"Ada yang bunuh diri ...! Ada yang bunuh diri ...!"
Sayup-sayup terdengar suara teriakan orang-orang saat aku baru saja akan memasuki kantor selepas makan siang bersama beberapa karyawan.
Seketika aku dan teman-teman pun mencari tahu pusat keributan itu yang ternyata hanya beberapa meter dari tempatku. Tepatnya berada di seberang kantor yang terhalang dengan flyover. Kulihat di sana orang-orang mulai berkerumun. Beberapa karyawan kantor pun ikut berlari untuk melihat momen apa yang terjadi.
"Ayo, Pak, kita lihat!" ajak Rudi, salah satu staf marketing di kantor.
"Ah ..., ngapain juga, buang-buang waktu saja. Lelang proyek sama PT. Warabuana besok nih!" tolakku dengan malas.
"Ya sudah, aku izin lihat TKP sebentar ya, Pak!" Tanpa menunggu persetujuanku, Rudi dan beberapa karyawan lain segera berlari menuju TKP dengan penuh semangat.
Aku hanya menggeleng melihat tingkah mereka. Aneh, bisa-bisanya hal mengerikan seperti itu menjadi tontonan.
Karena tak ingin membuang waktu, aku pun bergegas memasuki kantor dan menaiki tangga menuju lantai dua di mana ruanganku berada. Lelang proyek bernilai ratusan miliar berada di depan mata dan harus berhasil aku dapatkan. Maka dari itu aku harus mempersiapkan presentasinya dengan sebaik mungkin agar hasilnya sempurna tanpa cacat.
Tapi ... ternyata kejadian luar biasa di depan kantor tadi telah memecah perhatian seluruh karyawan. Bukannya bekerja para staf semua malah sibuk memerhatikan keluar jendela di mana dari lantai dua ini terlihat cukup jelas apa yang sedang terjadi di seberang sana. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 13.30 tapi tak satu pun dari mereka ada di mejanya menyelesaikan pekerjaan.
"Hei ..., sudah jam satu lebih, nih, ayo cepat kerja!" teriakku mengingatkan mereka sambil bertepuk tangan beberapa kali agar mereka mendengar ucapanku.
"Ini, Pak Galang, ada yang bunuh diri di depan kantor kita!" lapor Deni. Hanya sekilas melihatku lalu ia kembali fokus memerhatikan keluar jendela, mengabaikan perintahku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Benar-benar tidak mengerti tentang apa keseruan dari melihat orang yang telah mati bunuh diri?
Lagi pula kenapa juga orang itu bunuh diri tepat di depan kantorku, sih? Apa tidak ada tempat lain untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara instan itu?
Memang kantorku ini terletak tepat di pinggir jalan di mana berada juga jembatan layang yang cukup tinggi dan panjang. Tapi, sepuluh tahun berkantor di sini, baru kali ini ada kejadian orang melakukan bunuh diri.
Sepertinya di luar sana keadaan lebih ramai lagi. Karena dapat kudengar suara sirene yang bersahut-sahutan. Mendengar suara bisingnya membuatku hanya bisa menghembuskan nafas keras.
Memang betul sih, bagaimana bisa karyawan fokus bekerja jika di luar sana ada kejadian luar biasa seperti ini. Aku hanya bisa berharap petugas dapat segera mengevakuasi korbannya agar aktivitas kantor bisa segera kondusif lagi.
Lalu tiba-tiba saja terlintas di benakku rasa penasaran dengan apa yang sedang terjadi di luar sana. Ingin tahu juga bagaimana keseruan petugas mengevakuasi korban, apakah seperti di film-film yang sering aku saksikan?
Perlahan aku pun melangkah mengurai kerumunan karyawan yang tengah menyaksikan, ikut mencari celah agar bisa melihat TKP secara langsung.
Dari atas sini dapat kulihat di luar sana orang-orang yang berkerumun. Para petugas polisi yang baru saja datang tengah sibuk memasang police line agar memudahkan evakuasi. Orang-orang yang menyaksikan di TKP pun memberi ruang pada petugas berwajib supaya dapat leluasa bekerja. Membuat kami yang berada di lantai dua sini dapat melihat dengan jelas kondisi di bawah sana.
Seketika kudengar para karyawan menjerit histeris tatkala pemandangan di bawah sana semakin terlihat dengan jelas. Mereka semua berkomentar bagaimana mengenaskannya yang terjadi pada si korban. Tapi tidak denganku, ada yang membuat perhatianku terfokus pada sosok yang terbujur kaku di bawah sana. Melihat ada sesuatu yang terasa janggal dengannya.
Memang tak dapat kulihat wajah korban tersebut secara langsung, tapi baju yang dikenakannya terasa amat familiar bagiku. Baju itu sering aku lihat dipakai oleh istriku. Baju lusuh yang pernah aku protes karena dia memakainya terus menerus seakan tidak ada baju lain yang bisa dikenakannya.
Apakah itu berarti yang di bawah sana adalah Alika istriku? Baju itu sangat percis dengan miliknya, yang kutahu tak ada lagi yang memakainya selain dia, karena baju itu dijahitnya sendiri dari kain yang didapatkan dari Ibunya saat berkunjung ke rumah kami tiga tahun silam.
Gegas kuambil telepon genggam, ingin memastikan bahwa aku salah. Alika pasti sedang berada di rumah bersama Alesha anak kami.
Namun, tak seperti biasanya panggilanku tak ia jawab. Padahal biasanya ia akan segera menjawab telepon karena tahu aku tak suka menunggu lama.
Tak sampai di situ, aku pun coba hubungi Wulan, wanita yang setahun ini menjadi istri keduaku.
"Galang, mana sih si Alika? Ini anaknya ditinggal gitu aja sendirian di rumah, dari tadi dia pergi gak tau kemana. Aku pusing nih ngurusin anaknya yang nangis terus gak berhenti-berhenti." Belum sempat kutanyakan apa pun, Wulan sudah mengeluh panjang lebar.
Dari balik telepon juga dapat kudengar suara tangisan Alesha yang begitu menyayat hati. Sepertinya ia telah menangis begitu lama.
Tak dapat kujawab keluhan Wulan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Ada yang tiba-tiba menyayat hati ini. Karena justru perkataan Wulan, dan tangisan Alesha anak berusia dua tahun tersebut semakin meyakinkan bahwa yang di luar sana benar adalah Alika--istriku.
Dengan tergesa aku berlari menuruni tangga, tak kuhiraukan suara orang-orang yang memanggil namaku dan bertanya ada apa karena melihat kepanikanku yang tiba-tiba. Tujuanku hanya satu. Korban bunuh diri itu.
Aku datangi pusat kerumunan orang, dengan paksa menggeser mereka agar memberiku jalan. Hingga saat sampai batas police line dan melihatnya lebih dekat, semakin aku yakin bahwa wanita itu memang istriku. Wajahnya, walau penuh darah tapi cukup untuk kukenali dan itu semakin meyakinkan bahwa ia memang orang yang sama dengan wanita yang telah menjadi istriku selama tiga tahun belakangan ini.
Jantungku berdebar amat kencang, kakiku pun mendadak lemas. Tak menyangka bahwa Alika benar-benar melakukan hal gil* itu.
Aku jatuh berlutut saking tak kuasa menahan beban diri sendiri. Berusaha mendekat berjalan dengan lutut melewati police line, mendekati tubuh yang berlumur darah itu
"Anda kenal korban ini, Pak?" tanya salah seorang petugas polisi, menghentikanku
Aku pun mengangguk, mengiyakan.
"Jika boleh tahu, siapa wanita ini ya, Pak?"
Dia ..., dia wanita yang aku cintai, yang telah berkorban nyawa melahirkan anakku, mengurusku, tapi ... belakangan ini sedikit kuabaikan. Tak menyangka dia akan memilih mengakhiri hidupnya seperti ini.
"Pak?" Polisi itu kembali memanggilku yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Dia ..., istriku, Pak!" Susah payah aku mengatakannya.
"Saya menemukan tanda pengenal korban dekat TKP, apa benar Istri Bapak bernama Alika Rahmadita?"
Aku pun mengangguk mengiyakan. Rasa sakit di dada ini tiba-tiba saja hadir semakin kuat saat aku mendengar namanya disebut polisi itu. Nama itu yang pernah kusebut secara lengkap saat kuucapkan akad nikah dan aku berjanji akan menjaganya. Namun, tampaknya aku telah lalai melakukannya.
Kini aku makin tak berdaya, meratapi jasad Alika Rahmadita, wanita tercantik yang pernah kutemui tapi telah kusia-siakan begitu saja hingga dia mengakhiri hidupnya seperti ini.
"Alika, kenapa kau sampai melakukan semua ini ...?"
WANITA YANG BUNUH DIRI ITU TERNYATA ISTRIKU (2)Kini aku hanya bisa duduk terdiam di lorong rumah sakit, meratapi semua yang telah terjadi. Masih berharap jika ini semua mimpi. Rasanya ingin kembali pulang ke rumah dan mendapati Alika tengah menyambutku di sana.Namun, keberadaanku saat ini di rumah sakit beserta lalu lalang orang berbaju putih khas perawat dan dokter, meyakinkanku bahwa ini semua kenyataan yang tak dapat lagi dielakkan.Jasad Alika telah dievakuasi dan tengah berada di rumah sakit untuk proses identifikasi lanjutan dan juga proses autopsi.Aku yang tak tahu harus berbuat apa hanya mengikuti semua arahan yang diberikan polisi sebelumnya. Termasuk saat mereka meminta beberapa keterangan tentang Alika.Tiba-tiba aku teringat tentang Alesha di rumah, bagaimana nasib anak itu ke depannya tanpa Alika?Segera kuhubungi Wulan yang berada di rumah untuk mengabari perihal Alika, juga menanyakan kabar Alesha."Wulan, Alika telah meninggal, Wulan! Dia bunuh diri!" terangku saat
"Wulan ..., Ibu ...!" teriakku sesaat setelah sampai di rumah.Tadi setelah menanda tangani semua berkas keperluan penyidikan, aku diminta untuk menunggu hasil autopsi Alika di rumah saja. Karena prosesnya pun bisa memakan waktu kurang lebih 3 x 24 jam katanya.Sementara itu orang tua Alika memilih untuk tinggal di hotel dibanding tinggal di rumahku. Mereka masih saja mengira akulah yang melakukan KDRT pada Alika, walau sudah kukatakan berulang kali bahwa aku sama sekali tak pernah melakukannya.Justru aku mencurigai Ibu dan juga Wulan yang telah menyakiti Alika. Maka bergegas aku pulang ke rumah untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang selama ini dilakukan mereka terhadap Alika."Galang, apa benar Alika bunuh diri?" tanya Ibu langsung mendekatiku. Kutatap wajahnya yang begitu antusias.Aneh. Dia menanyakan tentang kematian menantunya sendiri dengan wajah yang berseri-seri. Seolah itu adalah hal yang menggembirakan."Galang, bagaimana kabar Alika?" Kini Wulan bertanya dengan wajah
WANITA YANG BUNUH DIRI ITU TERNYATA ISTRIKU (4)Ya, aku memang bisa saja mengusir wanita yang kupanggil Ibu itu begitu saja. Dia memang Ibuku, tapi hanya ibu tiri yang kejam.Bapak menikahi dirinya saat aku masih berusia 5 tahun. Ia adalah janda mandul yang dipersunting oleh Bapak.Kami bertiga hidup dalam kesederhanaan. Bapak hanya seorang tukang becak dulunya. Penghasilan Bapak menjadi penentu nasibku kala itu. Jika banyak, aku akan diperlakukan Ibu dengan baik. Jika sedikit akulah yang akan menjadi pelampiasannya.Ia pernah meninggalkanku begitu saja saat Bapak meninggal ketika aku berusia 16 tahun. Membiarkanku menjadi anak terlantar berjuang sendirian.Beruntung otakku cukup encer, hingga bisa mendapat beasiswa sampai tingkat perguruan tinggi.Setelah lulus kuliah aku bekerja keras terus tanpa henti sehingga bisa mendirikan perusahaan sendiri. Lalu saat itulah dia datang lagi. Meminta tinggal bersama dengan embel-embel membalas budinya yang sudah mengurus sejak kecil."Kau tak ak
Tiga bulan berlalu setelah kejadian Alika bunuh diri. Kini aku terpuruk mendekam dalam penjara. Hal yang sangat pantas kuterima atas semua yang telah kulakukan pada istriku itu. Walau aku tak melakukan tuduhan yang diberikan padaku, tapi aku akui karena dirikulah Alika sampai mengalaminya.Hasil autopsi menyatakan bahwa Alika memang mengalami kekekerasan fisik ketika hidupnya. Parahnya lagi ternyata ia sedang mengandung anak kedua kami yang berusia delapan minggu saat itu. Aku tak tahu apa Alika sudah mengetahui bahwa dirinya tengah hamil atau tidak saat memilih bunuh diri. Yang pasti hal ini membuatku makin merasa bersalah lagi. Ada dua nyawa yang menjadi korban ternyata.Begitupun dengan hasil penyelidikan Alesha, dia mengalami kekerasan di punggung dan kakinya. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Alesha saat mengalami kekerasan tersebut.Aku sangat yakin bahwa Ibu dan Wulanlah yang telah menyakiti Alika dan Alesha. Karena mereka sehari-hari terus memperlakukan
Akhirnya aku dapat menghirup udara bebas kembali, setelah menjalani satu setengah tahun hukuman penjara. Ya, aku memang bisa bebas lebih cepat karena mendapat remisi atau potongan hukuman. Alesha, dialah yang paling ingin aku temui saat ini. Maka tujuan pertamaku setelah bebas ini adalah rumah orang tua Alika dimana Alesha berada. "Kamu sudah bebas?" tanya Bapak yang kaget melihatku setelah ia membukakan pintu untuk melihat siapa tamu yang datang."Ya, Pak, aku sudah bebas!" jawabku dengan nada sopan. "Aku mendapat remisi hingga bisa bebas lebih cepat," lanjutku.Ia menatapku dengan tajam. Mungkin ia masih marah dan kecewa padaku karena telah menjadi penyebab anaknya bunuh diri juga melakukan kekerasan pada cucunya. "Aku ... ingin bertemu Alesha, Pak!" ucapku to the point. Tak dapat lagi kutahan rindu ini."Kamu masih berani bertemu dengannya, hah? Apa kamu tak malu?" sindirnya dengan keras sembari menatapku nyalang "Aku sangat merindukan Alesha, Pak! Izinkan aku bertemu dengannya
Hilya tiba-tiba memberikan buku itu padaku. Dengan perlahan aku menerimanya. Aku mencoba memperhatikan setiap inchi buku itu, membolak baliknya, tapi tak sanggup untuk membukanya."Awalnya akan kujadikan buku ini sebagai bukti untuk membebaskanmu, sekaligus menjebloskan pelaku sebenarnya ke penjara. Namun kuurungkan niatku, ingin tahu sejauh apa kamu akan melindungi mereka. Ternyata kamu cukup jauh melangkah dengan memasang badan demi mereka!" ucapnya sambil menatap mataku dengan tatapan yang seakan memandangku rendah."Sekarang aku berikan buku itu padamu, aku ingin kamu sendiri yang membongkar semuanya. Membeberkan kesalahan Ibu juga istri mudamu, demi nyawa kakakku."Aku hanya terdiam mendengarkan semua ucapan Hilya sambil terus memandangi sampul buku diary yang diberikannya. Buku itu bergambar seorang perempuan tengah menaiki ayunan di bawah sebuah tangkai pohon yang besar, yang mengingatkanku pada Alika yang mungkin selama ini selalu merasa kesepian."Bacalah, pastinya kamu tidak
___________20 Januari 2018Rasanya, aku butuh meluapkan semua rasa dalam hati. Melepaskan semua gejolak di dada yang terpendam. Maka aku memilih meluapkan semuanya dalam buku catatan ini. Semoga aku bisa lebih kuat menghadapi semua ujian yang terjadi setiap harinya di rumah ini.Hari ini, seperti hari biasanya, kembali Ibu berulah padaku. Entah kenapa juga ia selalu menganggap salah semua yang aku lakukan.Tadi siang Ibu memintaku untuk membelikan bakso. Tapi setelah aku beli ia malah bilang tidak enak dan meminta aku untuk membelikan lagi di tempat yang lain.Sebenarnya tidak masalah bagiku pulang pergi membelikannya, tapi masalahnya Ibu tak mengizinkan aku mengendarai motor sama sekali. Ia menyuruhku untuk berjalan kaki.Mending kalau Ibu mau menjaga Alesha saat aku pergi. Tapi ia tak mau dan malah menyuruhku membawanya. Terpaksa aku berjalan kaki menggendong Alesha sejauh hampir tiga kilometer.Tapi hari ini aku tetap merasa bahagia karena Mas Galang bilang bekal masakan yang aku
"Tapi bagaimana dengan Alika, Bu? Dia pasti tidak mengizinkan!""Ah, anak itu biar saja, dia nanti juga mengerti. Laki-laki menikah lagi tak perlu izin istri pertama, kok!" kilahnya."Tapi aku tidak menyukai Wulan, Bu!" "Kamu ini tidak normal apa, Galang? Wulan itu cantik, semok, pintar, baik, apa lagi yang kurang darinya? Dia pasti bisa menyenangkan hatimu!" terangnya bersemangat. Seperti seorang sales yang memasarkan produknya.Memang yang diucapkan Ibu ada benarnya. Walau aku belum menyukai Wulan tapi aku mengakui semua yang Ibu katakan barusan.Lalu setelah hari itu Ibu terus berusaha mendekatkan aku dengan Wulan. Membuatnya terus saja menempel denganku. Wulanlah yang menyiapkan semua keperluan harianku. Sedang Alika dibuat sibuk dengan urusan rumah tangga lainnya."Kamu mau 'kan menikahi Wulan?" tanya Ibu lagi untuk kesekian kalinya saat aku tengah mengecek pekerjaan melalui ponsel di ruang tengah.Tak kujawab pertanyaannya. Hanya terus saja fokus menatap ponsel."Galang, buatla