Share

Bab 2

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-21 03:58:52

Sejak pagi perutku terasa mual. Entah sudah berapa kali aku menghirup aroma minyak kayu putih demi meredakan rasa mual ini, kepalaku pusing membuatku hanya bisa terbaring ditempat tidur.

Ku raih ponsel yang tergeletak di atas nakas, berniat menghubungi Nisa, untuk sekedar mencari teman bicara.

Teleponku tersambung, setelah bertanya kabar tentangnya, kuberitahu keperluanku menelponnya, untuk beberapa saat ia diam, lalu terkekeh geli.

[Alina, coba beli test pack, sepertinya kau hamil]

Hamil?

Mendengar perkataan Nisa membuatku mengerutkan kening. Namun, baru kusadari jika bulan ini tamu bulananku memang tidak datang.

Entah lah, aku tak tahu apakah ini kabar gembira atau buruk untukku. Lidahku kelu untuk berkata kata lagi. Aku terlalu takut untuk memikirkan jika ucapan Nisa ini benar.

[Selamat ya, aku yakin sekali kau hamil, Alina.]

Kucoba untuk menepis ucapan Nisa, namun tak bisa, entah mengapa, hatiku mencoba meyakinkan jika perkataan Nisa adalah benar. Setelah mengucap salam, aku menutup sambungan teleponnya.

Aku masih ingat, kejadian saat terakhir kali Mas Bayu menyentuhku. Yah, terakhir kali Mas Bayu menyentuhku, itupun seperti memaksakan kehendak. Karena aku sempat kesal dan menolak keinginannya.

"Ingat Alina, kau itu istriku. Aku berhak segala hal atas dirimu, termasuk tubuhmu. Aku suamimu, sebagai perempuan yang mengerti agama harusnya kau bisa melayani h*sratku kapan saja," hardiknya kala itu.

Aku diam dan pasrah, meski dalam hati bergejolak amarah. Kubiarkan saja ia menyalurkan hasr*tnya. Itu adalah kali terakhir ia menyentuhku, hingga kabar kemungkinan kehamilan ini.

Aku marah dan menolak keinginannya karena aku ingat, melihatnya berjalan bersama Kania, masuk ke dalam sebuah restoran. Aku melihat mereka yang begitu santai menikmati kebersamaan, dan yang kulakukan hanyalah memandang mereka tanpa ada keberanian untuk menghampiri.

Aku masih takut menerima kenyataan ini, aku takut pernikahanku hancur, karena aku mencintai Mas Bayu.

Saat itu aku menyadari akan status istri sah yang sandang. Status yang tidak memiliki kuasa atas suamiku sendiri. seorang Istri pajangan, mungkin itu status yang cocok untukku.

Ingin rasanya aku mempermalukan mereka saat itu, tapi entah kenapa tiba tiba saja aku tersadar, siapa diriku? Bahkan cinta Mas Bayu saja sampai sekarang masih belum bisa kudapatkan.

Dan sekarang, kehamilan ini. Haruskah ku memberitahu Mas Bayu, jika saat ini aku telah mengandung janinnya dirahimku?

****

Sebuah foto yang dikirimkan Kania akhirnya menghancurkan pertahanan dan kepercayaan diriku. Foto desain sebuah undangan pernikahan. Sangat jelas bertulis nama Kania dan Mas Bayu disana.

Hatiku terasa sangat sesak. seakan semua hanya tinggal menunggu waktu saja.

[Bagaimana Alina, kau suka? Aku mendesain sendiri undangan ini. Ingat Alina, kau yang membuatku mengambil keputusan ini, jangan sekali kali kau menyebutku pelakor, karena aku sudah meminta Mas Bayu secara baik baik darimu.]

Pesan itu dikirim Kania lewat ponselku. Untuk sesaat aku menekan dadaku, rasa nyeri dan sesak kian terasa, apakah ini suatu pertanda akan berakhirnya pernikahanku.

Ku letakkan kembali ponselku, rasa takut tiba tiba menjalar di sekujur tubuh. Aku diam cukup lama dengan pikiran yang terus berkecamuk.

"Mengapa mas? Jika kau memang mencintai dan ingin menikahi Kania, kenapa harus berbohong dibelakang ku, mengapa menerima perjodohan ini. Tak adakah sedikit saja keberanian untuk mengatakannya padaku lebih dulu?"

Batinku terus bergejolak. Ya tuhan, mengapa aku bisa sebodoh ini. Tentu saja Mas Bayu bisa menikahi Kania sekarang, karena penghalang untuk mereka bisa bersama kini sudah tak ada lagi.

Tak ingin terlalu larut dalam prasangka buruk karena memikirkan sesuatu yang bisa merusak akal sehatku. Aku memutuskan untuk pergi ke apotek, membeli test pack seperti yang disarankan Nisa. Aku berharap dengan hadirnya janin ini, akan membuat Mas Bayu sedikit saja menatapku.

Dengan langkah malas aku mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja TV, lalu pergi mengunci pintu rumahku dan melajukan motorku menuju apotik terdekat.

***

Dua garis biru langsung terlihat di test pack yang kubeli tadi siang. Meski disarankan menggunakannya pada pagi hari, tapi aku tak mau menunggu sampai besok. Kupikir jika memang hamil pasti akan langsung terdeteksi karena rasa mual yang kurasakan semakin terasa kuat.

Aku menghela nafas melihat hasilnya. Sudah cukup lama aku mengurung diri di kamar mandi ini, hingga tak kusadari jika Mas Bayu mengetuk pintunya.

"Alina, kau baik baik saja didalam?"

"Iya, mas."

Aku membuka keran air, mencoba untuk mengulur waktu, entah mengapa saat ini aku tak ingin melihatnya. Kalimat demi kalimat pesan terakhir yang dikirim Kania kini seperti kaset yang diputar berulang-ulang terasa di kepalaku. Membuatku semakin takut menerima kenyataan.

Tuhan, haruskah aku menerima Kania sebagai adik madu ku. Karena aku tak memiliki alasan syar'i yang kuat untuk menggugat cerai Mas Bayu. Haruskah ujian kesabaran ini kujalani?

Yah, menolak poligami bukanlah sebuah alasan yang kuat untuk meminta talak. poligami diperbolehkan dalam agama. Tapi, tak banyak wanita yang mampu menerima suaminya. melakukan hal yang perbolehkan dalam agama itu. Termasuk diriku.

"Alina?"

Panggilan dari Mas Bayu, menginterupsi lamunanku. Ku hapus air mata yang tak terasa menetes sambil menyimpan hasil testpack kedalam saku piyama yang kupakai.

Cklek.

Pintu kamar mandi ini kubuka, tampak Mas Bayu berdiri di sana. Aku gugup. Lalu melangkah pelan, melintas dihadapannya.

Ia memandangku dengan pandangan yang sulit kuartikan, mata itu seolah ingin mengatakan sesuatu. Segera saja kubuang pandanganku karena aku tak ingin terhanyut dalam tatapan matanya.

"Alina, apa kau punya waktu. Aku ingin bicara."

Aku menghentikan langkahku begitu mendengar ucapannya. Bicara? Untuk apa? sesuatu hal yang pentingkah yang ingin dibicarakannya denganku?

Astaga. Mungkinkah ia ingin membicarakan masalah Kania. Membicarakan pernikahan mereka padaku?

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
hmmm....banyak adegan diam n kebatinan...alias bicara dlm hati, malesin dah
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mati ajalah kau yv cuma ngebacit dlm. hati. bertahanlah kau sebagai sampah di mata suami mu.
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Alina be strong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 169 (Ending)

    "Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 168

    "Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 167

    Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 166

    Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 165

    Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 164

    "Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status