Tamu
Mala tengah menyuapi Kinanti tatkala dua orang rekan kerja suaminya berkunjung ke rumah. Anak perempuannya itu beringsut mendekati Mala karena dia tak terbiasa dengan kedatangan orang asing. Dua orang itu seringkali berkunjung ke rumahnya karena mereka cukup dekat dengan mendiang suami Mala. "Mbak. Kami ikut berbelasungkawa atas meninggalnya Mas Bayu. Dua hari yang lalu saat dia pergi kami tengah mengikuti pelatihan aplikasi baru di Yogyakarta," ucap Rani, rekan satu tim suaminya. Bayu—suaminya bekerja di perusahaan ekspor ikan. Beberapa kali mereka bertemu dalam acara yang diadakan oleh kantor tempat suaminya bekerja. Raut kesedihan nampak dari wajah ayu milik Mala. Kulitnya yang putih terlihat memerah menahan tangis. Bagaimanapun dia harus terlihat tegar di depan anak semata wayangnya. "Mas Bayu tidak menampakkan sakit sebelumnya. Berarti memang meninggal mendadak, Mbak?" tanya Iksan yang datang bersama Rani. Mala menatap kedua orang di depannya bergantian. Tak lama setelah itu dia mengangguk lemah. Bayangannya tertuju pada kejadian sore beberapa hari lalu. Baru dua hari Bayu pergi dia sudah sangat kehilangan belahan jiwanya itu. "Sabar, Mbak. Mas Bayu orang yang sangat baik. Kami semua kehilangan beliau. Entah bagaimana kondisi kantor tanpa kehadirannya," ucap pelan Rani dengan mata berkaca-kaca. Ya, suami Mala terkenal sebagai lelaki yang sangat baik. Sopan dan juga perhatian dengan rekan kerjanya. Dia juga bukan senior yang sok berkuasa. Justru dia merangkul pada pegawai baru dan tak segan berbagi ilmu dengan mereka. Jika orang lain saja sangat kehilangan suaminya, bagaimana dengannya dan sang putri yang masih belum paham dengan apa yang menimpa mereka? "Mbak. Jangan segan-segan menghubungi kami jika butuh bantuan. Mas Bayu amat berjasa pada kehidupan kami, kini giliran kami yang membalas perbuatan baik mendiang," ucap Rani dengan suara tercekat. Nampak jemari tangannya yang lentik mengusap air mata yang menetes di pipinya. Mala mengangguk pasrah. Bayangan bagaiman kehidupan mereka ke depannya masih terlihat samar. Meskipun dia mempunyai pekerjaan sebagai seorang guru, tentu saja hidup tanpa suami bukanlah hal yang mudah dilakukan. Apalagi statusnya yang masih guru honorer, dia yakin akan menghadapi kesulitan ke depannya. Hanya Kinanti yang membuat jiwanya yang kosong kembali terisi. Gadis mungil itu tak boleh kehilangan jiwa ibunya yang terus-menerus meratapi kepergian sang ayah. "Kami pamit, Mbak. Mudah-mudahan ini bisa sedikit membantu Mbak sekeluarga," ucap Rani sambil menyalami Mala dan menyelipkan amplop putih di tangan wanita itu. Percuma saja menolak, semua orang pasti memiliki pemikiran yang sama. Dia dan putrinya layak dikasihani. Meski sebagian harga dirinya meronta, tetap saja Mala tak bisa berbuat banyak. Hanya ucapan terima kasih dari bibirnya yang kering itu keluar. Kedua rekan kerja Bayu beranjak dari sofa ruang tamu rumah itu. Dikecupnya puncak kepala sang anak berkali-kali. Disanalah biasanya kekuatan kembali Mala dapatkan. Ada energi yang tiba-tiba mengalir dengan hebat saat dia melakukan hal itu. "Mah… papa belum pulang?" tanya gadis kecil yang belum genap berusia tiga tahun itu. Sesak kembali menyeruak dadanya. Ada hantaman yang amat keras saat Kinanti menanyakan hal serupa padanya. Mala tergugu dalam tangisnya. Didekap erat Kinanti yang masih belum menyadari apapun. "Mama, papa bilang mau ke taman kota habis pulang kelja. Kenapa lama?" Kembali Kinanti memukuli dadanya yang sesak. Bibirnya terkunci rapat tak mampu memberi penjelasan pada putrinya. "Mama jangan nangis, Kinan cedih." Mala berusaha tersenyum mendengar kalimat yang dituturkan Kinanti. Meski mulutnya belum mampu berucap, setidaknya dia berusaha menampilkan wajah senyum pada putrinya. Tak lama, sebuah sepeda motor terdengar berhenti di depan rumah Mala. Cepat-cepat Mala menghapus lelehan air matanya. Dia tak ingin terlihat serapuh itu di depan orang lain. Apalagi selama beberapa hari ini tamu yang datang untuk mengucap bela sungkawa datang silih berganti. Tak bisa mengobati rasa kehilangan suaminya, tetapi paling tidak dia tak merasa sendirian. Banyak sekali yang peduli dengan duka dan kehidupannya. Suara langkah kaki yang terayun cepat terdengar. Mala mulai menebak siapa pemilik langkah itu. "Mbak. Tadi teman kantor Mas Bayu kemari?" Rosa, adik iparnya datang tanpa permisi dan langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Mala menatap wajah cantik di depannya. Rosa memang terkenal cantik, tetapi parasnya itu berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini. "Iya. Tadi Rani dan Iksan kemari." Mala berusaha tak ingin mencari tahu apa yang membuat Rosa menanyakan hal itu. Sedikit banyak dia mulai paham apa yang akan dia tanyakan. "Mereka bawa apa, Mbak?" tanyanya tanpa merasa malu sedikit pun. Mala menatap wajah itu lekat-lekat. Ada geram yang berusaha dia tutupi. Ditariknya napas perlahan dan menghembuskannya. "Nggak papa dong aku tahu. Aku kan juga adik kandung Mas Bayu. Aku juga berhak tahu," ucapnya yang mulai merasa jengah dengan tatapan mata kakak iparnya. Baru saja akan membuka mulut, Bude Rumi masuk ke dalam rumah. Tangannya menenteng seplastik jeruk kurang lebih lima kilogram. "Kok bawaan Mbak dan Mas yang tadi kemari nggak langsung dibawa masuk, Mala? Malah dibiarkan di luar," ucap Bude Rumi tanpa menoleh ke arah Mala dan Rosa. Beruntung sikap Bude Rumi yang tiba-tiba itu segera disadari oleh wanita itu. Dia cepat tanggap dengan tingkah tetangganya. "Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. ***Perusuh"Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. Wajah Rosa terlihat kesal dengan kenyataan di depannya. Padahal di dalam hatinya dia sudah menebak bahwa kedua tamu tadi membawa uang santunan untuk Mala dan anaknya. "Perasaan tadi aku masuk nggak ada bungkusan itu di depan!" ucapnya sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Dengan santainya dia duduk dengan mengangkat kedua kakinya. Tangannya lincah memainkan ponsel yang bulan lalu dibelikan oleh suami Mala. Tentu saja dengan perdebatan alot karena setahun yang lalu juga dia meminta dibelikan ponsel oleh sang kakak. "Mbak. Mereka nggak ngasih apa gitu?" Pertanyaan tanpa rasa malu itu meluncur dari mulut gadis yang masuk kuliah semester tiga itu. Mala kembali melayangkan tatapan kesalnya pada sang adik ipar. "Memangnya kamu mengharapkan dia bawa apa, Ros? Kok dari tadi keliatannya ngarep banget mereka bawa sesuatu yang bisa kamu manfaatkan?" Pertanyaan menoh
Tahlilan di Rumah MertuaMala mendengar bisik-bisik di belakang saat dia beranjak ke dapur setelah Kinanti terlelap. Meski dia berusaha memejamkan mata, tetap saja tidur siang di kala rumahnya tengah dipadati orang untuk membantunya terasa amat tak elok. Langkahnya terhenti saat Bu Nurul, tetangga rumahnya yang turut serta membantu itu membuka suara. "Kemarin saya lihat juga, Bu Ning. Rasanya nggak wajar juga. Mosok di rumah menantunya saja sibuk-sibuk menyiapkan tahlilan buat sang anak, malah dia sendiri mengadakan acara serupa di rumahnya. Bukannya lebih baik ngadain bareng-bareng di sini. Biar keliatan guyub gitu. Tingkah mertua kaya gitu nggak cuma di sinetron saja, di kehidupan nyata juga ada," ucapnya dengan begitu meyakinkan. Nada suara Bu Nurul terdengar almenahan geram saat menceritakan tingkah absurd ibu mertua Mala. "Yang bikin aneh bin ajaib lagi, ada seorang wanita yang dari kemarin itu di rumahnya. Tiap sore anakku laporan dia selalu ngeliat dia ke makamnya Mas Bayu. K
Ibu Mertua "Kamu ngadu dengan Mas Bambang?" Ibu mertua Mala datang saat dia hampir menidurkan Kinanti. Mala terkesiap mendengar suara wanita itu. Sang anak yang semula hampir terlelap itu kembali terjaga. "Apa masalahnya kalau Ibu mengadakan tahlilan di rumah sendiri? Kamu nggak terima? Bayu itu anakku, rumah itu adalah rumah masa kecilnya. Kenapa kamu merusuh seperti itu? Pake acara mengadukanku pada kakak kandungku! Kau tahu bukan, bagaimana mulut istrinya itu?" Ibu mencengkeram tanganku kasar. Aku berusaha menetralkan debaran jantungku yang berdetak tak karuan. "Ingat, Mala. Aku juga sengaja menggelar acara di rumah karena tiap kali kemari, aku selalu mengingat kebodohanmu yang membiarkan Bayu pergi begitu saja. Seharusnya kau tanggap dan mencari bantuan, bukan duduk menemaninya selayaknya tuan putri! Akibatnya seperti ini, kami semua harus kehilangan Bayu! Entah bagaimana kuliah Rosa setelah ini, padahal dia baru semester tiga. Kau memang menantu payah! Entah dosa apa yang mem
Memperingatkan RosaMala mematut dirinya di depan kaca. Hari ini dia memutuskan untuk pergi mengajar setelah libur beberapa hari. Dia rindu suasana anak didiknya. Sedangkan Kinanti, dia akan bersama Bude Rumi seperti yang sudah-sudah. Wanita itu bagai malaikat penolong. Bahkan dia tak segan mengurus Kinan dengan penuh kasih sayang. "Mala, berangkatlah ke sekolah. Jika ada tamu, biar Bude yang menemui. Hidupmu harus berlanjut, bahkan kau harus berjuang lebih keras lagi. Tak ada Bayu tempatmu bergantung. Kau punya anak yang harus dihidupi. Tak mungkin selamanya kau harus bergantung pada apa yang ditinggalkan mendiang suamimu. Lagi pula Bude tak yakin mertuamu itu tak akan menuntut macam-macam," ucap Bude Rumi saat Mala tengah duduk di meja makan. Wanita itu mengaduk makanannya dan mengangguk pelan. "Bude hapal perangai wanita itu. Kau yang sabar. Jangan pula bersikap lemah. Kita bukan malaikat. Bela dirimu sekuat tenaga saat mereka mengusikmu. Bude tak ingin seperti yang sudah-sudah,
Dikelilingi Orang Baik"Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" Rosa sangat tak terima dengan perkataan wanita tambun itu. Tetapi apadaya, membantah kalimatnya sama sekali bukan ide yang cemerlang. Bisa habis tak bersisa apabila berani mendebat dirinya. Meskipun dia tahu, Bude Rumi tak terikat hubungan darah apapun dengan Mala, tetapi sikap dan perhatiannya melebihi seorang ibu. Dan Mala diam bukan karena dia takut dengan adik suaminya, hanya saja tenaganya belum terlalu pulih untuk berdebat dengan gadis tak sopan itu. Dia juga bosan dengan sikapnya selama ini yang tak pernah menghormatinya dengan layak. Jika selama ini Mala selalu mengalah demi menghargai suaminya, entah kini dia bisa melakukannya lagi atau tidak. "Makan begini saja diceramahi panjang lebar. Males jadinya!" Rosa beranjak dari tempatnya duduk seraya membanting sendoknya hingga menimbulkan buny
Bayi Siapa? 1"Kami turut berduka cita, Bu Mala," ucap lirih Pak Seno, kepala sekolah tempat Mala bertugas. Rekan satu sekolahnya juga ikut mengucapkan duka cita secara bergantian. Mereka tak menyangka Mala yang tergolong masih muda ini akan menjadi seorang janda. Apalagi statusnya yang masih honorer dengan satu orang anak. Mereka cukup khawatir dengan kelangsungan hidup rekannya beserta sang anak ke depan. "Terima kasih, Pak. Doakan saya selalu kuat melewati semua ini." Mala berusaha tersenyum meski hatinya diliputi mendung. Tidak mungkin dia menangis di tempat ini, apalagi keinginannya ke sekolah karena ingin bernapas lebih lega. Karena saat di rumah, dia terus menerus menangis melihat tiap sudut rumahnya penuh dengan kenangan manis bersama sang suami. "Bu Mala pasti kuat, jangan segan-segan bercerita dengan teman di sini Bu. Kita semua keluarga, akan sangat sedih jika salah satu dari kita memendam masalahnya sendiri." Ucapan Pak Seno hanya ditanggapi senyuman oleh Mala. Dia bersy
Bayi Siapa? 2Mala memarkirkan kendaraan di depan halaman ibu mertuanya. Sepulang sekolah dia sengaja mampir ke rumah itu. Meski dia tak yakin dengan sambutan baik yang akan diterimanya, dia tetap memaksakan diri. Toh dia sudah terbiasa dengan sikap ibu mertuanya. Satu plasik penuh buah apel yang dibeli dari kios tak jauh dari sekolahnya diambilnya dari bagasi motor. Matanya langsung disuguhi pemandangan yang sangat ganjil. Jemuran baju di lantai dua rumah mertuanya terlihat cukup jelas dari tempat dia berdiri. Memang lantai dua rumah mertuanya memiliki sedikit space yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Yang menjadi pertanyaan Mala adalah pakaian bayi mendominasi jemuran dari bahan aluminium tersebut. Meski diliputi tanda tanya, Mala tetap berusaha tenang. Langkahnya yakin mendekati pintu rumah mertuanya. Sayup-sayup dari dalam dia mendengar suara tawa beberapa wanita. Dia paham dua di antaranya adalah mertua dan Rosa. Mala mengeraskan suara salamnya. Suaranya kalah dengan s
Anak itu, Alvaro! 1"Suara anak siapa, Bu?" ulang Mala pada ibu mertuanya. Ada raut kegugupan yang berusaha dia tutupi. Mata Mala membidik arah kamar dimana Rita masuk ke dalam sana. Suara bayi tak terdengar lagi, membuat wanita itu menebak dengan penuh keyakinan bahwa bayi yang menangis tersebut adalah anaknya. Entah kekuatan dari mana, Mala melangkahkan kaki ke arah kamar yang dulu dihuni olehnya dan Bayu. Rasa heran bercampur penasaran mengapa ibu mertuanya tidak menempatkan Rita di kamar tamu yang biasa ditempati saudara yang menginap di rumah itu. "Mau kemana?" tanya ibu mertua Mala dengan suara yang terdengar sedikit panik. Mala membalikkan tubuhnya. Benar, dia mendapati wajah ibu mertuanya yang berusaha menutupi kegugupan. "Menengok bayinya Rita. Tak masalah bukan? Dia juga saudara sepupuku." Tanpa menunggu jawaban dari Bu Rahayu, Mala melanjutkan langkahnya. "Mbak! Jangan lancang. Siapa tahu Rita tak mau privasinya diganggu!" teriak Rosa yang justru membuat Mala makin pena