Batas Kesabaran [ Mas, aku pulang dulu. Maafkan aku tak berada di sisimu saat tak ada. Maafkan aku tak berada di dekapanmu di saat-saat terakhir hidupmu. Aku bawa Alvaro kita pulang, Alvaro kesayanganmu yang kelak akan membuat kita bangga. Aku mencintaimu, Mas. Selamanya]Mala kembali meremas ponsel di tangannya dengan rasa yang tak dapat diungkapkan. Bayangan wanita dengan wajah lugu yang sempat ditemuinya di rumah mertua itu benar-benar membuat amarahhnya memuncak kembali. Untuk apa dia mengirimi pesan di ponsel Bayu yang jelas-jelas Mala yang akan memegangnya? Akhirnya pandangan Mala diarahkan ke whatsapp suaminya. Dia ingin mengetahui lebih jauh jejak-jejak penghianatan yang diharapkan masih tersimpan disana. Mala yakin Bayu yang dengan begitu ketat melindungi ponselnya dengan pin tanggal pernikahan mereka pasti tetap menyimpan chatnya dengan wanita itu. Laki-laki itu pasti dengan sangat percaya diri bisa menyimpan rapat rahasia busuknya. Begitulah kecurangan, tak akan selama
Jadi inikah alasannya Bayu selalu meminta Mala memakai gaun tidur berwarna merah tiap kali mereka beribadah yang dilakukan oleh pasangan suami istri? Luar biasa jahanam laki-laki itu. Bahkan Bayu mungkin membayangkan Rita saat tengah bergumul dengan Mala di atas tempat tidurnya. Mala merasa sungguh terhina. Harga dirinya terkoyak. Dia sadar betul selama ini tak benar-benar mendapatkan tempat di dalam hati suaminya. Fungsinya tak ubah hanya sebagai pemuas yang mampu mengalihkan kerinduan Bayu pada Rita. [ Sabarlah, sayang. Seperti sabarku padamu bertahun yang lalu. Seandainya perceraianmu lebih dulu dari pernikahanku, tentu akan lain ceritanya. Atau… paling tidak sebelum ada Kinanti. Aku pasti lebih mempertimbangkanmu][ Kau tahu, aku hampir meneriaki namamu saat melihat Mala memakai baju yang kubelikan persis dengan yang kubelikan untukmu]Cukup. Mala tak bisa melanjutkan lagi. Tak perlu lagi mengetahui semua yang laki-laki itu katakan pada wanitanya. Cukup Mala bertingkah bodoh
Kelancangan Rita"Lancang sekali kau, Mala! Aku Ibu mertuamu! Suamimu adalah anakku, anak kandungku! Bisa-bisanya kau memperlakukanku seperti seorang pengemis seperti ini. Yang kuminta adalah uang anakku!" "Mintalah pada jasadnya yang sudah tertanam di dasar tanah! Tak perlu meneriakiku seperti itu! Apapun yang akan kau katakan, aku tak peduli! Urusi kehidupan Ibu, anak, menantu dan cucumu itu tanpa merusuhi hidupku lagi!"Mala membanting sendoknya hingga menimbulkan bunyi cukup keras dari benturan itu. Matanya menatap wajah mertuanya yang nampak pias. Tetapi tak lama, setelah itu Bu Rahayu tersenyum dengan begitu licik. "Jadi kau sudah tahu?" tanyanya dengan seringai yang dia kira mampu meluluhlantakkan pertahanan Mala. Sayangnya rasa sakit yang ditimbulkan akibat penghianatan suaminya sudah membuat wanita itu semakin kuat. Intimidasi dari mertuanya tak banyak menimbulkan pengaruh bagi dirinya. "Syukurlah. Kalau kau sudah tahu, aku tak perlu repot-repot memberitahumu. Jadi begini
Saat Mala memarkirkan motornya sepulang dari sekolah, dia melihat rumahnya agak ramai. Suara tawa terdengar cukup nyaring dari dalam rumah. Bude Rumi yang melihat Mala di depan rumahnya buru-buru menghampiri wanita itu. "Kinan sedang tidur di kamar Bude. Tadi dia sedang tidur di kamar atas, mertuamu datang. Dia marah-marah dan memintaku membawa anakmu ke rumah Bude. Mala, lekaslah kau selesaikan penjualan rumah itu. Meski pun Bude akan merindukan kalian, tetapi melihat kalian diperlakukan seperti ini, Bude tak terima. Maaf tadi Bude tak membelamu. Kinanti akan histeris saat melihat orang saling berteriak di depannya."Penjelasan Bude Rumi membuat Mala merasakan amarahnya kembali menggelegak. Bayangan anaknya yang tengah tertidur lelap di tempat ternyamannya itu diusir membuat tangannya mengepal. Wanita itu tak bisa lagi menorerir perbuatan mertuanya. Tanpa mendengar penjelasan Bude lagi, Mala berjalan cepat ke arah ruang tamu dimana suara riuh layaknya pesta kecil-kecilan itu beras
Mempertahankan Hak "Apakah keahlianmu memang hanya sebatas maling barang milik wanita lain?"Wanita yang mengurai rambut panjangnya itu semakin tersudut dengan pertanyaan Mala. Tubuhnya beringsut mundur dari meja rias yang dari tadi menjadi perhatiannya. Kotak kecil berisi pernak-pernik milik Mala beserta isinya nampak berserak di atas karpet bulu yang digunakan sebagai alas meja rias di kamarnya. Rita berjongkok di depan benda-benda kecil di depannya dengan wajah yang tertunduk malu. Kalung milik Mala yang diberikan oleh Bayu sebagai hadiah ulang tahunnya pun belum sempat dilepaskan oleh Rita dari leher jenjangnya. "Ma-af, saya tak sengaja." "Memasuki kamar pribadi orang lain kau bilang tak sengaja? Memasuki rumah tangga orang lain pun kau anggap tak sengaja?" tanya Mala dengan tatapan mengintimidasi. Matanya tak lepas sedikit pun dari sosok wanita di depannya. Rita memiliki kecantikan yang unik, tak ada kulit putih bak porselen yang dimiliki olehnya. Hanya sepasang mata bulat de
"Apa perlu kuulangi perkataanku yang kemarin? Kau pulanglah ke daerah asalmu. Tinggalkan semua yang anakku pernah berikan. Anak lelaki Bayu yang lebih berhak berada di sini. Lagi pula, apakah kau tak tahu malu? Bayu lebih memilih Rita di detik-detik akhir hidupnya. Jangan berkeras hati terhadap sesuatu yang bukan hakmu!" Kembali wanita itu berteriak. "Istri siri dan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan bawah tangan tak berhak mendapatkan apapun dari harta suamiku, Bu. Apakah kau lupa, Mas Bayu membangun rumah ini setelah pernikahan kami berlangsung. Itu artinya aku pun turut andil di sini. Kau mau berteriak lagi untuk memanggil orang-orang dan berdrama seperti kemarin? Yakin mereka akan membelamu?Entah bagaimana kisah wanita ini dengan suamiku di masa lalu. Nyatanya akulah istri sah yang berada di sisi suamiku saat pembangunan rumah ini dilakukan. Artinya aku dan anakku yang berhak. Siapa dia masuk ke dalam istana yang darah dan cucuran keringatkulah yang digunakan untuk memb
Menepi Mala menata baju-baju yang sudah mulai dipindahkan ke rumah yang akan ditinggalinya berdua dengan Kinanti. Meski nanti dia tak bisa menitipkan anak semata wayangnya pada Bude Rumi, tetapi dia merasa semuanya akan lebih baik daripada hidup di sekitar mertuanya. Dia yakin akan mendapatkan kenyamanan saat berada di rumah ini. Mala sudah mencari day care yang cocok untuk Kinanti nantinya. Dia akan menjemput anak itu sepulang dari tempatnya mengajar. Mala hanya memilih beberapa barang yang memang memungkinkan dia bawa dan letakkan di salah satu sudut di rumah ini. Ukurannya yang lebih kecil membuatnya harus merelakan sebagian besar tak bisa tersangkut kesana. Lagi pula dia tak ingin terlalu terikat dengan pernak-pernik yang membawanya pada ingatan buruk mengenai suaminya. Sebuah foto dengan bingkai warna putih polos dipasang di kamar tidurnya. Hanya foto Kinanti sendirian sedang merayakan ulang tahunnya kedua yang dia bawa dari rumah itu. Selebihnya tak ada. Bahkan dia sudah m
"Kamu sudah yakin melepaskan rumah itu?" tanya Karina saat Mala menemuinya di butik milik wanita itu. Semenjak menikah Karina memang diminta untuk resign dari pekerjaannya. Beruntung niatnya membuka butik sendiri agar memiliki waktu yang lebih fleksibel disetujui oleh suami dan keluarganya. Mala mengangguk. Ditatapnya gaun-gaun pesta yang dijejer rapi di ruangan berukuran delapan kali tujuh meter di lantai dua ruko milik Karina. Terdengar suara embusan napas dari wanita di depannya. "Aku mendukungmu. Lekas pergi, setidaknya kamu bisa melepas sedikit bebanmu saat mengingat rumah itu." Karina menyesap kopinya perlahan. Aroma kopi menguar di ruangan itu. "Kapan kamu meninggalkan rumahmu?" tanya Karina. "Lusa. Rencana hari ini ke rumah di Golden, aku harus memastikan barang-barang apa yang akan kubawa dan kutinggal nantinya.""Yang jelas kenanganmu dengan Bayu harus kau tinggal seiring kepergianmu dari sana. Ingat Mala. Kau sangat berhak hidup lebih baik bersama Kinanti. Berjanjilah u