara itu orang tua Alika memilih untuk tinggal di hotel dibanding tinggal di rumahku. Mereka masih saja mengira akulah yang melakukan KDRT pada Alika, walau sudah kukatakan berulang kali bahwa aku sama sekali tak pernah melakukannya.

Justru aku mencurigai Ibu dan juga Wulan yang telah menyakiti Alika. Maka bergegas aku pulang ke rumah untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang selama ini dilakukan mereka terhadap Alika.

"Galang, apa benar Alika bunuh diri?" tanya Ibu langsung mendekatiku. Kutatap wajahnya yang begitu antusias.

Aneh. Dia menanyakan tentang kematian menantunya sendiri dengan wajah yang berseri-seri. Seolah itu adalah hal yang menggembirakan.

"Galang, bagaimana kabar Alika?" Kini Wulan bertanya dengan wajah sendu yang dibuat-buat. Kentara sekali kalau semua hanya drama.

"Apa yang telah kalian perbuat pada Alika?" bentakku keras. Ibu dan Wulan seketika tersentak kaget melihat sikapku, karena selama ini tak pernah sekali pun aku berkata keras atau pun kasar pada mereka.

"Kami tak melakukan apa pun Galang, dia memilih bunuh diri sendiri. Kenapa kamu malah marah pada Ibu dan Wulan?" ucap Ibu dengan wajah polos, membela diri.

"Ya, benar kata Ibu! Tadi siang Alika tiba-tiba saja pergi dari rumah meninggalkan anaknya. Kupikir dia mau ke mana, tak tahunya malah bunuh diri. Memang tak kuat iman saja dia!" ucap Wulan membenarkan perkataan Ibu.

"Diam kalian! Tidakkah kalian merasa bersalah pada Alika? Pasti Alika bunuh diri karena ada penyebabnya! Kalian 'kan yang  menyakitinya hingga Alika nekat bunuh diri?"

Plak.

Tiba-tiba saja Ibu menampar wajahku keras. Rasa terbakar seketika menjalar di pipi ini. Sama dengan yang kurasakan saat kecil dulu, saat dia menampar atau memukulku.

Kutatap mata Ibu nyalang. Sakit hati ini membayangkan Ibu melakukan semua kekerasan pada Alika. Jika dia melakukannya padaku aku masih terima. Tapi jika pada Alika aku tak akan diam saja. Seharusnya dari dulu aku bertindak pada mereka memang. Namun, sayangnya kini semua sudah sia-sia. Alika telah tiada.

"Kamu jangan asal bicara, Galang! Berani-beraninya kamu menuduhku seperti itu!" ucap Ibu geram, matanya menunjukkan kemarahan yang amat sangat.

Semuanya mengingatkanku lagi akan masa kecil dulu. Setiap kali aku melakukan kesalahan, ibu sekonyong-konyong akan menampar atau memukulku dengan tatapan penuh emosi seperti itu.

"Jenazah Alika kini sedang di autopsi. Polisi curiga bahwa ada kekerasan yang dialaminya sebelum ia bunuh diri! Aku tahu kalianlah yang telah melakukannya!" tuduhku, sambil menatap mereka bergantian.

Wulan seketika menutup mulutnya. Raut tak percaya tergambar jelas di wajahnya. Mungkin ia tak mengira bahwa yang dilakukannya akan ketahuan. Sedang Ibu, tak bergeming, tapi aku tahu dari sorot matanya ia pun sama kagetnya dengan Wulan akan berita yang baru saja kukatakan.

"Kalian tidak bisa mengelak lagi! Katakan padaku apa yang sudah kalian lakukan pada Alika sebenarnya!" bentakku lagi.

"Apa yang kamu katakan, Galang? Kamu pasti bercanda 'kan? Tentu saja kami tak melakukan apa pun! Bagaimana mungkin kami bisa menyakiti Alika?" kata Ibu, tiba-tiba menjadi lembut dan seakan-akan polos tak bersalah.

Padahal kelakuannya itu semakin membuatku yakin bahwa ia memang melakukan kekerasan pada Alika.

"Mas Galang ..., yuk kita makan saja dulu, istirahatlah pasti kamu capek kan seharian ini." Wulan tiba-tiba menggandeng tanganku dengan manja. Sambil memasang senyuman manis yang kini malah terasa pahit. Menarik lenganku untuk ikut dengannya.

"Tak usah sok manis padaku!" Aku mengenyahkan tautan tangannya di lenganku dengan kasar. Wulan tampak kaget akan responsku itu.

"Bagaimana aku bisa makan dan beristirahat sementara istriku baru saja meregang nyawa tepat di depanku?" bentakku padanya.

"Istrimu, istrimu, aku juga istrimu, Galang! Bukan hanya wanita tak berguna itu yang jadi istrimu! Lagi pula dia juga sudah mati, 'kan? Sekarang akulah satu-satunya istrimu!" Kini Wulan yang balas meneriakiku. Seakan tak terima akan apa yang baru saja kukatakan.

Baru begini saja dia sudah marah besar. Sedang sering kali kudengar Wulan memperlakukan Alika dengan kasar.

"Hei, baru kuteriaki begitu saja kamu sudah marah! Tak ingatkah kamu selalu membentak dan meneriaki Alika setiap saat?"

"Aku menyesal telah menuruti kata Ibu untuk  menikah denganmu. Kamu juga terus saja menghasutku untuk mengabaikan Alika! Kamulah penyebab Alika sampai nekat bunuh diri, Wulan!"

"Hei, jangan timpakan kesalahanmu padaku, ya! Aku tak pernah memintamu untuk abai padanya! Salah siapa kamu tak bisa menjadi suami yang adil?" timpal Wulan lagi, dengan tatapan sinisnya, semakin membuatku geram saja.

"Ya, memang aku bukanlah suami yang adil seperti perkataanmu. Aku tak pantas menjadi seorang suami. Maka mulai saat ini aku melepasmu, Wulan! Kuceraikan kamu saat ini juga!"

"Galang, Galang, kamu pasti bercanda kan? A-aku minta maaf telah membentakmu tadi. A-aku tak bermaksud apa-apa. Jangan ceraikan aku Galang, aku mencintaimu!"  Wulan tergagap merengek di hadapanku. Seketika panik. Namun, aku tak akan pernah menarik ucapanku lagi. Dalam hatiku yang terdalam tak pernah benar-benar ada rasa padanya seperti yang kurasakan pada Alika. Aku pun sama sekali tak bisa memaafkannya jika ia terbukti melakukan kekerasan pada Alika.

"Pergilah dari rumahku, sekarang juga! Sebelum aku membalas semua yang telah kamu lakukan pada Alika," usirku kini.

"Ada apa ini?" tiba-tiba Rendi, adik Wulan datang. Ia memerhatikan apa yang tengah terjadi pada kami.

Kebetulan sekali, sudah lama memang aku juga ingin Rendi pergi dari rumah ini, karena dia hanya menjadi parasit saja di sini. Rendi hanyalah seorang pengangguran yang hanya merepotkan saja kerjanya. Selalu minta uang, dan minta uang lagi, tanpa tahu seberapa keras usahaku untuk mendapatkannya.

"Aku telah menceraikan kakakmu, Rendi! Jadi ..., mulai saat ini, tak ada lagi hubunganku dengan kalian. Maka segeralah kalian angkat kaki dari rumah ini!" ucapku, sembari menunjuk ke arah pintu, menatap kakak beradik itu bergantian.

"Galang, kamu tak bisa seenaknya begitu saja pada Wulan dan Rendi. Kamu menikahinya baik-baik. Masa kamu menceraikannya begitu saja?" kini Ibu mulai bersuara membela menantu kesayangannya itu.

"Apa Ibu juga ingin bernasib sama dengan mereka? Karena aku tak akan segan melakukannya. Semua yang telah menyakiti Alika akan mendapatkan balasannya!" Ancamku pada Ibu. Menatapnya tajam.

Ia pun lalu terdiam dan perlahan mundur, tampak ketakutan.

****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
koq baru sekarang kau tegas,njing. menunggu istri mu meregang myawa. cinta apa yg kau punya binatang. binatang aja g mau menyakiti pasangannya
goodnovel comment avatar
Acil Mey
Walau penyesalan itu datangnya terlambat, tapi setidaknya kau bisa membalaskan sedikit sakit hati alisa Galang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status