Share

bab 4

Penulis: Lindaaaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-09 12:44:23

Di tengah lantai dansa yang berkilau oleh cahaya lampu kristal, seorang wanita menarik perhatian banyak pasang mata. Gaun hitam yang membalut tubuhnya jatuh dengan anggun di setiap lengkung, namun potongannya cukup berani untuk menimbulkan desas-desus di antara para tamu. Gerakan pinggulnya seirama dengan denting musik, tawa lembutnya menggema ketika pasangannya—seorang pria muda berusia akhir dua puluhan—membisikkan sesuatu di telinganya.

Bagi sebagian orang, ia hanya sosok memikat yang baru pertama kali terlihat di pesta ini. Namun bagi Tobias, yang berdiri tak jauh dari sana, sosok itu terlalu akrab untuk diabaikan. Meski penampilannya jauh dari citra lembut dan tenang yang biasa ia kenal, Tobias tak memerlukan waktu lama untuk mengenalinya. Itu istrinya. Amara.

Ia menatapnya cukup lama hingga dadanya terasa sesak oleh rasa yang sulit dijelaskan—antara marah, kecewa, dan entah apa lagi. Semakin lama Amara tertawa menikmati perhatian pria lain, semakin panas darahnya.

“Kau boleh melanjutkannya sendiri,” katanya dingin tanpa menoleh pada Celestine, wanita di sampingnya yang sejak tadi mencoba mengajaknya berbincang. Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkannya berdiri sendirian di tepi lantai dansa.

“Tob—” Celestine belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Tobias telah melangkah cepat menuju arah lain, tatapannya tak lepas dari sosok yang menjadi pusat perhatian.

Ia tak menyadari betapa cepat langkahnya, atau betapa kuat jemarinya terkepal di sisi tubuhnya. Semua itu baru terasa ketika ia sudah berdiri di depan istrinya—dan pria yang baru saja menempel terlalu dekat padanya.

“Apa yang sedang kau lakukan?” suaranya meninggi, nada rendah namun tegas menggema di antara musik. Ia mencengkeram pergelangan tangan Amara, menariknya menjauh dari pria itu tanpa memberi kesempatan untuk menolak.

Keterkejutan jelas tergambar di wajah Amara. Namun begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya, matanya menyala oleh kemarahan yang telah tersimpan lama.

“Lepaskan aku,” katanya tajam, suaranya bergetar menahan amarah. Tobias tidak bergeming. Cengkeramannya justru menguat, hingga Amara meringis.

“Apa ini caramu menikmati hidup sekarang? Menari dengan pria lain di depan semua orang, padahal kau masih menikah denganku? Di mana rasa malumu?” katanya dengan nada penuh tuduhan.

Rasa malu? Sebuah tawa getir nyaris lolos dari bibir Amara. Ironi dari kata-kata itu terlalu tajam untuk tidak ia sadari. Tobias, pria yang telah mengkhianati pernikahan mereka tanpa ragu, kini berani berbicara tentang malu?

Amara menatap Tobias dengan mata berkilat, lalu menarik pergelangan tangannya sekuat tenaga hingga lolos dari genggamannya. “Kau cukup lucu, Tobias. Terakhir kali, kaulah yang meminta perceraian. Dan kalau ingatanku tidak salah, baru beberapa hari lalu kau tidur dengan wanita lain. Suamiku yang terhormat.”

Nada suaranya penuh ejekan yang nyaris lembut. “Jadi tolong, simpan khotbahmu untuk orang yang belum tahu siapa dirimu sebenarnya.” Ia berbalik hendak pergi ketika suara familiar terdengar.

“Toby, kau di sini—” Celestine berhenti mendadak, matanya membulat saat menyadari siapa yang berdiri di depan Tobias. “A-Amara? Apa yang kau lakukan di sini?”

Amara memutar tubuhnya perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang lebih mirip pisau. “Dan apa urusanmu?” suaranya tenang namun mengandung racun.

Celestine terdiam sejenak, mencoba menjaga senyum ramahnya. “Aku hanya—”

“Aku tidak meminta pendapatmu,” potong Amara datar. Ia mengalihkan pandangan kembali pada Tobias, nada suaranya kini dingin seperti es. “Aku sarankan kau tidak mencampuri urusanku. Kita mungkin masih menikah hari ini, tapi dalam beberapa hari—” Ia menjentikkan jarinya pelan. “—semuanya akan berakhir. Jadi fokuslah pada simpananmu, bukan pada orang yang akan kau ceraikan.”

Celestine tersenyum kaku, mencoba menghapus ketegangan. “A-Amara, tolong jangan salah paham. Tobias dan aku tidak—” katanya lembut sambil mendekat ke sisi Tobias, gerakannya nyaris menyentuh lengan pria itu. “Toby, jangan marah padanya. Dia hanya bingung dan emosional.”

Ia melanjutkan dengan nada pura-pura prihatin. “Itu wajar, kan? Begitu kau menceraikannya, dia akan kehilangan semua kemewahan yang dulu ia nikmati di rumah Larsen. Tidak aneh kalau sekarang dia mencari pria lain yang bisa membiayai hidupnya.”

“Membiayai gaya hidupku?” Amara mengulang dengan nada datar, senyum tipis terlukis di bibirnya. “Lucu sekali, Celestine. Aku belum pernah mendengar lelucon sebaik itu.”

Tobias, yang sejak tadi menatapnya dingin, akhirnya bersuara. “Tapi dia tidak sepenuhnya salah, kan?” Nada suaranya serupa bilah tajam yang menusuk udara.

Mata Amara menyipit, menatap suaminya dengan campuran tak percaya dan lelah. “Kau benar-benar kehilangan akal setiap kali dia ada di dekatmu,” katanya lirih. “Urus urusanmu sendiri, kalian berdua… dan pelacur kecilmu.”

Ia berbalik, namun sekali lagi Tobias menahan tangannya. “Kau melakukan semua ini untuk menantangku, ya? Karena aku menolak memberimu uang?” suaranya meninggi, tak lagi mampu menyembunyikan kemarahan. “Baiklah, lima puluh juta pound. Aku akan memberikannya sebagai kompensasi perceraian, asal kau mau meminta maaf padaku dan Celestine. Sekarang juga.”

Kata-katanya begitu sombong hingga udara di antara mereka seakan membeku. Untuk sesaat, Amara hanya menatapnya—pandangan yang membuat Tobias sendiri merasa tidak nyaman. Lalu bibirnya perlahan melengkung, senyum itu dingin dan nyaris menakutkan.

“Begitu ya?” suaranya rendah, tenang, tapi setiap katanya seperti belati. “Kau memang selalu arogan, Tobias. Tapi izinkan aku memecahkan gelembung kesombonganmu itu.”

Ia melangkah maju, berdiri sangat dekat hingga nafasnya terasa di wajah pria itu. Tatapannya menembus, suaranya nyaris berbisik namun jelas terdengar. “Aku sudah mengajukan perceraian, Tobias.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Tobias menatapnya tak percaya, seolah kata-kata itu baru saja meruntuhkan seluruh keyakinannya.

Amara menatapnya tanpa gentar. “Percayalah,” katanya akhirnya, “lima puluh jutamu tidak berarti apa-apa bagiku. Aku tidak akan pernah tunduk pada kesombonganmu… atau pada wanita yang kau sembunyikan di baliknya.”

Ia menarik tangannya perlahan dari genggaman Tobias—kali ini tanpa paksaan, karena pria itu terlalu terkejut untuk bereaksi.

Dengan langkah anggun, Amara berbalik dan berjalan pergi dari lantai dansa, meninggalkan keduanya berdiri di tengah keramaian yang tiba-tiba terasa sunyi.

Di belakangnya, musik kembali mengalun lembut, tapi bagi Tobias, semua suara terasa jauh. Yang tersisa hanyalah bayangan punggung Amara, tegak dan berwibawa, menjauh darinya—dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar menyadari bahwa mungkin… dia sudah kehilangan sesuatu yang tak ternilai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 13

    Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 12

    Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 11

    Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 10

    Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 9

    "Sudah berapa lama?" tanya pria berambut pirang dengan mata cokelat lembut. Suaranya tenang, namun terdengar rasa ingin tahu di dalamnya saat ia menuntun Amara menuju tempat duduk. Setelah menarikkan kursi untuknya, ia menambahkan dengan senyum tipis, "Tiga tahun?" "Empat," jawab Amara singkat sambil duduk, suaranya hampir berbisik, "Terima kasih." Ia menunggu sampai pria itu duduk di depannya sebelum menanyakan, "Bagaimana hidupmu di Italia, Lorenzo?" “Luar biasa, sebenarnya,” ujar Lorenzo dengan nada hangat dan tenang. “Aku tidak akan pulang jika bukan karena Kakek yang memintaku untuk membantumu sedikit, sejak kau sadar kembali.” Amara tersenyum kecil mendengar ucapannya. Lorenzo, kakak laki-lakinya, selalu pandai merangkai kata—sama seperti Kakek mereka. Meski begitu, ia benar-benar senang kakaknya ada di sini bersamanya. “Aku benar-benar senang kau di sini, Lorenzo,” ucapnya tulus, membuat kakaknya tersenyum. Namun senyuman itu segera memudar ketika Lorenzo berkata pelan,

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 8

    “Semua tuduhan dan klaim yang ditujukan kepada saya dalam unggahan terakhir adalah kebohongan serta bentuk pencemaran nama baik. Saya berharap kalian semua, sebagai penggemar setia, dapat mengabaikan tuduhan berbahaya dan tidak profesional itu, serta terus mendukung karier akting saya ke depannya. Terima kasih atas pengertian kalian.” Keesokan paginya, Melanie yang membaca pernyataan itu mencibir keras. Ia muak dengan betapa suci dan polosnya Celestine terdengar, padahal kenyataannya, wanita itu lebih hitam daripada papan tulis. “Omong kosong,” desisnya sambil menutup laptop dengan kesal. Tatapannya beralih pada Amara yang sedang tenggelam membaca berkas-berkas dari kakeknya—materi penting sebelum ia benar-benar mengambil alih perusahaan keluarga. “Bagaimana bisa dia berbohong sepolos itu di depan semua orang? Perempuan itu benar-benar definisi domba hitam. Dan kalau ada yang masih polos di sini, jelas itu kamu, Amara.” Namun Amara terlalu tenggelam dalam pekerjaannya untuk me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status