Share

BAB 2

Tamu

Mala tengah menyuapi Kinanti tatkala dua orang rekan kerja suaminya berkunjung ke rumah. Anak perempuannya itu beringsut mendekati Mala karena dia tak terbiasa dengan kedatangan orang asing. Dua orang itu seringkali berkunjung ke rumahnya karena mereka cukup dekat dengan mendiang suami Mala. 

"Mbak. Kami ikut berbelasungkawa atas meninggalnya Mas Bayu. Dua hari yang lalu saat dia pergi kami tengah mengikuti pelatihan aplikasi baru di Yogyakarta," ucap Rani, rekan satu tim suaminya. Bayu—suaminya bekerja di perusahaan ekspor ikan. Beberapa kali mereka bertemu dalam acara yang diadakan oleh kantor tempat suaminya bekerja. Raut kesedihan nampak dari wajah ayu milik Mala. Kulitnya yang putih terlihat memerah menahan tangis. Bagaimanapun dia harus terlihat tegar di depan anak semata wayangnya. 

"Mas Bayu tidak menampakkan sakit sebelumnya. Berarti memang meninggal mendadak, Mbak?" tanya Iksan yang datang bersama Rani. Mala menatap kedua orang di depannya bergantian. Tak lama setelah itu dia mengangguk lemah. Bayangannya tertuju pada kejadian sore beberapa hari lalu. Baru dua hari  Bayu pergi dia sudah sangat kehilangan belahan jiwanya itu. 

"Sabar, Mbak. Mas Bayu orang yang sangat baik. Kami semua kehilangan beliau. Entah bagaimana kondisi kantor tanpa kehadirannya," ucap pelan Rani dengan mata berkaca-kaca. Ya, suami Mala terkenal sebagai lelaki yang sangat baik. Sopan dan juga perhatian dengan rekan kerjanya. Dia juga bukan senior yang sok berkuasa. Justru dia merangkul pada pegawai baru dan tak segan berbagi ilmu dengan mereka. 

Jika orang lain saja sangat kehilangan suaminya, bagaimana dengannya dan sang putri yang masih belum paham dengan apa yang menimpa mereka? 

"Mbak. Jangan segan-segan menghubungi kami jika butuh bantuan. Mas Bayu amat berjasa pada kehidupan kami, kini giliran kami yang membalas perbuatan baik mendiang," ucap Rani dengan suara tercekat. Nampak jemari tangannya yang lentik mengusap air mata yang menetes di pipinya. 

Mala mengangguk pasrah. Bayangan bagaiman kehidupan mereka ke depannya masih terlihat samar. Meskipun dia mempunyai pekerjaan sebagai seorang guru, tentu saja hidup tanpa suami bukanlah hal yang mudah dilakukan. Apalagi statusnya yang masih guru honorer, dia yakin akan menghadapi kesulitan ke depannya. Hanya Kinanti yang membuat jiwanya yang kosong kembali terisi. Gadis mungil itu tak boleh kehilangan jiwa ibunya yang terus-menerus meratapi kepergian sang ayah. 

"Kami pamit, Mbak. Mudah-mudahan ini bisa sedikit membantu Mbak sekeluarga," ucap Rani sambil menyalami Mala dan menyelipkan amplop putih di tangan wanita itu. 

Percuma saja menolak, semua orang pasti memiliki pemikiran yang sama. Dia dan putrinya layak dikasihani. Meski sebagian harga dirinya meronta, tetap saja Mala tak bisa berbuat banyak. Hanya ucapan terima kasih dari bibirnya yang kering itu keluar. Kedua rekan kerja Bayu beranjak dari sofa ruang tamu rumah itu. 

Dikecupnya puncak kepala sang anak berkali-kali. Disanalah biasanya kekuatan kembali Mala dapatkan. Ada energi yang tiba-tiba mengalir dengan hebat saat dia melakukan hal itu. 

"Mah… papa belum pulang?" tanya gadis kecil yang belum genap berusia tiga tahun itu. Sesak kembali menyeruak dadanya. Ada hantaman yang amat keras saat Kinanti menanyakan hal serupa padanya. Mala tergugu dalam tangisnya. Didekap erat Kinanti yang masih belum menyadari apapun. 

"Mama, papa bilang mau ke taman kota habis pulang kelja. Kenapa lama?" 

Kembali Kinanti memukuli dadanya yang sesak. Bibirnya terkunci rapat tak mampu memberi penjelasan pada putrinya. 

"Mama jangan nangis, Kinan cedih." Mala berusaha tersenyum mendengar kalimat yang dituturkan Kinanti. Meski mulutnya belum mampu berucap, setidaknya dia berusaha menampilkan wajah senyum pada putrinya. 

Tak lama, sebuah sepeda motor terdengar berhenti di depan rumah Mala. Cepat-cepat Mala menghapus lelehan air matanya. Dia tak ingin terlihat serapuh itu di depan orang lain. Apalagi selama beberapa hari ini tamu yang datang untuk mengucap bela sungkawa datang silih berganti. 

Tak bisa mengobati rasa kehilangan suaminya, tetapi paling tidak dia tak merasa sendirian. Banyak sekali yang peduli dengan duka dan kehidupannya. 

Suara langkah kaki yang terayun cepat terdengar. Mala mulai menebak siapa pemilik langkah itu. 

"Mbak. Tadi teman kantor Mas Bayu kemari?" Rosa, adik iparnya datang tanpa permisi dan langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Mala menatap wajah cantik di depannya. Rosa memang terkenal cantik, tetapi parasnya itu berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini. 

"Iya. Tadi Rani dan Iksan kemari." Mala berusaha tak ingin mencari tahu apa yang membuat Rosa menanyakan hal itu. Sedikit banyak dia mulai paham apa yang akan dia tanyakan. 

"Mereka bawa apa, Mbak?" tanyanya tanpa  merasa malu sedikit pun. Mala menatap wajah itu lekat-lekat. Ada geram yang berusaha dia tutupi. Ditariknya napas perlahan dan menghembuskannya. 

"Nggak papa dong aku tahu. Aku kan juga adik kandung Mas Bayu. Aku juga berhak tahu," ucapnya yang mulai merasa jengah dengan tatapan mata kakak iparnya. Baru saja akan membuka mulut, Bude Rumi masuk ke dalam rumah. Tangannya menenteng seplastik jeruk kurang lebih lima kilogram. 

"Kok bawaan Mbak dan Mas yang tadi kemari nggak langsung dibawa masuk, Mala? Malah dibiarkan di luar," ucap Bude Rumi tanpa menoleh ke arah Mala dan Rosa. Beruntung sikap Bude Rumi yang tiba-tiba itu segera disadari oleh wanita itu. Dia cepat tanggap dengan tingkah tetangganya. 

"Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status