Share

4

WANITA YANG BUNUH DIRI ITU TERNYATA ISTRIKU (4)

Ya, aku memang bisa saja mengusir wanita yang kupanggil Ibu itu begitu saja. Dia memang Ibuku, tapi hanya ibu tiri yang kejam.

Bapak menikahi dirinya saat aku masih berusia 5 tahun. Ia adalah janda mandul yang dipersunting oleh Bapak.

Kami bertiga hidup dalam kesederhanaan. Bapak hanya seorang tukang becak dulunya. Penghasilan Bapak menjadi penentu nasibku kala itu. Jika banyak, aku akan diperlakukan Ibu dengan baik. Jika sedikit akulah yang akan menjadi pelampiasannya.

Ia pernah meninggalkanku begitu saja saat Bapak meninggal ketika aku berusia 16 tahun. Membiarkanku menjadi anak terlantar berjuang sendirian.

Beruntung otakku cukup encer, hingga bisa mendapat beasiswa sampai tingkat perguruan tinggi.

Setelah lulus kuliah aku bekerja keras terus tanpa henti sehingga bisa mendirikan perusahaan sendiri. Lalu saat itulah dia datang lagi. Meminta tinggal bersama dengan embel-embel membalas budinya yang sudah mengurus sejak kecil.

"Kau tak akan melakukannya 'kan, Galang? Kau lupa walau bagaimanapun aku ini Ibumu, yang telah mengurusmu sejak kecil. Masa kau tega melakukannya?" tanya Ibu kini dengan lembut. Mencoba mempengaruhiku.

"Kalau kau saja tega menyakiti Alika, aku pun tentu tak segan-segan melakukannya padamu!" ancamku lagi. Ibu tampak semakin ketakutan.

"Memangnya Alika kenapa?" tanya Rendi tiba-tiba dengan polosnya.

"Alika ..., Alika bunuh diri Rendi ...!" Wulan berpura-pura sedih kini. Ia menangis sambil menjatuhkan dirinya ke lantai. Entah apa maksudnya. Yang pasti aku tahu semua itu dibuat-buat.

"Bu-bunuh diri?" Rendi terperanjat. Wajahnya seketika memucat.

Ah ..., drama apa lagi yang ditampilkan keluarga ini? Mereka benar-benar jagoan akting ternyata. Padahal mungkin mereka begitu senang akan berita kematian Alika.

"Ba-baiklah, kalau begitu. Kau sudah menceraikan Kak Wulan, 'kan? Ayo Kak Wulan, kita harus segera pergi dari rumah ini. Buat apa lagi kita tinggal di sini, sementara dia sudah tak menginginkanmu?" Ajak Rendi, seraya menarik tangannya. Memaksa agar Wulan mau menurutinya.

Tak kusangka semudah ini ternyata mengusir Rendi. Tahu begitu dari dulu saja aku mengusirnya. Agar hilang sudah satu bebanku.

"Tapi Rendi, aku tak mau meninggalkan rumah ini." rengek Wulan, sambil menahan dirinya sendiri dari tarikan Rendi. Namun tak digubris Rendi. Ia terus saja menarik Wulan kasar.

"Ayo Kak, buat apa kita terus di rumah ini, Galang sudah menceraikanmu! Buat apa kita bertahan di sini lagi?" bujuk Rendi lagi, seraya terus menarik lengan Wulan dengan kasar.

Baguslah, setidaknya Rendi sadar diri. Jadi aku tak perlu bersusah payah mengusir mereka.

****

Menjelang malam Wulan dan Rendi benar-benar telah pergi meninggalkan rumah ini, entah ke mana aku tak peduli lagi. Sempat kuberikan uang sebesar 10 juta rupiah untuk bekal mereka. Kuminta mereka untuk tak menemuiku lagi.

Aku kini tengah membaringkan badan di ruangan kerjaku. Sendirian. Meresapi semua yang terjadi hari ini.

Dalam satu hari aku kehilangan kedua istriku begitu saja. Sepertinya Tuhan mencoba menghukumku karena telah begitu sombong dan semena-mena. Merasa sanggup memiliki istri dua padahal hanya kemampuan materi saja yang kupunya. Sedang kemampuan untuk menjadi suami, dan imam yang adil aku masih belum sanggup.

Saat aku masih dalam renungan, terdengar dari luar ada tamu yang datang. Gegas aku pun turun untuk mencari tahu siapa.

Beberapa orang polisi datang bersama Bapak dan Ibu Alika. Juga kulihat Alesha  berada dalam pangkuan Hilya. Aku cukup tenang meninggalkan anakku bersamanya, Hilya pasti bisa menjaganya dengan baik.

Segera kudatangi Alesha. Betapa merindukannya. Entah kapan terakhir kali aku menggendongnya, rasanya telah lama sekali.

"Alesha!" Ingin rasanya kali ini aku mendekapnya. Namun saat akan kuambil tubuh kecilnya dari pangkuan Hilya, Alesha langsung memeluk Hilya erat, tak mau melihatku. Seakan aku adalah orang asing baginya. Tangis ketakutan mulai terdengar kini. Hilya pun berusaha menenangkannya.

"Ada apa ini?" tanya Ibu, tiba-tiba datang dan menghadapi para polisi begitu saja.

"Permisi, Bu, maaf mengganggu malam-malam! Saya izin akan membawa Pak Galang Gunawan ke kantor Polisi untuk proses penyelidikan, karena Pak Galang menjadi tersangka atas kasus KDRT pada anak Alesha Putri Gunawan."

Apa? KDRT pada Alesha? Dan aku tersangkanya?

Kukira polisi itu datang untuk memberitahukan terkait perkembangan kasus Alika, tapi ternyata tidak, mereka datang untuk menangkapku.

Seketika aku melihat tubuh mungil Alesha yang masih ketakutan padaku. Memang samar-samar terlihat ada luka lebam di kakinya.

Jadi selain Alika, anakku pun mengalami kekerasan? Kenapa aku sampai bisa tak menyadari hal itu?

Tiba-tiba saja para polisi itu segera mendekat dan mengapit kedua tangan seraya menariknya agar aku mengikuti mereka.

"Bukan, bukan aku pelakunya, Pak!" elakku membela diri.

"Jelaskan saja nanti di kantor polisi!" Mereka pun lantas membawaku.

Kulihat Ibu bernafas lega melihatku yang tengah diapit polisi. Sembari menahan senyum di wajahnya. Aku yakin dia dan Wulanlah pelaku sebenarnya.

Tak kusangka ternyata selama ini aku memelihara ular berbisa. Lalu kini ular berbisa itu menerkam diriku sendiri juga Istri dan Anakku.

Aku tak dapat lagi berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah mengikuti para polisi itu. Melawan pun percuma, aku tak punya bukti sama sekali.

Sesaat aku menatap Alesha, gadis kecilku lagi. Rasa bersalah makin menyeruak dalam dada ini. Tiba-tiba teringat lagi kejadian tadi pagi sebelum berangkat kerja, dan sebelum Alika memutuskan untuk bunuh diri.

Alesha terus berlari ke sana-kemari menabrak apa pun di hadapannya. Lalu tiba-tiba kakinya terantuk meja, sehingga jatuh menimpaku. Alesha pun segera menangis karena kesakitan.

Tapi bukannya menenangkannya, aku malah memarahi, dan memberikan sedikit  cubitan di tangannya, karena kesal melihat anak itu tak bisa diam. Alesha pun seketika makin kencang menangis.

"Alika ..., ini cepat bawa Alesha, anak dan Ibu sama saja suka menangis!" ucapku kasar. Alika pun bergegas mendekap dan menenangkan Alesha dengan lembut.

"Mas, kenapa kamu cubit dia?" protes Alika.

"Karena dia nakal, tak bisa diam!"

"Kamu jahat Mas, anak sendiri saja kamu cubit!" ucapnya, menatapku kesal.

"Sudah, sudah, aku terlambat!" tak kuhiraukan ucapannya, gegas aku bersiap kerja.

"Mas, biarkan aku hari ini pulang ke rumah Orang tuaku. Kumohon Mas!" pinta Alika lagi untuk ke sekian kalinya.

"Tidak, aku tak mengizinkannya! Jangan pernah kau berani-berani pergi dari rumah ini ya!" Tentu saja aku tak akan mengizinkannya. Aku takut ia tak kembali lagi padaku.

Sepintas kulihat sudut mata Alika basah. Tapi, aku tak mau ambil pusing lagi. Bergegas pergi dan tak peduli pada mereka berdua yang sedang menangis terluka karena ulahku. Tak kukira itu adalah saat terakhirku dengan Alika.

Ah ..., memang benar, ternyata aku juga telah menyakitimu, Alesha. Aku memang pantas mendapatkan hukuman atas semua perlakuan burukku padamu.

Maafkan Papa ya, Nak, karena kau harus mengalami semua ini saat usiamu yang masih sangat kecil.

****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
rozi yana
jahat amat...penderaan emosi dan mental
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
:'( huaaaa. udah kejadian istri meninggal, baru diinget² lagi yak kelakuan jahatnya ke istri. emang penyesalan dtgnya belakangan. yaAllah aku geram bacanya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status