“Raya meminta orang-orang itu mengawasi kalian sudah lama, jadi jangan heran kalau dia tak ketinggalan info tentang kalian.” Memangnya mereka artis yang beritanya sangat berharga. “Terima kasih atas informasinya, jadi semakin bahaya kalau kita bicara seperti ini, sekali lagi terima kasih peringatannya.” Luna mengangguk sebentar pada laki-laki itu sebagai tanda pamit, lalu kembali berjalan menyusuri lorong, bahkan tanpa menoleh sekali pun Luna tahu kalau laki-laki itu sedang memandangnya dengan sangat tajam, tapi Luna tak peduli, yang penting dia harus segera kembali ke kamar rawat Laksa, siapa tahu suaminya itu sudah sadar dan mencari keberadaannya. “Kamu dari mana saja kenapa meninggalkan Laksa sendiri.” Luna mendongak memandang Dirga yang sudah berdiri dengan gusar di depannya, seketika rasa cemas menyergapnya, Luna pasti sudah terlalu lama bermain-main dengan Raya dan keluarganya sampai dia mengabaikan Laksa yang sangat membutuhkannya.
“Tunggu!” Lorong ini sepi pengunjung, jadi sudah bisa dipastikan kalau teriakan itu memang ditujukan untuk Luna, apalagi dia masih teringat dengan jelas suara siapa yang memanggilnya itu. Tapi apa peduli Luna tentang hal itu, dia tak ada urusan dengannya, kemarin malam memang dia sudah mengatakan terima kasih pada laki-laki itu dan sang kakek juga sudah mengatakan akan memberinya uang sebagai balas jasa untuknya, Luna tak tahu laki-laki itu menerima atau menolaknya tapi bagi Luna urusannya sudah selesai. Bukannya Luna ingin bertingkah sombong dan tidak tahu terima kasih, tapi sekali lagi dia sudah tak memiliki urusan dengannya, apalagi mengingat keluarga itu yang begitu manipulatif makin eneg rasanya. Terdengar langkah kaki cepat yang menyusulnya, tapi tetap saja Luna melanjutkan langkahnya. “Ternyata kamu sombong juga pada orang yang telah membantu suamimu.” Luna terpaksa menghentikan
"Aku titip Laksa, setelah dia sembuh aku akan datang lagi padanya, lagi pula anak ini sudah mati jadi tidak ada alasan dia tidak mau kembali padaku," kata Raya dengan pongahnya. Luna ternganga mendengar kalimat Raya, benar kata Vira, wanita ini sakit jiwa, bukan karena perkataannya saja yang ingin mengambil Laksa darinya, tapi juga tidak ada rasa empati untuk kematian anak kandungnya sendiri.Luna bahkan tak bisa membendung rasa kasihan yang tiba-tiba datang memenuhi hatinya, andai benar Laksa lebih memilih wanita ini, betapa hancurnya Laksa bila tahu kalau wanita ini tak ada bedanya dengan ibu kandung suaminya itu.Hati suaminya pernah patah dan sangat sulit untuk disatukan lagi, dan juga... Ah hatinya bahkan ikut sakit memikirkan kemungkinan itu.Luna tak pernah mengerti cara berpikir wanita-wanita itu yang dengan tanpa rasa bersalah berani mengorbankan apa saja untuk memenuhi ambisinya."Silahkan tidur supaya kamu bisa terus bermimpi.
Untuk orang yang baru saja keguguran tak ada kesedihan sama sekali di wajah wanita itu. Itulah yang Luna tangkap ketika pertama kali melihatnya, dia memang bukan orang yang bisa membaca hati dan pikiran orang lain, tapi Luna tentu tahu tanda-tanda orang yang barusan menangis sedih dan tidak. Astaga Luna sudahlah lupakan, bukankah kamu hanya ingin tahu siapa yang sedang bersama suami waktu kecelakaan terjadi. Sisi hati Luna mengingatkannya, lalu setelah tahu dia harus apa? "Aku hanya ingin menjengukmu, suster bilang ada seseorang yang juga korban kecelakaan selain suamiku," jawab Luna seolah tak peduli, padahal hatinya sudah sangat kesal pada nenek lampir di depannya. Tanpa disangka sebuah senyum sinis terbit di bibir gadis itu, senyum yang membuat Luna merasa tidak nyaman, tapi dia Raya, yang kalau mengulik kalimat mama mertuanya atau dari cerita-cerita Laksa, sangat manipulatif dan egois, jadi dia tak boleh terpengaruh dengan omongannya selam
Melihat raut wajah lega petugas di depannya, membuat Luna cukup heran, tapi keheranan itu juga tak bertahan lama saat sang petugas mengatakan bagian mana saat ini wanita itu dirawat, apalagi divisi yang disebutkan jelas mengisyaratkan sakit yang diderita. “Mbak yakin dia dirawat di sana?” “Sangat yakin, karena dijelaskan secara singkat di sini kandungannya bermasalah.” Kandungan? Siapa wanita hamil yang bersama kak Laksa? Dan untuk apa wanita hamil ada di mobil suami orang malam-malam? “Mbak bisa membantu saya dia dirawat di kamar nomer berapa?” “Nona Soraya Arifka dirawat di ruang mawar no 2.” Fokus Luna langsung pada nama wanita yang barusan disebut namanya. Soraya? Apa itu Raya yang sama? Mantan kekasih suaminya? Tadi pagi memang saat mengunjungi Dio, dan juga jadwal Raya untuk mengganggunya, wanita itu memang tidak ada di sana, mungkinkah dia pulang dan menemui Kak Laksa di kantor? Tapi itu sudah terlalu malam untuk wanita hamil berkeliaran sendirian. Lalu untuk apa wa
Luna mondar-mandir dengan gelisah. Astaga siapa juga yang tidak gelisah dan gusar kalau suami yang dia cintai dan juga Luna percaya mencintainya malah kedapatan kecelakaan dan sekarang dalam kondisi kritis dan kejutannya tidak sampai di sana saja, ada seseorang lagi yang ada di mobil Laksa saat kecelakaan itu terjadi dan orang itu adalah wanita. Luna memang belum tahu siapa wanita itu, entah dia memang ada hubungan apa dengan Laksa sehingga wanita itu ikut nemplok di mobil Laksa, Luna sejujurnya sangat bimbang, dia ingin mencari tahu siapa wanita itu dan berniat melabraknya, tapi jika suaminya saja dalam kondisi kritis begitu, mungkin wanita itu juga dalam kondisi yang sama, dia lucu bukan dia melabrak orang yang bahkan membuka mata saja sulit. Lagi pula, Luna tidak tahu bagaimana caranya ... melabrak pelakor. Itu pun kalau memang benar wanita itu pelakor. Astaga, kenapa mau marah pun dia harus dilema seperti ini.Luna meng
Gelisah itu yang mereka rasakan saat ini, badan mereka yang meang belum sembuh benar terasa kaku dan Linu, padahal mereka hanya duduk diam tanpa melakukan apapun, kalau mondar-mandir dalam kecemasan itu tidak dihitung. Akhirnya penantian mereka terjawab sudah saat seorang dokter keluar dari dalam ruangan dan mengatakan bahwa operasi berjalan dengan lancar, meski Laksa masih dalam pantauan mereka tentu saja.Luna menarik napas lega dan berpelukan dengan sang mama penuh syukur, dokter bilang keadaan Laksa cukup parah, apalagi dia juga terkena pecahan kaca, sungguh Luna tak bisa membayangkan sakit yang diderita oleh suaminya. Para perawat itu dengan wajah lelah karena semalam suntuk berada di ruang operasi, mendorong ranjang dengan Laksa yang masih tertidur lelap di atasnya, seolah dia hanya patung batu yang sama sekali tak terganggu dengan isak tangis mama dan istrinya.“Kapan suami saya akan bangun dok?” tanya Luna pada dokter yang masih berdir
Luna tak mengenal laki-laki itu, jangankan mengenalnya, pernah melihatnya saja baru kali ini, padahal dia sudah memeras otaknya untuk mengingat wajah laki-laki itu, tapi kenapa seolah laki-laki itu memang ada di sini menunggui Laksa, apa dia salah satu kawan Laksa? “Apa mama dan opa mengenalnya?” tanya Luna pada dua orang yang hanya terdiam. Hanya keheningan yang menjawab pertanyaan Luna seolah dua orang itu tertawan di dimensi yang berbeda saat ini, membuat Luna hanya bisa menatap kebingungan dibuatnya. Luna menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran tidak penting yang mengganggu pikirannya, yang penting suaminya selamat. Kokok ayam dikejauhan terdengar dengan nyaringnya tapi belum ada tanda-tanda ruangan itu akan kembali terbuka, Luna melihat sang mama dan kakek suaminya itu masih setia menunggu dalam diam, entah apa yang mereka pikirkan. “Ma,” kata Luna mencoba menyadarkan mereka dari kebekuan panjang yang entah kapan akan berakh
Meski setiap hari dia harus pulang pergi ke rumah sakit sejak melahirkan, tapi tetap saja tempat ini tak pernah bersahabat dengannya, bayang-bayang kehilangan bundanya masih kuat melekat dibenaknya dan sekarang dia harus menunggu kepastian akan nasib suaminya. Saat suara panggilan menyebutkan nama Laksa, Luna otomatis berdiri dan setengah berlari menghampiri sang dokter. “Bagaimana dengan suami saya, Dok?” tanya Luna yang diamini oleh tiga orang yang bersamanya. “Kaki kanannya patah, juga benturan di dadanya, kami akan berusaha sekuat tenaga, tapi saat ini dokter yang harus mengoperasi sedang melakukan operasi.” “Apa tidak ada dokter lain, rumah sakit ini sangat besar kenapa hanya ada satu dokter,” tanpa sadar Luna menghardik sang dokter yang memberi penjelasan. “Maaf, Bu, kami hanya punya dua dokter spesialis untuk kasus seperti ini, dan keduanya sedang bertugas, kami sudah melakukan pertolongan pertam