Pun pagi ini saat Luna sudah bersiap untuk pergi ke kantor, bibi mengatakan kalau ada tamu yang ingin bertemu Laksa dan saat sampai di sana ibu Laksa sudah duduk manis di ruang tamu, dia memang tidak melakukan apapun hanya duduk diam. Tapi Luka yang wanita itu tinggalkan sepertinya masih belum kering juga."Ibu," sapa Laksa dengan datar. "Apa yang ibu lakukan di sini pagi-pagi?" tanya Laksa langsung, Luna sampai melotot tak percaya Laksa bicara begitu."Ibu hanya berkunjung, kamu tidak pernah datang mengunjungi ibu," kata wanita itu. "Maaf aku baru saja mengalami kecelakaan jadi jarang pergi ke mana-mana." "Ibu tahu." Kalau tahu kenapa bahkan tidak pernah menjenguk. "Begitu." Laksa bahkan kehilangan kata-kata sekuat tenaga dia tidak ingin berkata kasar pada wanita yang telah melahirkannya itu.Luna mengelus lengan Laksa mengisyaratkan supaya Laksa lebih tenang lagi. Dia lalu mengarahkan mereka untuk duduk.
Hujan mengguyur dengan derasnya begitu keluarga kecil itu memasuki gerbang rumah.Dengan sedikit tergesa dua orang satpam membawakan payung besar untuk mereka, udara dingin membuat kaki Laksa yang baru saja sembuh sedikit ngilu, mungkin juga karena kelelahan secara fisik dan emosi. Tapi dia tidak ingin mengeluh di depan sang istri, saat ini hanya ada mereka berdua yang menanggung semua beban ini dan dia sebagai kepala keluarga tidak boleh cengeng.Hari ini memang Luna memutuskan untuk tidak masuk kerja, bukan tanpa alasan, dia ingin mengantar sang ayah ke stasiun. “Kakak baik-baik saja?” tanya Luna terlihat khawatir dengan sang suami yang kakinya baru saja sembuh.Jarak halama rumah dan teras depan memang berjarak sekitar 50 meter, tapi tetap saja Luna khawatir pada suaminya.“Aku baik-baik, cepat masuk hujannya semakin lebat.” Luna mengangguk dengan segera dia mendekap Dio dalam pelukannya dengan seorang satpam yang membantuny
Setelah hubungan mereka membaik memang Laksa berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Luna yang lebih sederhana, dan nyatanya dia menyukai itu. entah itu karena ada Luna bersamanya atau karena dia sudah bosan dengan kehidupan hedon yang banyak menghabiskan uang. Dengan ditemani seteko teh hangat dan pisang goreng yang dibeli Luna tadi, mereka duduk di teras belakang rumah, bahkan bunyi jangkrik yang saling bersahutan tak mengusik mereka bertiga. “Kalian pasti sangat penasaran kenapa ayah meminta kalian datang,” kata sang ayah yang melihat dua orang itu terlihat penasaran. “Maafkan Luna yang akhir-akhr ini jarang mengunjungi ayah,” kata Luna. Wanita itu mendekat pada sang ayah dan memeluk lengan sang ayah manja seperti saat dia masih gadis dulu, Laksa hanya tersenyum tipis, bersyukur istrinya tidak seperti dirinya yang bahkan tak pernah punya kesempatan untuk dekat dengan ayahnya. “Kamu ini, sudah punya suami juga malu
Laksa memandang Luna yang duduk gelisah di sampingnya. “Kamu baik-baik saja, sayang, apa kita perlu berhenti di pom bensin?” tanyanya sambil menggenggam tangan sang istri dengan lembut. “Hah! Memang bahan bakarnya habis ya?” Luna menolok ke depan, berusaha melihat layar penunjuk bahan bakar, kebetulan dia memang duduk di belakang sopir yang saat ini sedang mengemudikan mobil. “Sudah penuh Mbak barusan saya isi,” kata sang sopir. “Bukan itu maksudku, mungkin saja kamu ingin buang air kecil, atau kita cari hotel terdekat, kalau kembali ke hotel kita lumayan jauh jaraknya.” “Kenapa kaka pikir aku mau ke kamar mandi?” “Itu kamu terlihat gelisah.” Dasar sok tahu. “Aku bukan ingin ke kamar mandi,” sangkal Luna. “Lalu?” Luna malah menghela napasnya, menyandarkan punggungnya yang pegal sambil tangannya memeluk Dio yang tertidur di pangkuannya. “Entah kenapa aku deg degan, padahal ini hanya ke
“Sudahlah, lagi pula mereka juga tidak bisa mendengarnya,” kata Laksa yang dari tadi hanya diam, dan memandang Luna yang sedang menidurkan putra mereka di sofa. “Apa sebaiknya kita pulang saja sekarang?” tanya Laksa. Luna memang tidak bekerja secara penuh seharian, sesuai dengan perjanjiannya dulu dengan Laksa dan managemen hotel, kecuali ada keadaan mendesak yang menuntutnya untuk tetap tinggal di sini. “Baiklah kita ke rumah ayah dulu.” Luna yang barusan meletakkan Dio di sofa langsung mengangkatnya lagi. “Tante dan Dirga?” “Tante akan ke salon.” “Sama Dirga?” “Ya enggaklah ngapain aku ke sana,” kata Dirga spontan. Luna hanya bisa tersenyum salah tingkah melihat reaksi Dirga. “Bisa aja kan kamu potong rambut atau temani tante, kenapa reaksimu berlebihan begitu, istriku hanya bertanya,” bela Laksa. Di tempat lain, terlihat ayah Luna yang keluar dengan tergesa dari ruangan kepala sekolah, d
Luna menggelengkan kepalanya, mungkin hanya perasaannya saja. Sekali lagi dia menatap pada gadis yang masih terpaku menatap mereka lalu pada sang tante yang berjalan cepat di depannya seolah di kejar maling. “Oma kenapa, Dio?” tanya Luna pada putranya, tentu saja bayi mungil yang baru berumur beberapa bulan itu tidak menjawab, hanya tangannya yang berusaha meraih wajah sang mama dengan ceria. “Jangan melirik tante terus nanti kamu tambah sayang.” Luna hanya nyengir, dia juga seperti para wanita kebanyakan yang akan kepo dengan keadaan di sekitarnya, apalagi kalau itu menyangkut orang yang dia kenal, meski Luna bukan orang yang berpengalaman dalam majelis pergibahan tapi tetap saja, tapi di sini dia cukup punya power untuk mencari tahu. Yah dia bisa bertanya pada bagian HRD nanti. “Kamu masih waras bukan.” Sang tante memandang Luna dengan aneh bahkan untuk meyakinkan hatinya, dia meletakk
Sebuah komputer yang terhubung dengan semua komputer pada jaringan Sanjaya Group, laporan akan otomatis tervalidasi, oleh sebuah sistem pintar yang telah dibuat Dirga, jadi Laksa hanya cukup memeriksanya jika memang menemukan parameter yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan. “Wah bagus sekali, jadi aku tak harus mondar-mandir ke kantor cabang, dari satu komputer aku bisa tahu semua,” kata Laksa. “Tepat sekali.” “Kamu hebat Dirga bisa membangun sistem manageman serumit ini,” Puji Luna tulus. “Itu ideku, Dirga hanya menjadikannya sebuah sistem di komputer,” kata Laksa seolah tak terima dengan pujian sang istri untuk sepupunya. “Eh, kerja sama kalian memang sangat baik,” kata Luna tak terpengaruh. Dirga hanya tertawa mendengar suami istri itu berdebat, mereka memang benar-benar menggemaskan. Bunyi ponsel Luna memutuskan diskusi mereka sejenak. “Ayah,” gumam Luna lirih. Dia segera beranjak berdiri dan
“Hah! Aku tidak menyangka ternyata kamu memang sangat kaya.” Dirga bersiul melihat laporan di tangannya. Saat ini mereka memang hanya bertiga saja berada di ruangan Luna, sedangkan Mama Dirga dengan baik hati mengajak Dio berjalan-jalan di sekitar hotel.Keinginan sang mama untuk memiliki cucu dari Dirga memang sudah dalam tahap kritis, Telinga Dirga sampai pengang mendengar omelan sang mama setiap harinya, dan mengajak Dio adalah solusi terbaik yang bisa dia pikirkan untuk saat ini, supaya dia lebih berkonsentrasi pada apa yang dia kerjakan. “Apa maksudmu bukankah itu seperti pengetahuan umum saat kamu SD,” kata Laksa sinis. “Yah tentu saja, bahkan sampai kamu tidak tahu banyak aset keluargamu yang terbengkalai seperti ini” Laksa meraup wajahnya kasar, dia juga tak habis pikir kenapa ayah dan kakeknya membiarkan hal ini berlarut-larut, mereka berdua bukan tipe orang yang ceroboh, tapi kenyataan di lapangan sangat bertolak belak
Laksa hanya mengangguk sekenanya dan membiarkan sang istri pergi, dia begitu tenggelam pada laporan yang dibuat sang istri, sempat tidak percaya juga tapi tidak mungkin bukan Luna akan memanipulasi laporan ini, buat apa coba. “Jangan terlalu dipikirkan nanti kamu cepat tua,” kata mama Dirga yang masuk bersama yang lain. “Setidaknya aku sudah punya anak dan istri, tante,” kata laksa dengan pandangan mengejek pada sepupunya. “Teruskan saja mengejekku, kalau mau aku meninggalkan semua,” kata Dirga dengan sewotnya. Urusan jodoh memang dia sangat sensitif apalagi di depan sang mama yang sangat bersemangat untuk menjodohkannya dengan siapapun wanita yang menurut sang mama potensial untuk dijadikan menantu. “Itu memang benar, lihat Laksa sudah punya Dio, sedangkan kamu menaklukkan satu wanita saja untuk dijadikan istri tak mampu.” Dirga langsung diam, kalau sang mama sudah ngomong dia bisa apa. “Kita makan dulu saja, aku