Wanita di Pusara Suamiku
Pusara SuamikuGerimis sore itu mengiringi langkah kecil Mala menuju gundukan tanah basah di pemakaman umum tak jauh dari rumahku. Tanah lembab yang dia pijak makin membuat langkahnya melambat, seolah bekerja sama dengan semesta agar wanita itu memiliki kekuatan lebih saat mendekati tempat yang dituju.Mala membetulkan kerudung yang menutupi kepalanya. Entahlah, Dia hanya merasa harus memperhatikan penampilannya saat mengunjungi pemilik pusara itu. Penuh sesak dia paksakan tiap tarikan napas saat mendekati tempat pembaringan terakhir laki-laki yang sudah menemani hidupnya selama lima tahun terakhir.Ya…Suaminya menghembuskan napas untuk yang terakhir kali sore kemarin. Tak ada sakit apapun yang dideritanya. Tak ada kalimat perpisahan apapun yang dia sampaikan padanya. Laki-laki itu pergi begitu saja. Lima tahun dia menghabiskan waktu dengannya, tak pernah sekali pun Bayumeninggalkannya. Kini dia harus merasakan untuk pertama kali berpisah bukan untuk sehari atau dua hari, tetapi untuk selamanya.Sekuat apapun dia mengurai sesak, nyatanya tak benar-benar bisa berhasil. Dunianya hancur dalam sekejap, tak ada yang tersisa. Seperti mati tapi nyatanya sakit yang dirasakan tetap membuatnya tersadar bahwa dia masih dipercaya Tuhan untuk tetap berdiri tegak di bumi ini.Kali ini, untuk pertama kalinya Mala mengunjungi nisan suaminya setelah kemarin sore berkali-kali pingsan hingga tak bisa mengantar Bayu ke tempat barunya. Mala masih tak percaya, Bayu yang baru pulang beberapa menit dari tempatnya mencari nafkah tiba-tiba mengeluhkan sesak di dadanya. Mala yang mengira itu hanya efek kelelahan memberikan air putih hangat yang langsung dihabiskannya hingga tandas.Setelahnya, Bayu meminta untuk tetap berada di sampingnya. Dia mengamati wajah coklat di sisinya yang kian kesulitan menarik napas. Mala berteriak memanggil Bude Rumi—tetangganya tepat di depan rumah. Dengan gerakannya yang lemah, Mas Bayu meminta Mala untuk memeluknya.Wanita itu terus saja meminta Bayu untuk bertahan. Sayangnya, laki-laki itu tak merespon kalimatnya. Hingga Bude Rumi datang, dia baru menyadari bahwa laki-laki itu telah pergi untuk selama-lamanya. Dia seperti merasa langit runtuh seketika menimpa tubuhnya. Mala tak menyangka keluhan yang dia kira ringan itu sebagai pertanda laki-laki itu akan pergi selama-lamanya.Tak hanya Mala, anaknya pun harus merasakan ditinggal oleh sang ayah selama-lamanya. Kinanti yang baru berusia tiga tahun nampak lunglai di pelukan Bude Rumi, tetangga yang sudah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri."Ardan?" ucapnya tersentak saat menyadari adik bungsu suaminya tengah berada di makam kakaknya. Tak hanya itu, seorang wanita berkerudung hitam dengan kacamata hitam pula tengah memberikan sebuket bunga di depan nisan Bayu. Wanita itu memalingkan wajah saat Mala menelisik wajahnya. Mala menguras ingatan untuk mengingat siapa wanita ini. Perasaannya mengatakan bahwa dia pernah melihat wanita itu sebelumnya."Mbak? A-aku mengantar Mbak Rita. Di-a… Dia saudara sepupu kami, ingin melihat makam Mas Bayu. Kemarin dia tak sempat mengunjungi rumah duka saat Mas Bayu tidak ada. Jadi dia memintaku mengantarnya langsung ke makam," terang Ardan. Mala merasakan ada yang aneh, sepertinya dia melihat gurat kecemasan di wajah adik iparnya itu. Dia mengalihkan pandangan ke arah perempuan yang masih duduk di depan pusara Bayu. Dari gerakan tangannya, dia mencoba menghapus lelehan air mata di pipinya."Mbak. Yang sabar, ya. Kita semua kehilangan Mas Bayu. Apalagi dia meninggal dengan cara mendadak seperti ini. Mudah-mudahan Mas Bayu diberi jalan yang lapang serta diampuni dosa-dosanya," lanjut Ardan saat Mala masih asyik menelisik perempuan bernama Rita itu.Tak lama, Ardan berpamitan padanya untuk pulang terlebih dahulu. Mala mengangguk perlahan. Rita mengekor di belakang Ardan tanpa mengucap sepatah kata pun padanya. Mala mencoba memahami, barangkali sepupu suaminya itu juga merasa terpukul atas kepergian Bayu.Beberapa saat kemudian dia hanya termenung di depan tanah kubur suaminya. Berkali-kali dia mencoba menyadarkan diri bahwa dirinya tak sedang berada di alam mimpi. Mala tak menyangka saat sarapan pagi kemarin adalah sarapan terakhirnya di dunia.Bayu yang tak pernah meminta menu khusus tiba-tiba menginginkan sarapan semur ayam yang Mala buat sendiri. Mala tak menyangka, pesannya siang hari saat jam makan siang yang mengatakan bahwa Bayu merindukannya adalah pesannya yang terakhir.Beberapa hari sebelumnya saat mereka tengah menikmati suasana malioboro malam hari Bayu merancang perayaan kecil-kecilan ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima. Laki-laki itu ingin menyewa villa di kawasan Baturraden. Mala yang tak punya firasat apapun hanya tersenyum senang saat Bayu membuat rencana tersebut.Dia tak menyangka foto bertiga mereka tengah duduk di warung lesehan kawasan malioboro adalah foto terakhir yang mereka abadikan. Dia tak menyangka, kepergian mereka ke Jogja adalah perjalanan bersama mereka yang terakhir.Bayu, laki-laki penuh kelembutan dan sangat menyanyangi keluarga itu harus pergi selama-lamanya meninggalkan Mala yang harus tegak berdiri demi seorang gadis mungil yang bahkan tak dekat dengan laki-laki lain selain ayahnya.Dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Kinanti yang tiap sore duduk dengan setia di depan pintu rumah menunggu ayahnya yang pasti akan mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, tak peduli meski seharian ini pekerjaannya menuntut energi yang luar biasa dari tubuhnya.Entah bagaimana Mala melanjutkan hidup, sementara separuh nyawanya saja sudah terbaring tak berdaya tersimpan di balik tanah merah di depannya.***TamuMala tengah menyuapi Kinanti tatkala dua orang rekan kerja suaminya berkunjung ke rumah. Anak perempuannya itu beringsut mendekati Mala karena dia tak terbiasa dengan kedatangan orang asing. Dua orang itu seringkali berkunjung ke rumahnya karena mereka cukup dekat dengan mendiang suami Mala. "Mbak. Kami ikut berbelasungkawa atas meninggalnya Mas Bayu. Dua hari yang lalu saat dia pergi kami tengah mengikuti pelatihan aplikasi baru di Yogyakarta," ucap Rani, rekan satu tim suaminya. Bayu—suaminya bekerja di perusahaan ekspor ikan. Beberapa kali mereka bertemu dalam acara yang diadakan oleh kantor tempat suaminya bekerja. Raut kesedihan nampak dari wajah ayu milik Mala. Kulitnya yang putih terlihat memerah menahan tangis. Bagaimanapun dia harus terlihat tegar di depan anak semata wayangnya. "Mas Bayu tidak menampakkan sakit sebelumnya. Berarti memang meninggal mendadak, Mbak?" tanya Iksan yang datang bersama Rani. Mala menatap kedua orang di depannya bergantian. Tak lama setelah i
Perusuh"Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. Wajah Rosa terlihat kesal dengan kenyataan di depannya. Padahal di dalam hatinya dia sudah menebak bahwa kedua tamu tadi membawa uang santunan untuk Mala dan anaknya. "Perasaan tadi aku masuk nggak ada bungkusan itu di depan!" ucapnya sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Dengan santainya dia duduk dengan mengangkat kedua kakinya. Tangannya lincah memainkan ponsel yang bulan lalu dibelikan oleh suami Mala. Tentu saja dengan perdebatan alot karena setahun yang lalu juga dia meminta dibelikan ponsel oleh sang kakak. "Mbak. Mereka nggak ngasih apa gitu?" Pertanyaan tanpa rasa malu itu meluncur dari mulut gadis yang masuk kuliah semester tiga itu. Mala kembali melayangkan tatapan kesalnya pada sang adik ipar. "Memangnya kamu mengharapkan dia bawa apa, Ros? Kok dari tadi keliatannya ngarep banget mereka bawa sesuatu yang bisa kamu manfaatkan?" Pertanyaan menoh
Tahlilan di Rumah MertuaMala mendengar bisik-bisik di belakang saat dia beranjak ke dapur setelah Kinanti terlelap. Meski dia berusaha memejamkan mata, tetap saja tidur siang di kala rumahnya tengah dipadati orang untuk membantunya terasa amat tak elok. Langkahnya terhenti saat Bu Nurul, tetangga rumahnya yang turut serta membantu itu membuka suara. "Kemarin saya lihat juga, Bu Ning. Rasanya nggak wajar juga. Mosok di rumah menantunya saja sibuk-sibuk menyiapkan tahlilan buat sang anak, malah dia sendiri mengadakan acara serupa di rumahnya. Bukannya lebih baik ngadain bareng-bareng di sini. Biar keliatan guyub gitu. Tingkah mertua kaya gitu nggak cuma di sinetron saja, di kehidupan nyata juga ada," ucapnya dengan begitu meyakinkan. Nada suara Bu Nurul terdengar almenahan geram saat menceritakan tingkah absurd ibu mertua Mala. "Yang bikin aneh bin ajaib lagi, ada seorang wanita yang dari kemarin itu di rumahnya. Tiap sore anakku laporan dia selalu ngeliat dia ke makamnya Mas Bayu. K
Ibu Mertua "Kamu ngadu dengan Mas Bambang?" Ibu mertua Mala datang saat dia hampir menidurkan Kinanti. Mala terkesiap mendengar suara wanita itu. Sang anak yang semula hampir terlelap itu kembali terjaga. "Apa masalahnya kalau Ibu mengadakan tahlilan di rumah sendiri? Kamu nggak terima? Bayu itu anakku, rumah itu adalah rumah masa kecilnya. Kenapa kamu merusuh seperti itu? Pake acara mengadukanku pada kakak kandungku! Kau tahu bukan, bagaimana mulut istrinya itu?" Ibu mencengkeram tanganku kasar. Aku berusaha menetralkan debaran jantungku yang berdetak tak karuan. "Ingat, Mala. Aku juga sengaja menggelar acara di rumah karena tiap kali kemari, aku selalu mengingat kebodohanmu yang membiarkan Bayu pergi begitu saja. Seharusnya kau tanggap dan mencari bantuan, bukan duduk menemaninya selayaknya tuan putri! Akibatnya seperti ini, kami semua harus kehilangan Bayu! Entah bagaimana kuliah Rosa setelah ini, padahal dia baru semester tiga. Kau memang menantu payah! Entah dosa apa yang mem
Memperingatkan RosaMala mematut dirinya di depan kaca. Hari ini dia memutuskan untuk pergi mengajar setelah libur beberapa hari. Dia rindu suasana anak didiknya. Sedangkan Kinanti, dia akan bersama Bude Rumi seperti yang sudah-sudah. Wanita itu bagai malaikat penolong. Bahkan dia tak segan mengurus Kinan dengan penuh kasih sayang. "Mala, berangkatlah ke sekolah. Jika ada tamu, biar Bude yang menemui. Hidupmu harus berlanjut, bahkan kau harus berjuang lebih keras lagi. Tak ada Bayu tempatmu bergantung. Kau punya anak yang harus dihidupi. Tak mungkin selamanya kau harus bergantung pada apa yang ditinggalkan mendiang suamimu. Lagi pula Bude tak yakin mertuamu itu tak akan menuntut macam-macam," ucap Bude Rumi saat Mala tengah duduk di meja makan. Wanita itu mengaduk makanannya dan mengangguk pelan. "Bude hapal perangai wanita itu. Kau yang sabar. Jangan pula bersikap lemah. Kita bukan malaikat. Bela dirimu sekuat tenaga saat mereka mengusikmu. Bude tak ingin seperti yang sudah-sudah,
Dikelilingi Orang Baik"Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" Rosa sangat tak terima dengan perkataan wanita tambun itu. Tetapi apadaya, membantah kalimatnya sama sekali bukan ide yang cemerlang. Bisa habis tak bersisa apabila berani mendebat dirinya. Meskipun dia tahu, Bude Rumi tak terikat hubungan darah apapun dengan Mala, tetapi sikap dan perhatiannya melebihi seorang ibu. Dan Mala diam bukan karena dia takut dengan adik suaminya, hanya saja tenaganya belum terlalu pulih untuk berdebat dengan gadis tak sopan itu. Dia juga bosan dengan sikapnya selama ini yang tak pernah menghormatinya dengan layak. Jika selama ini Mala selalu mengalah demi menghargai suaminya, entah kini dia bisa melakukannya lagi atau tidak. "Makan begini saja diceramahi panjang lebar. Males jadinya!" Rosa beranjak dari tempatnya duduk seraya membanting sendoknya hingga menimbulkan buny
Bayi Siapa? 1"Kami turut berduka cita, Bu Mala," ucap lirih Pak Seno, kepala sekolah tempat Mala bertugas. Rekan satu sekolahnya juga ikut mengucapkan duka cita secara bergantian. Mereka tak menyangka Mala yang tergolong masih muda ini akan menjadi seorang janda. Apalagi statusnya yang masih honorer dengan satu orang anak. Mereka cukup khawatir dengan kelangsungan hidup rekannya beserta sang anak ke depan. "Terima kasih, Pak. Doakan saya selalu kuat melewati semua ini." Mala berusaha tersenyum meski hatinya diliputi mendung. Tidak mungkin dia menangis di tempat ini, apalagi keinginannya ke sekolah karena ingin bernapas lebih lega. Karena saat di rumah, dia terus menerus menangis melihat tiap sudut rumahnya penuh dengan kenangan manis bersama sang suami. "Bu Mala pasti kuat, jangan segan-segan bercerita dengan teman di sini Bu. Kita semua keluarga, akan sangat sedih jika salah satu dari kita memendam masalahnya sendiri." Ucapan Pak Seno hanya ditanggapi senyuman oleh Mala. Dia bersy
Bayi Siapa? 2Mala memarkirkan kendaraan di depan halaman ibu mertuanya. Sepulang sekolah dia sengaja mampir ke rumah itu. Meski dia tak yakin dengan sambutan baik yang akan diterimanya, dia tetap memaksakan diri. Toh dia sudah terbiasa dengan sikap ibu mertuanya. Satu plasik penuh buah apel yang dibeli dari kios tak jauh dari sekolahnya diambilnya dari bagasi motor. Matanya langsung disuguhi pemandangan yang sangat ganjil. Jemuran baju di lantai dua rumah mertuanya terlihat cukup jelas dari tempat dia berdiri. Memang lantai dua rumah mertuanya memiliki sedikit space yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Yang menjadi pertanyaan Mala adalah pakaian bayi mendominasi jemuran dari bahan aluminium tersebut. Meski diliputi tanda tanya, Mala tetap berusaha tenang. Langkahnya yakin mendekati pintu rumah mertuanya. Sayup-sayup dari dalam dia mendengar suara tawa beberapa wanita. Dia paham dua di antaranya adalah mertua dan Rosa. Mala mengeraskan suara salamnya. Suaranya kalah dengan s