Ibu Mertua
"Kamu ngadu dengan Mas Bambang?" Ibu mertua Mala datang saat dia hampir menidurkan Kinanti. Mala terkesiap mendengar suara wanita itu. Sang anak yang semula hampir terlelap itu kembali terjaga. "Apa masalahnya kalau Ibu mengadakan tahlilan di rumah sendiri? Kamu nggak terima? Bayu itu anakku, rumah itu adalah rumah masa kecilnya. Kenapa kamu merusuh seperti itu? Pake acara mengadukanku pada kakak kandungku! Kau tahu bukan, bagaimana mulut istrinya itu?" Ibu mencengkeram tanganku kasar. Aku berusaha menetralkan debaran jantungku yang berdetak tak karuan. "Ingat, Mala. Aku juga sengaja menggelar acara di rumah karena tiap kali kemari, aku selalu mengingat kebodohanmu yang membiarkan Bayu pergi begitu saja. Seharusnya kau tanggap dan mencari bantuan, bukan duduk menemaninya selayaknya tuan putri! Akibatnya seperti ini, kami semua harus kehilangan Bayu! Entah bagaimana kuliah Rosa setelah ini, padahal dia baru semester tiga. Kau memang menantu payah! Entah dosa apa yang membuatku memiliki menantu sepertimu!" teriak Ibu tanpa mempedulikan cucunya yang mulai beringsut ketakutan dan bersembunyi di balik ibunya. Dia hanya peduli dengan kehidupannya dan Rosa mengenai hidup mereka ke depan. Mengenai hidup Mala dan anaknya ke depannya tak menjadi persoalan mereka. Mala sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti ini dari sang mertua. Hanya saja menyalahkannya akibat kepergian Bayu yang seolah menjadi kebodohannya benar-benar menyakitkan bagi wanita itu. Mala menghembuskan napas kasar. Ada keinginan untuk melawan perkataan sang mertua, hanya saja keberadaan Kinanti di sisinya dikhawatirkan akan mempengaruhi psikologis anak tiga tahun itu. "Mala, kau tahu. Mas Bambang dan istrinya itu mampir ke rumah setelah mereka dari sini. Kau tahu, mereka menyalahkanku di depan banyak orang. Kau pasti senang bukan aku mendapat perlakuan seperti itu? Wajahmu yang sok lugu tak bisa disembunyikan lagi, kau benar-benar licik! Seperti kau yang mengambil putraku. Kau meminta pisah rumah saat berhasil dinikahi putraku! Apa maksudmu jika bukan untuk menjauhkannya dari kami?" Bu Rahayu masih saja mengungkit-ungkit kejadian dua tahun yang lalu. Memang keinginan Mala untuk pisah rumah saat Kinanti berusia satu tahun tak dapat lagi dicegah. Beruntung Bayu cepat menanggapi kesusahan istrinya. Dia tanggap dengan perubahan emosi sang istri saat tinggal bersama ibunya. Dia tak ingin Mala terus menerus tertekan hingga memutuskan untuk pindah rumah. Meksi tak jauh dari rumah sang ibu, paling tidak Mala memiliki kebebasan untuk memerankan peran istri sepenuhnya. Dia tak perlu minta izin saat ingin mengatur posisi perabot rumah. Dia tak perlu ketakutan saat bangun kesiangan karena semalaman penuh tak bisa tidur karena Kinanti yang demam. Dia tak perlu merasa khawatir saat membeli barang baru. Meski pada akhirnya sang mertua dan adik ipar kerap menyambanginya dan meninggalkan perilaku yang tidak mengenakan. Ada saja yang mereka komentari. Dari mulai pakaian kekinian yang dikenakannya, perabot baru yang kian hari memenuhi sudut rumah mereka, bahkan makanan yang dia masak pun tak kalah dikomentari. Dari perkataan boros hingga yang paling kasar adalah memoroti anaknya, numpang hidup dan lain-lain. Padahal semua itu juga tak luput dari peran serta dirinya yang juga bekerja meski tak bergaji besar seperti suaminya. "Kau tahu dari awal aku tak pernah menyukaimu. Jika bukan Bayu yang memohon-mohon untuk menikahimu, aku tak akan pernah sudi memiliki menantu sepertimu. Hanya seorang guru bergaji kecil saja kau banyak tingkah! Beruntung Bayu bisa menikahimu yang bukan siapa-siapa. Setelah kepergian Bayu, jangan harap hidupmu akan tenang! Rumah ini berikut harta Bayu yang lain harus dibagi rata! Kau tak berhak menyembunyikan sepeser pun dari kami. Apalagi menginginkan untuk menguasai keseluruhan. Setelah acara tujuh hari kematian Bayu, aku akan kemari lagi! Pastikan semuanya sudah tertulis jelas apa saja yang kalian punya! Jangan berusaha berbuat curang. Aku tak akan pernah diam! Dan juga ada wanita lain yang harus mendapat bagian sama sepertimu!" Kalimat yang ibu mertua Mala lontarkan membuat luka cukup menganga dalam hatinya. Tak disangka dia akan tetap menghadapi ibu mertuanya setelah kepergian Bayu. Tadinya dia berharap wanita itu melunak, tetapi nyatanya semua itu hanya angan-angan. Dan kalimat ibu terakhir membuatnya sangat terusik. Wanita lain? Apakah yang dimaksud itu ibu sendiri? "Bu, apa tidak keterlaluan membicarakan harta peninggalan Mas Bayu saat tanah kuburnya saja masih merah. Rasanya tak elok, Bu." Mala mencoba berdiplomasi dengan Bu Rahayu yang tak peduli dengan waktu itu. Jam yang sudah menunjuk pukul setengah sebelas malam tak menyurutkan niat wanita itu untuk mengeluarkan energinya memarahi sang menantu. "Justru itu lebih baik, daripada menunda-nunda waktu. Aku bisa baca jalan pikiranmu, Mala. Kau pasti berniat untuk menyembunyikannya. Sayangnya kami tak bodoh! Aku dan Rosa sudah menyelidiki dan menghitung apa saja yang Bayu miliki. Jangan sekalipun berniat curang atau kau akan kupermalukan!" Ibu mertua Mala menudingkan telunjuknya dengan kasar tepat ke wajahnya. Matanya menatap Mala dengan tatapan menghujam dan mematikan. Tak ada kelembutan sedikit pun yang biasanya dipancarkan mertua pada menantu. "Bu, saya tak serakah seperti yang Ibu tuduhkan. Ibu tak perlu khawatir, aku tak akan berbuat curang. Tetapi Ibu juga jangan terlalu percaya diri. Karena melihat sikap ibu ini aku justru makin tertantang untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku!" Mala berusaha memberikan perlawanan pada Bu Rahayu. Sekuat apapun menghormati wanita itu, sepertinya hanya percuma. Ibu mertuanya tak layak mendapatkan kehormatan apapun.Memperingatkan RosaMala mematut dirinya di depan kaca. Hari ini dia memutuskan untuk pergi mengajar setelah libur beberapa hari. Dia rindu suasana anak didiknya. Sedangkan Kinanti, dia akan bersama Bude Rumi seperti yang sudah-sudah. Wanita itu bagai malaikat penolong. Bahkan dia tak segan mengurus Kinan dengan penuh kasih sayang. "Mala, berangkatlah ke sekolah. Jika ada tamu, biar Bude yang menemui. Hidupmu harus berlanjut, bahkan kau harus berjuang lebih keras lagi. Tak ada Bayu tempatmu bergantung. Kau punya anak yang harus dihidupi. Tak mungkin selamanya kau harus bergantung pada apa yang ditinggalkan mendiang suamimu. Lagi pula Bude tak yakin mertuamu itu tak akan menuntut macam-macam," ucap Bude Rumi saat Mala tengah duduk di meja makan. Wanita itu mengaduk makanannya dan mengangguk pelan. "Bude hapal perangai wanita itu. Kau yang sabar. Jangan pula bersikap lemah. Kita bukan malaikat. Bela dirimu sekuat tenaga saat mereka mengusikmu. Bude tak ingin seperti yang sudah-sudah,
Dikelilingi Orang Baik"Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" Rosa sangat tak terima dengan perkataan wanita tambun itu. Tetapi apadaya, membantah kalimatnya sama sekali bukan ide yang cemerlang. Bisa habis tak bersisa apabila berani mendebat dirinya. Meskipun dia tahu, Bude Rumi tak terikat hubungan darah apapun dengan Mala, tetapi sikap dan perhatiannya melebihi seorang ibu. Dan Mala diam bukan karena dia takut dengan adik suaminya, hanya saja tenaganya belum terlalu pulih untuk berdebat dengan gadis tak sopan itu. Dia juga bosan dengan sikapnya selama ini yang tak pernah menghormatinya dengan layak. Jika selama ini Mala selalu mengalah demi menghargai suaminya, entah kini dia bisa melakukannya lagi atau tidak. "Makan begini saja diceramahi panjang lebar. Males jadinya!" Rosa beranjak dari tempatnya duduk seraya membanting sendoknya hingga menimbulkan buny
Bayi Siapa? 1"Kami turut berduka cita, Bu Mala," ucap lirih Pak Seno, kepala sekolah tempat Mala bertugas. Rekan satu sekolahnya juga ikut mengucapkan duka cita secara bergantian. Mereka tak menyangka Mala yang tergolong masih muda ini akan menjadi seorang janda. Apalagi statusnya yang masih honorer dengan satu orang anak. Mereka cukup khawatir dengan kelangsungan hidup rekannya beserta sang anak ke depan. "Terima kasih, Pak. Doakan saya selalu kuat melewati semua ini." Mala berusaha tersenyum meski hatinya diliputi mendung. Tidak mungkin dia menangis di tempat ini, apalagi keinginannya ke sekolah karena ingin bernapas lebih lega. Karena saat di rumah, dia terus menerus menangis melihat tiap sudut rumahnya penuh dengan kenangan manis bersama sang suami. "Bu Mala pasti kuat, jangan segan-segan bercerita dengan teman di sini Bu. Kita semua keluarga, akan sangat sedih jika salah satu dari kita memendam masalahnya sendiri." Ucapan Pak Seno hanya ditanggapi senyuman oleh Mala. Dia bersy
Bayi Siapa? 2Mala memarkirkan kendaraan di depan halaman ibu mertuanya. Sepulang sekolah dia sengaja mampir ke rumah itu. Meski dia tak yakin dengan sambutan baik yang akan diterimanya, dia tetap memaksakan diri. Toh dia sudah terbiasa dengan sikap ibu mertuanya. Satu plasik penuh buah apel yang dibeli dari kios tak jauh dari sekolahnya diambilnya dari bagasi motor. Matanya langsung disuguhi pemandangan yang sangat ganjil. Jemuran baju di lantai dua rumah mertuanya terlihat cukup jelas dari tempat dia berdiri. Memang lantai dua rumah mertuanya memiliki sedikit space yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Yang menjadi pertanyaan Mala adalah pakaian bayi mendominasi jemuran dari bahan aluminium tersebut. Meski diliputi tanda tanya, Mala tetap berusaha tenang. Langkahnya yakin mendekati pintu rumah mertuanya. Sayup-sayup dari dalam dia mendengar suara tawa beberapa wanita. Dia paham dua di antaranya adalah mertua dan Rosa. Mala mengeraskan suara salamnya. Suaranya kalah dengan s
Anak itu, Alvaro! 1"Suara anak siapa, Bu?" ulang Mala pada ibu mertuanya. Ada raut kegugupan yang berusaha dia tutupi. Mata Mala membidik arah kamar dimana Rita masuk ke dalam sana. Suara bayi tak terdengar lagi, membuat wanita itu menebak dengan penuh keyakinan bahwa bayi yang menangis tersebut adalah anaknya. Entah kekuatan dari mana, Mala melangkahkan kaki ke arah kamar yang dulu dihuni olehnya dan Bayu. Rasa heran bercampur penasaran mengapa ibu mertuanya tidak menempatkan Rita di kamar tamu yang biasa ditempati saudara yang menginap di rumah itu. "Mau kemana?" tanya ibu mertua Mala dengan suara yang terdengar sedikit panik. Mala membalikkan tubuhnya. Benar, dia mendapati wajah ibu mertuanya yang berusaha menutupi kegugupan. "Menengok bayinya Rita. Tak masalah bukan? Dia juga saudara sepupuku." Tanpa menunggu jawaban dari Bu Rahayu, Mala melanjutkan langkahnya. "Mbak! Jangan lancang. Siapa tahu Rita tak mau privasinya diganggu!" teriak Rosa yang justru membuat Mala makin pena
Bayi itu Alvaro ! "Mbak Rita kenapa? Kok kayanya kaget dengan pertanyaanku? Ayahnya kerja?" "Kamu kok nggak sopan tanya seperti itu? Memangnya perlu banget kamu tahu? Memang wanita yang nggak pernah dididik ibunya ya seperti ini! Nggak punya etika!" hardik Bu Rahayu pada menantunya. Mala makin menyadari sesuatu. Dia bukan wanita bodoh, dia amat menyadari ada sesuatu yang memang ditutupi oleh ketiga wanita di depannya. "Bu, kenapa reaksimu berlebihan seperti ini? Ada masalah dengan pertanyaanku? Kenapa harus teriak?" Kali ini Mala tak tinggal diam seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang harus dijaga perasaannya. Rasa lelah juga dirasakannya karena bakti yang tanpa batas pada wanita bergelar ibu mertuanya itu tak pernah menganggapnya selayaknya seorang menantu. Entah dimana letak kesalahan Mala. Berkali-kali dia meminta penjelasan pada Bayu, tetapi hanya kalimat yang bernada memohon kesabaran pada Mala atas sikap mertuanya. Dengan penuh kelembutan Bayu selalu berhasil meredam emosi y
Kecamuk"Kalau Kinan punya adik laki-laki, kita beri nama Alvaro," ucap Bayu pada istrinya. Mala yang tengah melihat tayangan youtube mengenai tutorial memasak kari menoleh ke arah laki-laki itu. Senyumnya terbit setelah sang suami menatapnya dengan wajah jenaka. "Kamu sudah siap punya anak lagi, 'kan?" tanya Bayu, "aku ingin anak laki-laki. Biar nonton bola ada yang menemani." Mala tertawa sejenak. Ada yang menggelitik hatinya saat mendengar alasan yang dikemukakan oleh suaminya. "Yang benar saja, Mas. Masa pengin anak laki-laki cuma buat teman nonton bola. Kalau perkara nonton bola, bukannya selama ini Kinanti pun sering menemanim? Bahkan teriakannya melebihi suporter di lapangan," jawab Mala. "Nggaklah. Pokoknya pengin anak laki-laki.""Kalau ternyata nanti aku hamil, terus anaknya perempuan gimana?" "Ya bikin lagi!" jawab Bayu dengan mimik serius hingga membuat Mala melemparkan bantal guling ke arah suaminya sebagai wujud protes. "Satu saja aku sering keteter, Mas. Untung ad
Tidak mungkin laki-laki yang telah membersamainya selama lima tahun itu telah menghianati janji suci pernikahan mereka. Apalagi mengingat segala macam perjuangan yang sudah mereka lakukan untuk memenangkan hati Bu Rahayu. Meski kenyatannya hati wanita itu terlampau kuat sekokoh karang hingga tak bisa diruntuhkan oleh segala jenis kebaikan yang Mala tawarkan padanya. Entah akad seperti apa yang membuat Bu Rahayu akhirnya luluh dan menerima pernikahan mereka yang digelar di rumahnya. Nyatanya dia berada di tengah-tengah pernikahan Bayu dan Mala, meski dengan wajah yang tak bisa berbohong. Bahkan dia menolak untuk mengambil foto bersama saat resepsi berlangsung. Wanita itu beralasan mendadak pusing dan ingin merebahkan diri di kasurnya. Mala bukan tidak tahu dengan alasan yang dibuat-buat oleh mertuanya. Hanya saja melihat bagaimana perjuangan Bayu memperoleh restu membuatnya cukup tahu diri untuk tidak banyak bertanya dan menerka apa yang terjadi dengan ibu mertuanya. Meski tak dipung