Share

5. Suasana Baru

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 10:32:39

“Anda tak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun dari anda, silahkan nikmati hidup anda.”

Luna tak peduli dengan kata-kata kasar yang dia ucapkan, bahkan beberapa orang juga ikut menatapnya antara takjub dan juga mencemooh. Mungkin seumur hidup Laksa belum ada orang yang berani terang-terangan mendebatnya di depan umum seperti Luna.

Luna memang sosok yang ceria dan manja, tapi dia juga didik dengan keras oleh ayahnya untuk tidak mudah patah oleh cobaan hidup yang menerjangnya.

Dan mulai hari ini pasti akan ada banyak cemoohan dan hinaan untuknya, Luna mempercepat langkahnya, matanya sudah mulai berembun, dia tidak akan sudi terlihat lemah di hadapan orang-orang itu.

Luna menarik napas lega saat dia sudah menginjakkan kakinya di halaman hotel, masih ramai orang lalu lalang memang tapi setidaknya di sini tidak ada yang memandangnya dengan hina seperti di dalam.

Untuk terakhir kalinya Luna menatap bangunan megah hotel milik keluarga Sanjaya ini dengan tatapan hampa, tempat inilah yang selama tiga tahun terakhir ini dia datangi setiap hari dan sekarang dia tak akan mungkin di sini lagi.

Ada rasa sedih yang menyelip di hatinya tapi dengan tangkas Luna menepisnya, ayahnya selalu mengajarkan untuk tidak mudah menyerah pada pahitnya kenyataan, Luna yakin dia akan menemukan tempat kerja di lain tempat, atau mungkin dia bisa mulai membuka usaha sendiri.

Dengan cepat Luna menghapus air mata yang begitu nakal mengalir dipipinya, gadis itu berusaha tersenyum riang saat sang ayah masih menunggunya di depan mobil tua mereka.

“Sudah selesai, Yah, kita pulang.” Dia menggandeng lengan sang ayah lalu masuk dalam mobil.

“Kamu baik-baik saja, Nak?”

“Luna baik-baik saja, Yah, tapi sekarang Luna pengangguran, jadi Luna minta jatah uang jajan lagi,” katanya berusaha membuat nada suaranya seceria mungkin.

Perlu usaha yang keras bagi Luna untuk membohongi ayahnya, laki-laki yang selama ini selalu ada di sisinya. Tapi dengan bijak sang ayah tersenyum dan mengikuti permainan Luna.

“Ayah cukup kerepotan menghabiskan uang gaji sendiri, senang sekali kalau kamu mau bantu ayah menghabiskannya.”

Luna tertawa mendengar jawaban ayahnya, setidaknya ditengah badai yang telah menerpanya, ada ayahnya yang bisa membuat perasaannya selalu lebih baik.

Mobil tua itu melaju membelah jalanan yang mulai padat oleh orang-orang yang akan melakukan aktivitasnya hari ini. melaju pelan menuju stasiun kereta yang akan mengantar Luna ke rumah neneknya. Sejenak saja Luna ingin melupakan semua, mengganggap semua kejadian malam itu tak pernah ada.

“Setelah ayah tidak terlalu sibuk di sekolah ayah akan menjengukmu.”

Luna memandang mata teduh itu dengan hampa, andai saja kejadian malam itu tak pernah terjadi dia akan tetap di sini menemani ayahnya yang sudah tidak muda lagi. sebagai anak Luna sangat merasa berdosa dia bahakn belum bisa membalas semua jasa ayahnya dan sekarang malah melemparkan kotoran ke muka ayahnya.

Tapi Luna tahu, kata maaf saja tak cukup untuk mengembalikan senyum ayahnya, Luna harus buktikan pada ayahnya kalau kejadian malam itu tak bisa menghancurkan hidupnya.

Luna akan bertahan.

***

Nenek menyambut Luna di depan rumahnya, rumah kuno dengan arsitekture jawa yang kental dan halaman yang luas.

“Masuk dulu, Nduk, ayahmu sudah menceritakan semuanya tadi.”

“Maaf, Nek Luna merepotkan nenek di sini.”

“Wong didatangi cucunya kok repot, Nenek malah senang.”

“Tapi Luna...”

Luna tak sanggup untuk mengatakannya tanpa menangis, tapi sang nenek dengan bijak segera menggiring cucunya itu masuk ke dalam rumah.

“Kamu ingat Vira teman SD kamu dulu?” tanya sang nenek yang sedapat mungkin mengalihkan perhatian Luna dari masalah yang sedang dia hadapi.

“Ehm... Vira anaknya Pak Adnan?” tanya Luna mengingat sahabat dekatnya dulu waktu masih tinggal di sini.

“Iya siapa lagi.”

Luna mengangguk, tentu saja dia ingat, bahkan sampai sekarang mereka masih sering berkirim kabar, meski tinggal berjauhan tak mengikis pertemanan mereka.

“Iya, Nek Luna masih sering bicara dengannya di telepon.”

“Apa kabar anak itu?”

“Dia sekarang sudah punya sanggar sendiri, dia pasti senang kalau tahu kamu akan tinggal di sini.”

Benarkah? Mungkin beberapa hari yang lalu Vira akan senang dengan kedatangannya, tapi sekarang Luna orang yang berbeda, bisa jadi Vira akan ikut membenci Luna.

Luna ingat sekali pengalaman Vira dengan mantan pacarnya yang dijebak oleh temannya.

“Kalau kamu belum nyaman keluar, ya wis ndak papa di rumah saja bantu nenek menyiapkan makanan,” kata sang nenek dengan aksen jawa yang sangat kental.

Dan seperti itulah hari Luna di rumah neneknya, pagi hari dia kan membantu neneknya menyiapkan masakan yang akan dijual neneknya nanti.

Meski bukan penjual gudeg ternama, tapi gudeg buatan neneknya cukup terkenal dikalangan para pengunjung pasar. Tidak heran kalau usaha ini masih terus bertahan dari puluhan tahun yang lalu. Luna bahkan berpikir mungkin nanti dia bisa melanjutkan usaha neneknya saja berjualan gudeg, dia tak perlu mencari kerja kesana kemari.

Yah seperti perkiraannya sebelum datang kemari, dia bisa membuka usaha. Masakannya cukup enak kok, tak kalah dengan gudeg buatan nenek. Kata ayahnya sih.

“Sudah semua ini, Nek?” tanya Luna yang ikut membantu sang nenek mengangkat hasil masakan yang akan di jual ke gerobak dibantu Bu Salamah yang biasa membantu di sini.

“Sudah semua, Nduk, tinggal tunggu Bejo bawa ke pasar saja.”

Pak Bejo dan Bu Salamah adalah pasangan suami istri yang selama ini membantu neneknya untuk berjualan. Jangan tanyakan kemana anak-anak neneknya yang berjumlah sembilan orang itu, tentu saja mereka semua sudah punya kehidupan sendiri menyebar di berbagai kota dan hanya pada hari-hari tertentu saja mereka akan berkunjung.

Dan kedatangan Luna, meski dengan membawa beban masalah yang tidak ringan, tentu disambut baik oleh sang nenek.

Neneknya bukan orang yang kolot yang akan menghakimi tanpa mendengarkan dulu penjelasan seseorang dan Luna sangat bersyukur saat nenek menerimannya dengan baik.

“Nenek percaya kalau kamu sudah besar dan bisa bertanggung jawab dengan keputusanmu sendiri, ayah dan ibumu sudah mendidikmu dengan sangat baik,” kata neneknya kala Luna menanyakan apa sang nenek tak keberatan Luna tinggal di sini dengan segala konsekuensi dan aib yang akan beliau terima.

Paling tidak diantara semua orang yang membencinya dan menuduhnya melakukan perbuatan hina itu, ada keluarganya yang mendukungnya. Dan Luna rasa itu cukup sebagai bekalnya untuk terus melanjutkan hidup.

Kegiatan itu sudah berlagsung seminggu sampai suatu sore sang ayah menghubunginya melalui telepon, agenda wajib yang dilakukan ayahnya selama Luna tinggal dengan sang nenek di sini. Tapi kali ini sang ayah berbicara dengan tegang yang membuat Luna langsung merasa cemas.

“Keluarga Sanjaya kemari dan mereka mencarimu, ayah harap kamu bisa pulang untuk bertemu mereka, ayah rasa kamu sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri, ayah selalu mendukungmu.”

Bahkan sampai telepon ditutup sang ayah tak mau menjelaskan lebih lanjut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Yang Kau Pilih   285. Wanita Terpilih 2

    Satu minggu kemudian, waktu yang dijanjikan Laksa untuk mengajak keluarganya ke Yogya, dan hal yang sangat tidak diduga Luna adalah untuk memenuhi keinginan sang istri yang ingin naik kereta, Lkaksa memboking satu gerbong kereta eksekutif yang harga tiap kursinya hampir satu juta rupiah. “Memangnya kita mau ajak orang satu kelurahan, pakai booking satu gerbong.” Laksa hanya mengedikkan bahunya acuh. “Aku tidak mau kamu dan Dio merasa tidak nyaman.” Luna hanya diam percuma saja berdebat dengan Laksa yang memang sudah sejak lahir di beri makan dengan sendok emas. “Hei jangan cemberut seperti itu aku minta maaf, ok lain kali aku akan minta pendapatmu dulu.” “Tapi ini berlebihan kaka.” “Tidak ada yang berlebihan untuk istri dan anakku yang berharga.” Siapa yang tidak terbuai coba dengan mulut manis Laksa. Seperti biasa saat mereka tiba di rumah sang nenek, se

  • Wanita Yang Kau Pilih   284. Wanita Terpilih

    Luna berdiri sambil mengawasi putra kecilnya yang sesekali mengganggu sang ayah yang sedang khusyuk berdo’a di samping makan sang nenek, laki-laki kecil kesayangan Luna itu memandang ingin tahu, Luna sudah mencoba menggendongnya untuk di bawa ke mobil terlebih dahulu, tapi dasar anak itu malah meronta dan lebih memilih untuk bersama ayahnya. Hari ini memang mereka sedang mengunjungi makan ibu Laksa. Sudah dua tahun berlalu sejak kematian sang ibu, dan Laksa sepertinya sudah mengikhlaskan semuanya, baik kematian ibunya maupun perlakuan ibunya dulu padanya meski begiitu hukum masih tetap berjalan, pelaku yang menyebabkan ini semua, pun keluarganya yang berusaha menyuap petugas juga sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Selama dua tahun ini hidup mereka memang bisa dibiilang lebih tenang, meski banyak masalah yang menerpa tapi tetap saja bersama mereka bisa mengatasinya. Memang begitulah definisi hidup berkeluarga yang sering aya

  • Wanita Yang Kau Pilih   283. Tinggal Rencana 2

    Kepulangan kedua orang tuanya merupakan anugerah bagi Laksa, paling tidak kedua orang tuanya akan membantunya menyelesaikan masalah ini. “Kamu urus masalah di kantor polisi dengan papa, mama dan Luna akan mengurus Dio,” kata sang mama lembut tapi tegas. Mamanya memang sudah tua dan mulai sakit-sakitan, tapi tetap saja kemampuannya dalam menghadapi orang-orang licik itu tidak berkurang. Benar saja, saat Laksa sampai di kantor polisi, sang papa juga sudah ada di sana ditemani om Hardi. “Papamu memberikan bukti tambahan untuk menjerat mereka,” bisik Dirga pada Laksa. “Sepertinya aku sudah dibutuhkan di sini, lebih baik aku tadi menemani istriku,” gumam Laksa antara kesal dan lega semua sudah berjalan lancar. “Tentu saja, aku sudah bekerja keras untuk ini.” “Ya...ya, aku sangat berterima kasih untuk itu, meski aku tahu apa tujuanmu sebenarnya.” Dirga mengangkat

  • Wanita Yang Kau Pilih   282. Tinggal Rencana

    Mobil mewah itu melaju dengan kencang menuju pusat kota. Terlihat sangat terburu-buru bahkan tak melihat sesaat kemudian sebuah mobil lain mengekor di belakangnya. “Apa mereka bisa menolong mama, Pa?” tanya laki-laki yang lebih muda, yang memegang kemudi mobil mewah itu, di sampingnya laki-laki yang lebih senior duduk dengan tegang. “Jangan pikirkan mamamu dulu, pikirkan kita sendiri, jika kita tidak selamat, mamamu juga tidak akan mungkin bisa bebas.” “Tapi, Pa-“ “Sudahlah jangan bicara lagi, seharusnya kamu bicara padaku saat mamamu akan melakukan hal konyol itu, lihat sekarang, aku yakin keluarga itu tidak akan tinggal diam dan mengusut semuanya.” Laki-laki yang lebih senior itu terus saja mengoceh menyalahkan semua orang, sedangkan laki-laki yang lebih muda dan sedang mengemudi terlihat berusaha keras menahan amarahnya, tangannya mencengkeram kemudi

  • Wanita Yang Kau Pilih   281. Belum Tuntas2

    Luna tersenyum miris, kakinya lalu melangkah menghampiri kulkas dan menemukan beberapa buah jeruk yang sepertinya sudah di sana dari beberapa hari yang lalu. Melihat isi kulkas yang penuh dia yakin ibu mertuanya baru saja mengisinya, tanpa tahu sebentar lagi dia tidak akan bisa menikmati ini semua. “Ada jeruknya?” Luna menoleh dan tersenyum saat sang tante ternyata membuntutinya. “Ada tante.” Sejenak Luna larut dalam kegiatannya membuat jus jeruk, tapi saat teringat sesuatu dia lalu meninggalkan sebentar mesin juicer yang masih menyala dan menemui sang tante. “Apa ada yang harus Luna bantu, Tante, maaf tadi Luna malah istirahat di kamar dan tidak membantu.” “Bukan masalah, Nak, tante tahu kamu pasti lelah, apalagi yang tante dengar anakmu juga masih di rumah sakit.” “Iya tante, sekarang di jaga salah seorang keluarga. Ehm... tante apa tidak sebaiknya kita pesan makanan sa

  • Wanita Yang Kau Pilih   280. Belum Tuntas

    Ada sebagian orang yang memang bisa dengan legowo menerima musibah yang telah terjadi pada dirinya, dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan yang harus mereka jalani, tapi sebagian lagi tidak dapat menerima hal itu dengan baik, balas dendam dan mencari kambing hitam adalah hal yang paling lumrah dilakukan. Pembalasan yang mereka lakukan pun sangat beragam ada yang hanya dengan nyinyiran, tak saling tegur atau yang paling ekstrem sampai pada tindak kriminal yang nantinya juga bisa merugikan diri sendiri. Dirga sangat sadar akan hal itu. Sebagai orang yang pernah mengalami kemarahan dan kekecewaan yang sama, tapi tentu saja dia tidak sudi untuk terus menerus jadi korban, apalagi jika dirasa kemarahan orang itu membabi buta. “Aku dengar kamu mengancam ibu Raya,” kata Laksa saat mereka duduk berdua setelah pemakaman sang ibu usai dilakukan , beberapa sanak saudara terlihat membantu dalam prosesnya. “Kenapa kamu tak terima,” kata Dirga ketus. Laksa langsung menoleh pada sepupunya i

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status