Memperingatkan Rosa
Mala mematut dirinya di depan kaca. Hari ini dia memutuskan untuk pergi mengajar setelah libur beberapa hari. Dia rindu suasana anak didiknya. Sedangkan Kinanti, dia akan bersama Bude Rumi seperti yang sudah-sudah. Wanita itu bagai malaikat penolong. Bahkan dia tak segan mengurus Kinan dengan penuh kasih sayang. "Mala, berangkatlah ke sekolah. Jika ada tamu, biar Bude yang menemui. Hidupmu harus berlanjut, bahkan kau harus berjuang lebih keras lagi. Tak ada Bayu tempatmu bergantung. Kau punya anak yang harus dihidupi. Tak mungkin selamanya kau harus bergantung pada apa yang ditinggalkan mendiang suamimu. Lagi pula Bude tak yakin mertuamu itu tak akan menuntut macam-macam," ucap Bude Rumi saat Mala tengah duduk di meja makan. Wanita itu mengaduk makanannya dan mengangguk pelan. "Bude hapal perangai wanita itu. Kau yang sabar. Jangan pula bersikap lemah. Kita bukan malaikat. Bela dirimu sekuat tenaga saat mereka mengusikmu. Bude tak ingin seperti yang sudah-sudah, kau lemah menghadapi mertuamu. Kini tak ada Bayu yang menjadi pembelamu, sudah saatnya kau membela dirimu sekuat mungkin." Bude Rumi memakaikan baju pada tubuh Kinanti setelah dimandikan. Bau minyak telon khas anak-anak menguar. Kinanti menutup hidungnya karena tak suka dengan aroma yang dikeluarkan. "Mala, ada yang mau Bude katakan juga. Bude hanya tak mau kau mendengarnya dari orang lain sementara Bude mengetahui informasi itu. Maaf jika membuatmu nanti kepikiran. Tapi lebih baik kau selidiki sendiri," ucap Bude Rumi dengan suara terdengar ragu. Mala menyudahi makannya. Dia menatap Bude Rumi dengan penuh pertanyaan. "Maksud Bude?" Wanita itu menarik napasnya perlahan. Dia menatap Mala dengan pandangan ragu sekaligus kasihan. Apa yang dilihat dan didengarnya benar-benar harus disampaikan pada Mala. "Bude dengar ada seorang wanita di rumah mertuamu. Bahkan dia tiap sore ke makam suamimu. Bu Rahayu bahkan mengenalkan dia pada tamu yang datang sebagai menantunya. Padahal satu-satunya menantu yang dimilikinya hanya kamu. Bude khawatir… ." Mala menatap wajah Bude Rumi dengan seksama. Ingatannya tertuju pada sosok wanita yang bertemu dengannya di makam sang suami. Tak ada percakapan apapun, hanya saja memang Mala menangkap raut duka yang tak biasa. Saat itu Mala tak ingin berpikir jauh. Lagipula Ardan—adik iparnya memperkenalkannya sebagai sepupu mereka. Apakah wanita yang dimaksud Bude adalah orang yang sama? Mala mengingat nama wanita itu sebagai Rita. Memang dia sempat curiga dengan ekspresi Ardan yang terlihat begitu gugup. Hanya saja sekali lagi dia yang sedang sangat berduka itu tak mampu berpikir macam-macam. "Bude tahu Bayu adalah lelaki yang sangat baik. Dia tak akan menghianatimu, hanya saja apa yang dikatakan mertuamu pada orang-orang justru menyulut berbagai pertanyaan untuk semua. Apalagi anak-anak Bu Rahayu hanya Bayu yang sudah menikah. Apa tujuannya dia memperkenalkan pada semua orang bahwa dia adalah menantunya? ""Maksud Bude, Rita adalah istri Mas Bayu?" Bude Rumi terkesiap dengan pertanyaan Mala. "Jadi… kamu mengenal wanita itu?" Mala menggeleng lemah. "Kami sempat bertemu di makam Mas Bayu. Dia diantar Ardan yang mengenalkan Rita sebagai sepupu mereka." Jawaban Mala membuat Bude Rumi menatapnya miris. Insting seorang ibu berkata lain. Meski Mala bukan anaknya, tetapi dia merasa janggal dengan penjelasan Mala yang juga terdengar ragu dengan ucapannya. "Baiklah. Semoga tak ada masalah apapun ke depannya. Kamu yang sabar, Mala. Yakin kalau kamu tak sendiri, ada Bude bersamamu. Jangan ragu menceritakan apapun yang membuat hatimu tak tenang. Anggap Bude pengganti ibumu yang berada jauh." Ucapan Bude Rumi menimbulkan gerimis di hati Mala. Tak ada kalimat apapun yang mampu dia ucapkan pada wanita yang sungguh memiliki hati mulia. Bahkan karena keberadaannya itu dia mampu melupakan sedikit kesedihan karena sikap ibu mertua padanya. "Mbak. Sudah mau ngajar?" Suara Rosa tiba-tiba terdengar di ruang makan. Tanpa permisi sedikit pun dia membuka tudung saji. Matanya berbinar seketika melihat makanan yang sudah disiapkan Mala. Segera dia meraih piring dan menyendokkan nasi ke piringnya. Setelah itu tumis kangkung dan ayam goreng diletakkan berjejer di atas nasinya. "Mending buka rumah makan, Mbak. Daripada ngehonor nggak ada gajinya. Mana cukup hidup dari gaji guru honorer yang nggak seberapa. Untungnya selama ini ada Mas Bayu yang menanggung seluruh hidup Mbak Mala dan anakmu itu," ucap Rosa tanpa tekanan sedikit pun. Mulutnya sama persis dengan sang ibu, pedas dan tajam. Dia tak berpikir bahwa orang lain akan tersinggung dengan perkataannya. "Mala juga kerja loh, Ros. Jangan asal mangap kalau ngomong. Kewajiban mencari nafkah itu terletak pada seorang suami. Jika istri berbesar hati ikut kerja meringankan beban suami harusnya sebagai seorang wanita kita turut bangga. Paling tidak Mala tak akan terlalu bingung menghidupi anaknya karena memiliki pekerjaan. Dia tak akan mengandalkan orang lain untuk menghidupi anaknya. Bukankah banyak di luar sana yang menggantungkan hidup meski ke anak sepeninggal suaminya? Bahkan hingga anaknya itu menikah. Untungnya si istri tak bermasalah suaminya masih menjatah keluarganya,bahkan lebih besar dari yang dia terima. Meski kenyataannya istri yang manut itu tetap saja penuh cacat di mata keluarga suaminya!" Rosa meletakkan sendoknya dengan kasar. Tatapannya nyalang menatap mata Bude Rumi. Tentu saja dia tersindir dengan ucapan wanita itu. Orang yang dibicarakan oleh Bude Rumi tak lain adalah ibunya sendiri. Selama ini ibunya bergantung dengan jatah yang diberikan Bayu—kakaknya.Bahkan seluruh kebutuhan hidup mereka ditanggung oleh Bayu. Beruntung Mala menerima hal itu. Dia tak mempermasalahkannya sama sekali. Tetapi rasa tak suka tetap saja memenuhi hati mereka. Bu Rahayu dan Rosa masih saja bersikap seolah Mala telah mengambil Bayu dari mereka. Hanya Ardan—si bungsu yang masih bersikap lunak. Sifatnya lembut meski sedikit pendiam. "Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" ***Dikelilingi Orang Baik"Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" Rosa sangat tak terima dengan perkataan wanita tambun itu. Tetapi apadaya, membantah kalimatnya sama sekali bukan ide yang cemerlang. Bisa habis tak bersisa apabila berani mendebat dirinya. Meskipun dia tahu, Bude Rumi tak terikat hubungan darah apapun dengan Mala, tetapi sikap dan perhatiannya melebihi seorang ibu. Dan Mala diam bukan karena dia takut dengan adik suaminya, hanya saja tenaganya belum terlalu pulih untuk berdebat dengan gadis tak sopan itu. Dia juga bosan dengan sikapnya selama ini yang tak pernah menghormatinya dengan layak. Jika selama ini Mala selalu mengalah demi menghargai suaminya, entah kini dia bisa melakukannya lagi atau tidak. "Makan begini saja diceramahi panjang lebar. Males jadinya!" Rosa beranjak dari tempatnya duduk seraya membanting sendoknya hingga menimbulkan buny
Bayi Siapa? 1"Kami turut berduka cita, Bu Mala," ucap lirih Pak Seno, kepala sekolah tempat Mala bertugas. Rekan satu sekolahnya juga ikut mengucapkan duka cita secara bergantian. Mereka tak menyangka Mala yang tergolong masih muda ini akan menjadi seorang janda. Apalagi statusnya yang masih honorer dengan satu orang anak. Mereka cukup khawatir dengan kelangsungan hidup rekannya beserta sang anak ke depan. "Terima kasih, Pak. Doakan saya selalu kuat melewati semua ini." Mala berusaha tersenyum meski hatinya diliputi mendung. Tidak mungkin dia menangis di tempat ini, apalagi keinginannya ke sekolah karena ingin bernapas lebih lega. Karena saat di rumah, dia terus menerus menangis melihat tiap sudut rumahnya penuh dengan kenangan manis bersama sang suami. "Bu Mala pasti kuat, jangan segan-segan bercerita dengan teman di sini Bu. Kita semua keluarga, akan sangat sedih jika salah satu dari kita memendam masalahnya sendiri." Ucapan Pak Seno hanya ditanggapi senyuman oleh Mala. Dia bersy
Bayi Siapa? 2Mala memarkirkan kendaraan di depan halaman ibu mertuanya. Sepulang sekolah dia sengaja mampir ke rumah itu. Meski dia tak yakin dengan sambutan baik yang akan diterimanya, dia tetap memaksakan diri. Toh dia sudah terbiasa dengan sikap ibu mertuanya. Satu plasik penuh buah apel yang dibeli dari kios tak jauh dari sekolahnya diambilnya dari bagasi motor. Matanya langsung disuguhi pemandangan yang sangat ganjil. Jemuran baju di lantai dua rumah mertuanya terlihat cukup jelas dari tempat dia berdiri. Memang lantai dua rumah mertuanya memiliki sedikit space yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Yang menjadi pertanyaan Mala adalah pakaian bayi mendominasi jemuran dari bahan aluminium tersebut. Meski diliputi tanda tanya, Mala tetap berusaha tenang. Langkahnya yakin mendekati pintu rumah mertuanya. Sayup-sayup dari dalam dia mendengar suara tawa beberapa wanita. Dia paham dua di antaranya adalah mertua dan Rosa. Mala mengeraskan suara salamnya. Suaranya kalah dengan s
Anak itu, Alvaro! 1"Suara anak siapa, Bu?" ulang Mala pada ibu mertuanya. Ada raut kegugupan yang berusaha dia tutupi. Mata Mala membidik arah kamar dimana Rita masuk ke dalam sana. Suara bayi tak terdengar lagi, membuat wanita itu menebak dengan penuh keyakinan bahwa bayi yang menangis tersebut adalah anaknya. Entah kekuatan dari mana, Mala melangkahkan kaki ke arah kamar yang dulu dihuni olehnya dan Bayu. Rasa heran bercampur penasaran mengapa ibu mertuanya tidak menempatkan Rita di kamar tamu yang biasa ditempati saudara yang menginap di rumah itu. "Mau kemana?" tanya ibu mertua Mala dengan suara yang terdengar sedikit panik. Mala membalikkan tubuhnya. Benar, dia mendapati wajah ibu mertuanya yang berusaha menutupi kegugupan. "Menengok bayinya Rita. Tak masalah bukan? Dia juga saudara sepupuku." Tanpa menunggu jawaban dari Bu Rahayu, Mala melanjutkan langkahnya. "Mbak! Jangan lancang. Siapa tahu Rita tak mau privasinya diganggu!" teriak Rosa yang justru membuat Mala makin pena
Bayi itu Alvaro ! "Mbak Rita kenapa? Kok kayanya kaget dengan pertanyaanku? Ayahnya kerja?" "Kamu kok nggak sopan tanya seperti itu? Memangnya perlu banget kamu tahu? Memang wanita yang nggak pernah dididik ibunya ya seperti ini! Nggak punya etika!" hardik Bu Rahayu pada menantunya. Mala makin menyadari sesuatu. Dia bukan wanita bodoh, dia amat menyadari ada sesuatu yang memang ditutupi oleh ketiga wanita di depannya. "Bu, kenapa reaksimu berlebihan seperti ini? Ada masalah dengan pertanyaanku? Kenapa harus teriak?" Kali ini Mala tak tinggal diam seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang harus dijaga perasaannya. Rasa lelah juga dirasakannya karena bakti yang tanpa batas pada wanita bergelar ibu mertuanya itu tak pernah menganggapnya selayaknya seorang menantu. Entah dimana letak kesalahan Mala. Berkali-kali dia meminta penjelasan pada Bayu, tetapi hanya kalimat yang bernada memohon kesabaran pada Mala atas sikap mertuanya. Dengan penuh kelembutan Bayu selalu berhasil meredam emosi y
Kecamuk"Kalau Kinan punya adik laki-laki, kita beri nama Alvaro," ucap Bayu pada istrinya. Mala yang tengah melihat tayangan youtube mengenai tutorial memasak kari menoleh ke arah laki-laki itu. Senyumnya terbit setelah sang suami menatapnya dengan wajah jenaka. "Kamu sudah siap punya anak lagi, 'kan?" tanya Bayu, "aku ingin anak laki-laki. Biar nonton bola ada yang menemani." Mala tertawa sejenak. Ada yang menggelitik hatinya saat mendengar alasan yang dikemukakan oleh suaminya. "Yang benar saja, Mas. Masa pengin anak laki-laki cuma buat teman nonton bola. Kalau perkara nonton bola, bukannya selama ini Kinanti pun sering menemanim? Bahkan teriakannya melebihi suporter di lapangan," jawab Mala. "Nggaklah. Pokoknya pengin anak laki-laki.""Kalau ternyata nanti aku hamil, terus anaknya perempuan gimana?" "Ya bikin lagi!" jawab Bayu dengan mimik serius hingga membuat Mala melemparkan bantal guling ke arah suaminya sebagai wujud protes. "Satu saja aku sering keteter, Mas. Untung ad
Tidak mungkin laki-laki yang telah membersamainya selama lima tahun itu telah menghianati janji suci pernikahan mereka. Apalagi mengingat segala macam perjuangan yang sudah mereka lakukan untuk memenangkan hati Bu Rahayu. Meski kenyatannya hati wanita itu terlampau kuat sekokoh karang hingga tak bisa diruntuhkan oleh segala jenis kebaikan yang Mala tawarkan padanya. Entah akad seperti apa yang membuat Bu Rahayu akhirnya luluh dan menerima pernikahan mereka yang digelar di rumahnya. Nyatanya dia berada di tengah-tengah pernikahan Bayu dan Mala, meski dengan wajah yang tak bisa berbohong. Bahkan dia menolak untuk mengambil foto bersama saat resepsi berlangsung. Wanita itu beralasan mendadak pusing dan ingin merebahkan diri di kasurnya. Mala bukan tidak tahu dengan alasan yang dibuat-buat oleh mertuanya. Hanya saja melihat bagaimana perjuangan Bayu memperoleh restu membuatnya cukup tahu diri untuk tidak banyak bertanya dan menerka apa yang terjadi dengan ibu mertuanya. Meski tak dipung
Fakta TerungkapMala turun dari motor maticnya setelah menemukan tempat parkir yang pas untuk kendaraannya. Kali ini dia tak jadi membawa Kinanti, karena Bude Rumi melarangnya untuk mengajak serta anak semata wayangnya. "Datang saja sendiri, tak perlu bawa Kinanti. Kalau Mbak Karin minta ketemuan di kafe artinya memang urgent sekali. Kalau hal biasa tentu lebih baik main kesini langsung. Iya 'kan? Biar Kinan sama Bude, kasian juga mau pulang jam berapa? Ini saja sudah sore," ucap Bude Rumi saat Mala menceritakan rencananya. Mala menatap Kinanti yang tengah bermain lego ditemani Mbah Ruminya di ruang tengah. Kalimat yang Bude Rumi ucapkan memang ada benarnya. Terlalu beresiko membawa anak perempuannya itu keluar. Tentu saja angin malam tak terlalu bagus untuk anak seusia Kinanti. "Bude…Apakah semuanya akan baik-baik saja?" tanya Mala dengan suara lirih. Hatinya sedikit goyah apakah akan tetap pergi dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh Karina, atau memang lebih baik tak tahu ap