"Wulan ..., Ibu ...!" teriakku sesaat setelah sampai di rumah.
Tadi setelah menanda tangani semua berkas keperluan penyidikan, aku diminta untuk menunggu hasil autopsi Alika di rumah saja. Karena prosesnya pun bisa memakan waktu kurang lebih 3 x 24 jam katanya.
Sementara itu orang tua Alika memilih untuk tinggal di hotel dibanding tinggal di rumahku. Mereka masih saja mengira akulah yang melakukan KDRT pada Alika, walau sudah kukatakan berulang kali bahwa aku sama sekali tak pernah melakukannya.
Justru aku mencurigai Ibu dan juga Wulan yang telah menyakiti Alika. Maka bergegas aku pulang ke rumah untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang selama ini dilakukan mereka terhadap Alika.
"Galang, apa benar Alika bunuh diri?" tanya Ibu langsung mendekatiku. Kutatap wajahnya yang begitu antusias.
Aneh. Dia menanyakan tentang kematian menantunya sendiri dengan wajah yang berseri-seri. Seolah itu adalah hal yang menggembirakan.
"Galang, bagaimana kabar Alika?" Kini Wulan bertanya dengan wajah sendu yang dibuat-buat. Kentara sekali kalau semua hanya drama.
"Apa yang telah kalian perbuat pada Alika?" bentakku keras. Ibu dan Wulan seketika tersentak kaget melihat sikapku, karena selama ini tak pernah sekali pun aku berkata keras atau pun kasar pada mereka.
"Kami tak melakukan apa pun Galang, dia memilih bunuh diri sendiri. Kenapa kamu malah marah pada Ibu dan Wulan?" ucap Ibu dengan wajah polos, membela diri.
"Ya, benar kata Ibu! Tadi siang Alika tiba-tiba saja pergi dari rumah meninggalkan anaknya. Kupikir dia mau ke mana, tak tahunya malah bunuh diri. Memang tak kuat iman saja dia!" ucap Wulan membenarkan perkataan Ibu.
"Diam kalian! Tidakkah kalian merasa bersalah pada Alika? Pasti Alika bunuh diri karena ada penyebabnya! Kalian 'kan yang menyakitinya hingga Alika nekat bunuh diri?"
Plak.
Tiba-tiba saja Ibu menampar wajahku keras. Rasa terbakar seketika menjalar di pipi ini. Sama dengan yang kurasakan saat kecil dulu, saat dia menampar atau memukulku.
Kutatap mata Ibu nyalang. Sakit hati ini membayangkan Ibu melakukan semua kekerasan pada Alika. Jika dia melakukannya padaku aku masih terima. Tapi jika pada Alika aku tak akan diam saja. Seharusnya dari dulu aku bertindak pada mereka memang. Namun, sayangnya kini semua sudah sia-sia. Alika telah tiada.
"Kamu jangan asal bicara, Galang! Berani-beraninya kamu menuduhku seperti itu!" ucap Ibu geram, matanya menunjukkan kemarahan yang amat sangat.
Semuanya mengingatkanku lagi akan masa kecil dulu. Setiap kali aku melakukan kesalahan, ibu sekonyong-konyong akan menampar atau memukulku dengan tatapan penuh emosi seperti itu.
"Jenazah Alika kini sedang di autopsi. Polisi curiga bahwa ada kekerasan yang dialaminya sebelum ia bunuh diri! Aku tahu kalianlah yang telah melakukannya!" tuduhku, sambil menatap mereka bergantian.
Wulan seketika menutup mulutnya. Raut tak percaya tergambar jelas di wajahnya. Mungkin ia tak mengira bahwa yang dilakukannya akan ketahuan. Sedang Ibu, tak bergeming, tapi aku tahu dari sorot matanya ia pun sama kagetnya dengan Wulan akan berita yang baru saja kukatakan.
"Kalian tidak bisa mengelak lagi! Katakan padaku apa yang sudah kalian lakukan pada Alika sebenarnya!" bentakku lagi.
"Apa yang kamu katakan, Galang? Kamu pasti bercanda 'kan? Tentu saja kami tak melakukan apa pun! Bagaimana mungkin kami bisa menyakiti Alika?" kata Ibu, tiba-tiba menjadi lembut dan seakan-akan polos tak bersalah.
Padahal kelakuannya itu semakin membuatku yakin bahwa ia memang melakukan kekerasan pada Alika.
"Mas Galang ..., yuk kita makan saja dulu, istirahatlah pasti kamu capek kan seharian ini." Wulan tiba-tiba menggandeng tanganku dengan manja. Sambil memasang senyuman manis yang kini malah terasa pahit. Menarik lenganku untuk ikut dengannya.
"Tak usah sok manis padaku!" Aku mengenyahkan tautan tangannya di lenganku dengan kasar. Wulan tampak kaget akan responsku itu.
"Bagaimana aku bisa makan dan beristirahat sementara istriku baru saja meregang nyawa tepat di depanku?" bentakku padanya.
"Istrimu, istrimu, aku juga istrimu, Galang! Bukan hanya wanita tak berguna itu yang jadi istrimu! Lagi pula dia juga sudah mati, 'kan? Sekarang akulah satu-satunya istrimu!" Kini Wulan yang balas meneriakiku. Seakan tak terima akan apa yang baru saja kukatakan.
Baru begini saja dia sudah marah besar. Sedang sering kali kudengar Wulan memperlakukan Alika dengan kasar.
"Hei, baru kuteriaki begitu saja kamu sudah marah! Tak ingatkah kamu selalu membentak dan meneriaki Alika setiap saat?"
"Aku menyesal telah menuruti kata Ibu untuk menikah denganmu. Kamu juga terus saja menghasutku untuk mengabaikan Alika! Kamulah penyebab Alika sampai nekat bunuh diri, Wulan!"
"Hei, jangan timpakan kesalahanmu padaku, ya! Aku tak pernah memintamu untuk abai padanya! Salah siapa kamu tak bisa menjadi suami yang adil?" timpal Wulan lagi, dengan tatapan sinisnya, semakin membuatku geram saja.
"Ya, memang aku bukanlah suami yang adil seperti perkataanmu. Aku tak pantas menjadi seorang suami. Maka mulai saat ini aku melepasmu, Wulan! Kuceraikan kamu saat ini juga!"
"Galang, Galang, kamu pasti bercanda kan? A-aku minta maaf telah membentakmu tadi. A-aku tak bermaksud apa-apa. Jangan ceraikan aku Galang, aku mencintaimu!" Wulan tergagap merengek di hadapanku. Seketika panik. Namun, aku tak akan pernah menarik ucapanku lagi. Dalam hatiku yang terdalam tak pernah benar-benar ada rasa padanya seperti yang kurasakan pada Alika. Aku pun sama sekali tak bisa memaafkannya jika ia terbukti melakukan kekerasan pada Alika.
"Pergilah dari rumahku, sekarang juga! Sebelum aku membalas semua yang telah kamu lakukan pada Alika," usirku kini.
"Ada apa ini?" tiba-tiba Rendi, adik Wulan datang. Ia memerhatikan apa yang tengah terjadi pada kami.
Kebetulan sekali, sudah lama memang aku juga ingin Rendi pergi dari rumah ini, karena dia hanya menjadi parasit saja di sini. Rendi hanyalah seorang pengangguran yang hanya merepotkan saja kerjanya. Selalu minta uang, dan minta uang lagi, tanpa tahu seberapa keras usahaku untuk mendapatkannya.
"Aku telah menceraikan kakakmu, Rendi! Jadi ..., mulai saat ini, tak ada lagi hubunganku dengan kalian. Maka segeralah kalian angkat kaki dari rumah ini!" ucapku, sembari menunjuk ke arah pintu, menatap kakak beradik itu bergantian.
"Galang, kamu tak bisa seenaknya begitu saja pada Wulan dan Rendi. Kamu menikahinya baik-baik. Masa kamu menceraikannya begitu saja?" kini Ibu mulai bersuara membela menantu kesayangannya itu.
"Apa Ibu juga ingin bernasib sama dengan mereka? Karena aku tak akan segan melakukannya. Semua yang telah menyakiti Alika akan mendapatkan balasannya!" Ancamku pada Ibu. Menatapnya tajam.
Ia pun lalu terdiam dan perlahan mundur, tampak ketakutan.
****
WANITA YANG BUNUH DIRI ITU TERNYATA ISTRIKU (4)Ya, aku memang bisa saja mengusir wanita yang kupanggil Ibu itu begitu saja. Dia memang Ibuku, tapi hanya ibu tiri yang kejam.Bapak menikahi dirinya saat aku masih berusia 5 tahun. Ia adalah janda mandul yang dipersunting oleh Bapak.Kami bertiga hidup dalam kesederhanaan. Bapak hanya seorang tukang becak dulunya. Penghasilan Bapak menjadi penentu nasibku kala itu. Jika banyak, aku akan diperlakukan Ibu dengan baik. Jika sedikit akulah yang akan menjadi pelampiasannya.Ia pernah meninggalkanku begitu saja saat Bapak meninggal ketika aku berusia 16 tahun. Membiarkanku menjadi anak terlantar berjuang sendirian.Beruntung otakku cukup encer, hingga bisa mendapat beasiswa sampai tingkat perguruan tinggi.Setelah lulus kuliah aku bekerja keras terus tanpa henti sehingga bisa mendirikan perusahaan sendiri. Lalu saat itulah dia datang lagi. Meminta tinggal bersama dengan embel-embel membalas budinya yang sudah mengurus sejak kecil."Kau tak ak
Tiga bulan berlalu setelah kejadian Alika bunuh diri. Kini aku terpuruk mendekam dalam penjara. Hal yang sangat pantas kuterima atas semua yang telah kulakukan pada istriku itu. Walau aku tak melakukan tuduhan yang diberikan padaku, tapi aku akui karena dirikulah Alika sampai mengalaminya.Hasil autopsi menyatakan bahwa Alika memang mengalami kekekerasan fisik ketika hidupnya. Parahnya lagi ternyata ia sedang mengandung anak kedua kami yang berusia delapan minggu saat itu. Aku tak tahu apa Alika sudah mengetahui bahwa dirinya tengah hamil atau tidak saat memilih bunuh diri. Yang pasti hal ini membuatku makin merasa bersalah lagi. Ada dua nyawa yang menjadi korban ternyata.Begitupun dengan hasil penyelidikan Alesha, dia mengalami kekerasan di punggung dan kakinya. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Alesha saat mengalami kekerasan tersebut.Aku sangat yakin bahwa Ibu dan Wulanlah yang telah menyakiti Alika dan Alesha. Karena mereka sehari-hari terus memperlakukan
Akhirnya aku dapat menghirup udara bebas kembali, setelah menjalani satu setengah tahun hukuman penjara. Ya, aku memang bisa bebas lebih cepat karena mendapat remisi atau potongan hukuman. Alesha, dialah yang paling ingin aku temui saat ini. Maka tujuan pertamaku setelah bebas ini adalah rumah orang tua Alika dimana Alesha berada. "Kamu sudah bebas?" tanya Bapak yang kaget melihatku setelah ia membukakan pintu untuk melihat siapa tamu yang datang."Ya, Pak, aku sudah bebas!" jawabku dengan nada sopan. "Aku mendapat remisi hingga bisa bebas lebih cepat," lanjutku.Ia menatapku dengan tajam. Mungkin ia masih marah dan kecewa padaku karena telah menjadi penyebab anaknya bunuh diri juga melakukan kekerasan pada cucunya. "Aku ... ingin bertemu Alesha, Pak!" ucapku to the point. Tak dapat lagi kutahan rindu ini."Kamu masih berani bertemu dengannya, hah? Apa kamu tak malu?" sindirnya dengan keras sembari menatapku nyalang "Aku sangat merindukan Alesha, Pak! Izinkan aku bertemu dengannya
Hilya tiba-tiba memberikan buku itu padaku. Dengan perlahan aku menerimanya. Aku mencoba memperhatikan setiap inchi buku itu, membolak baliknya, tapi tak sanggup untuk membukanya."Awalnya akan kujadikan buku ini sebagai bukti untuk membebaskanmu, sekaligus menjebloskan pelaku sebenarnya ke penjara. Namun kuurungkan niatku, ingin tahu sejauh apa kamu akan melindungi mereka. Ternyata kamu cukup jauh melangkah dengan memasang badan demi mereka!" ucapnya sambil menatap mataku dengan tatapan yang seakan memandangku rendah."Sekarang aku berikan buku itu padamu, aku ingin kamu sendiri yang membongkar semuanya. Membeberkan kesalahan Ibu juga istri mudamu, demi nyawa kakakku."Aku hanya terdiam mendengarkan semua ucapan Hilya sambil terus memandangi sampul buku diary yang diberikannya. Buku itu bergambar seorang perempuan tengah menaiki ayunan di bawah sebuah tangkai pohon yang besar, yang mengingatkanku pada Alika yang mungkin selama ini selalu merasa kesepian."Bacalah, pastinya kamu tidak
___________20 Januari 2018Rasanya, aku butuh meluapkan semua rasa dalam hati. Melepaskan semua gejolak di dada yang terpendam. Maka aku memilih meluapkan semuanya dalam buku catatan ini. Semoga aku bisa lebih kuat menghadapi semua ujian yang terjadi setiap harinya di rumah ini.Hari ini, seperti hari biasanya, kembali Ibu berulah padaku. Entah kenapa juga ia selalu menganggap salah semua yang aku lakukan.Tadi siang Ibu memintaku untuk membelikan bakso. Tapi setelah aku beli ia malah bilang tidak enak dan meminta aku untuk membelikan lagi di tempat yang lain.Sebenarnya tidak masalah bagiku pulang pergi membelikannya, tapi masalahnya Ibu tak mengizinkan aku mengendarai motor sama sekali. Ia menyuruhku untuk berjalan kaki.Mending kalau Ibu mau menjaga Alesha saat aku pergi. Tapi ia tak mau dan malah menyuruhku membawanya. Terpaksa aku berjalan kaki menggendong Alesha sejauh hampir tiga kilometer.Tapi hari ini aku tetap merasa bahagia karena Mas Galang bilang bekal masakan yang aku
"Tapi bagaimana dengan Alika, Bu? Dia pasti tidak mengizinkan!""Ah, anak itu biar saja, dia nanti juga mengerti. Laki-laki menikah lagi tak perlu izin istri pertama, kok!" kilahnya."Tapi aku tidak menyukai Wulan, Bu!" "Kamu ini tidak normal apa, Galang? Wulan itu cantik, semok, pintar, baik, apa lagi yang kurang darinya? Dia pasti bisa menyenangkan hatimu!" terangnya bersemangat. Seperti seorang sales yang memasarkan produknya.Memang yang diucapkan Ibu ada benarnya. Walau aku belum menyukai Wulan tapi aku mengakui semua yang Ibu katakan barusan.Lalu setelah hari itu Ibu terus berusaha mendekatkan aku dengan Wulan. Membuatnya terus saja menempel denganku. Wulanlah yang menyiapkan semua keperluan harianku. Sedang Alika dibuat sibuk dengan urusan rumah tangga lainnya."Kamu mau 'kan menikahi Wulan?" tanya Ibu lagi untuk kesekian kalinya saat aku tengah mengecek pekerjaan melalui ponsel di ruang tengah.Tak kujawab pertanyaannya. Hanya terus saja fokus menatap ponsel."Galang, buatla
_______________8 FebruariDear Diary!Hari ini hatiku hancur berkeping-keping. Pernikahan itu tetap terjadi. Mas Galang dengan teganya menikahi Mba Wulan tanpa memikirkan perasaanku.Berulang kali aku meminta cerai. Berulang kali juga dia menolaknya. Katanya Mas Galang akan tetap mencintaiku sampai kapan pun, tapi kenapa ia malah menyakitiku seperti ini?Mas, kau tahu, sakit hati ini tak tertahan kan lagi. Lebih baik kau mencampakkanku dari pada aku harus melihatmu dengan wanita lain, dan hidup tersiksa seperti ini!________10 Februari.Seperti dugaanku, Mba Wulan makin bertingkah setelah resmi menikah dengan Mas Galang. Ia menganggap dirinya nyonya di rumah ini. Sikapnya bahkan lebih semena-mena dari pada Ibu.Kesal!Hidupku kini layaknya neraka __________20 FebruariAku sedih ... Ibu memberhentikan Mba Sum, pembantu kami satu-satunya. Mba Sum bagiku bukan hanya pembantu di rumah ini, tapi juga temanku. Karena hanya dia yang selalu bersikap baik padaku.Ibu bilang tak perlu paka
Saat itu jujur aku tidak tahu bahwa yang dimaksud adalah memohon-mohon dan bersujud seperti seorang peminta-minta.Kukira hanya meminta biasa seperti seorang anak yang membutuhkan uang pada orang tuanya."Kamu benar-benar jahat, Mas!" ucapnya sambil menatapku dengan tatapan yang amat sendu. "Alika, ini semua demi kebaikan kita bersama, Wulan pasti bisa mengatur keuangan keluarga kita dengan baik!" bujukku, berharap ia bisa menerimanya."Kebaikanmu, Mba Wulan dan Ibu lebih tepatnya, Mas!" ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja."Alika ..., Alika ...!" panggilku ingin membujuknya lagi. Tapi melihat ia yang telah hilang dari pandangan, membuatku mengurungkan niat. Toh Alika nanti juga akan kembali seperti biasa lagi, seperti hari biasanya ketika ia kesal padaku. Sekarang ada banyak pekerjaan yang lebih penting dari masalah ini.Semenjak hari itu memang aku tak pernah memberikan uang sepeser pun lagi padanya. Kuanggap Wulan telah memberikannya pada Alika sesuai yang ia