Share

BAB 5

Ibu Mertua 

"Kamu ngadu dengan Mas Bambang?" Ibu mertua Mala datang saat dia hampir menidurkan Kinanti. Mala terkesiap mendengar suara wanita itu. Sang anak yang semula hampir terlelap itu kembali terjaga. 

"Apa masalahnya kalau Ibu mengadakan tahlilan di rumah sendiri? Kamu nggak terima? Bayu itu anakku, rumah itu adalah rumah masa kecilnya. Kenapa kamu merusuh seperti itu? Pake acara mengadukanku pada kakak kandungku! Kau tahu bukan, bagaimana mulut istrinya itu?" Ibu mencengkeram tanganku kasar. Aku berusaha menetralkan debaran jantungku yang berdetak tak karuan. 

"Ingat, Mala. Aku juga sengaja menggelar acara di rumah karena tiap kali kemari, aku selalu mengingat kebodohanmu yang membiarkan Bayu pergi begitu saja. Seharusnya kau tanggap dan mencari bantuan, bukan duduk menemaninya selayaknya tuan putri! 

Akibatnya seperti ini, kami semua harus kehilangan Bayu! Entah bagaimana kuliah Rosa setelah ini, padahal dia baru semester tiga. Kau memang menantu payah! Entah dosa apa yang membuatku memiliki menantu sepertimu!" teriak Ibu tanpa mempedulikan cucunya yang mulai beringsut ketakutan dan bersembunyi di balik ibunya. 

Dia hanya peduli dengan kehidupannya dan Rosa mengenai hidup mereka ke depan. Mengenai hidup Mala dan anaknya ke depannya tak menjadi persoalan mereka. Mala sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti ini dari sang mertua. Hanya saja menyalahkannya akibat kepergian Bayu yang seolah menjadi kebodohannya benar-benar menyakitkan bagi wanita itu. 

Mala menghembuskan napas kasar. Ada keinginan untuk melawan perkataan sang mertua, hanya saja keberadaan Kinanti di sisinya dikhawatirkan akan mempengaruhi psikologis anak tiga tahun itu. 

"Mala, kau tahu. Mas Bambang dan istrinya itu mampir ke rumah setelah mereka dari sini. Kau tahu, mereka menyalahkanku di depan banyak orang. Kau pasti senang bukan aku mendapat perlakuan seperti itu? Wajahmu yang sok lugu tak bisa disembunyikan lagi, kau benar-benar licik! 

Seperti kau yang mengambil putraku. Kau meminta pisah rumah saat berhasil dinikahi putraku! Apa maksudmu jika bukan untuk menjauhkannya dari kami?" Bu Rahayu masih saja mengungkit-ungkit kejadian dua tahun yang lalu. 

Memang keinginan Mala untuk pisah rumah saat Kinanti berusia satu tahun tak dapat lagi dicegah. Beruntung Bayu cepat menanggapi kesusahan istrinya. Dia tanggap dengan perubahan emosi sang istri saat tinggal bersama ibunya.

 Dia tak ingin Mala terus menerus tertekan hingga memutuskan untuk pindah rumah. Meksi tak jauh dari rumah sang ibu, paling tidak Mala memiliki kebebasan untuk memerankan peran istri sepenuhnya. 

Dia tak perlu minta izin saat ingin mengatur posisi perabot rumah. Dia tak perlu ketakutan saat bangun kesiangan karena semalaman penuh tak bisa tidur karena Kinanti yang demam. Dia tak perlu merasa khawatir saat membeli barang baru. Meski pada akhirnya sang mertua dan adik ipar kerap menyambanginya dan meninggalkan perilaku yang tidak mengenakan. 

Ada saja yang mereka komentari. Dari mulai pakaian kekinian yang dikenakannya, perabot baru yang kian hari memenuhi sudut rumah mereka, bahkan makanan yang dia masak pun tak kalah dikomentari. Dari perkataan boros hingga yang paling kasar adalah memoroti anaknya, numpang hidup dan lain-lain. Padahal semua itu juga tak luput dari peran serta dirinya yang juga bekerja meski tak bergaji besar seperti suaminya. 

"Kau tahu dari awal aku tak pernah menyukaimu. Jika bukan Bayu yang memohon-mohon untuk menikahimu, aku tak akan pernah sudi memiliki menantu sepertimu. Hanya seorang guru bergaji kecil saja kau banyak tingkah! Beruntung Bayu bisa menikahimu yang bukan siapa-siapa.

 Setelah kepergian Bayu, jangan harap hidupmu akan tenang! Rumah ini berikut harta Bayu yang lain harus dibagi rata! Kau tak berhak menyembunyikan sepeser pun dari kami. Apalagi menginginkan untuk menguasai keseluruhan. Setelah acara tujuh hari kematian Bayu, aku akan kemari lagi! Pastikan semuanya sudah tertulis jelas apa saja yang kalian punya! Jangan berusaha berbuat curang. Aku tak akan pernah diam! Dan juga ada wanita lain yang harus mendapat bagian sama sepertimu!" 

Kalimat yang ibu mertua Mala lontarkan membuat luka cukup menganga dalam hatinya. Tak disangka dia akan tetap menghadapi ibu mertuanya setelah kepergian Bayu. Tadinya dia berharap wanita itu melunak, tetapi nyatanya semua itu hanya angan-angan. 

Dan kalimat ibu terakhir membuatnya sangat terusik. 

Wanita lain? 

Apakah yang dimaksud itu ibu sendiri? 

"Bu, apa tidak keterlaluan membicarakan harta peninggalan Mas Bayu saat tanah kuburnya saja masih merah. Rasanya tak elok, Bu." Mala mencoba berdiplomasi dengan Bu Rahayu yang tak peduli dengan waktu itu. Jam yang sudah menunjuk pukul setengah sebelas malam tak menyurutkan niat wanita itu untuk mengeluarkan energinya memarahi sang menantu. 

"Justru itu lebih baik, daripada menunda-nunda waktu. Aku bisa baca jalan pikiranmu, Mala. Kau pasti berniat untuk menyembunyikannya. Sayangnya kami tak bodoh! Aku dan Rosa sudah menyelidiki dan menghitung apa saja yang Bayu miliki. Jangan sekalipun berniat curang atau kau akan kupermalukan!" 

Ibu mertua Mala menudingkan telunjuknya dengan kasar tepat ke wajahnya. Matanya menatap Mala dengan tatapan menghujam dan mematikan. Tak ada kelembutan sedikit pun yang biasanya dipancarkan mertua pada menantu. 

"Bu, saya tak serakah seperti yang Ibu tuduhkan. Ibu tak perlu khawatir, aku tak akan berbuat curang. Tetapi Ibu juga jangan terlalu percaya diri. Karena melihat sikap ibu ini aku justru makin tertantang untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku!" Mala berusaha memberikan perlawanan pada Bu Rahayu. Sekuat apapun menghormati wanita itu, sepertinya hanya percuma. Ibu mertuanya tak layak mendapatkan kehormatan apapun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status