Kelancangan Rita"Lancang sekali kau, Mala! Aku Ibu mertuamu! Suamimu adalah anakku, anak kandungku! Bisa-bisanya kau memperlakukanku seperti seorang pengemis seperti ini. Yang kuminta adalah uang anakku!" "Mintalah pada jasadnya yang sudah tertanam di dasar tanah! Tak perlu meneriakiku seperti itu! Apapun yang akan kau katakan, aku tak peduli! Urusi kehidupan Ibu, anak, menantu dan cucumu itu tanpa merusuhi hidupku lagi!"Mala membanting sendoknya hingga menimbulkan bunyi cukup keras dari benturan itu. Matanya menatap wajah mertuanya yang nampak pias. Tetapi tak lama, setelah itu Bu Rahayu tersenyum dengan begitu licik. "Jadi kau sudah tahu?" tanyanya dengan seringai yang dia kira mampu meluluhlantakkan pertahanan Mala. Sayangnya rasa sakit yang ditimbulkan akibat penghianatan suaminya sudah membuat wanita itu semakin kuat. Intimidasi dari mertuanya tak banyak menimbulkan pengaruh bagi dirinya. "Syukurlah. Kalau kau sudah tahu, aku tak perlu repot-repot memberitahumu. Jadi begini
Saat Mala memarkirkan motornya sepulang dari sekolah, dia melihat rumahnya agak ramai. Suara tawa terdengar cukup nyaring dari dalam rumah. Bude Rumi yang melihat Mala di depan rumahnya buru-buru menghampiri wanita itu. "Kinan sedang tidur di kamar Bude. Tadi dia sedang tidur di kamar atas, mertuamu datang. Dia marah-marah dan memintaku membawa anakmu ke rumah Bude. Mala, lekaslah kau selesaikan penjualan rumah itu. Meski pun Bude akan merindukan kalian, tetapi melihat kalian diperlakukan seperti ini, Bude tak terima. Maaf tadi Bude tak membelamu. Kinanti akan histeris saat melihat orang saling berteriak di depannya."Penjelasan Bude Rumi membuat Mala merasakan amarahnya kembali menggelegak. Bayangan anaknya yang tengah tertidur lelap di tempat ternyamannya itu diusir membuat tangannya mengepal. Wanita itu tak bisa lagi menorerir perbuatan mertuanya. Tanpa mendengar penjelasan Bude lagi, Mala berjalan cepat ke arah ruang tamu dimana suara riuh layaknya pesta kecil-kecilan itu beras
Mempertahankan Hak "Apakah keahlianmu memang hanya sebatas maling barang milik wanita lain?"Wanita yang mengurai rambut panjangnya itu semakin tersudut dengan pertanyaan Mala. Tubuhnya beringsut mundur dari meja rias yang dari tadi menjadi perhatiannya. Kotak kecil berisi pernak-pernik milik Mala beserta isinya nampak berserak di atas karpet bulu yang digunakan sebagai alas meja rias di kamarnya. Rita berjongkok di depan benda-benda kecil di depannya dengan wajah yang tertunduk malu. Kalung milik Mala yang diberikan oleh Bayu sebagai hadiah ulang tahunnya pun belum sempat dilepaskan oleh Rita dari leher jenjangnya. "Ma-af, saya tak sengaja." "Memasuki kamar pribadi orang lain kau bilang tak sengaja? Memasuki rumah tangga orang lain pun kau anggap tak sengaja?" tanya Mala dengan tatapan mengintimidasi. Matanya tak lepas sedikit pun dari sosok wanita di depannya. Rita memiliki kecantikan yang unik, tak ada kulit putih bak porselen yang dimiliki olehnya. Hanya sepasang mata bulat de
"Apa perlu kuulangi perkataanku yang kemarin? Kau pulanglah ke daerah asalmu. Tinggalkan semua yang anakku pernah berikan. Anak lelaki Bayu yang lebih berhak berada di sini. Lagi pula, apakah kau tak tahu malu? Bayu lebih memilih Rita di detik-detik akhir hidupnya. Jangan berkeras hati terhadap sesuatu yang bukan hakmu!" Kembali wanita itu berteriak. "Istri siri dan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan bawah tangan tak berhak mendapatkan apapun dari harta suamiku, Bu. Apakah kau lupa, Mas Bayu membangun rumah ini setelah pernikahan kami berlangsung. Itu artinya aku pun turut andil di sini. Kau mau berteriak lagi untuk memanggil orang-orang dan berdrama seperti kemarin? Yakin mereka akan membelamu?Entah bagaimana kisah wanita ini dengan suamiku di masa lalu. Nyatanya akulah istri sah yang berada di sisi suamiku saat pembangunan rumah ini dilakukan. Artinya aku dan anakku yang berhak. Siapa dia masuk ke dalam istana yang darah dan cucuran keringatkulah yang digunakan untuk memb
Menepi Mala menata baju-baju yang sudah mulai dipindahkan ke rumah yang akan ditinggalinya berdua dengan Kinanti. Meski nanti dia tak bisa menitipkan anak semata wayangnya pada Bude Rumi, tetapi dia merasa semuanya akan lebih baik daripada hidup di sekitar mertuanya. Dia yakin akan mendapatkan kenyamanan saat berada di rumah ini. Mala sudah mencari day care yang cocok untuk Kinanti nantinya. Dia akan menjemput anak itu sepulang dari tempatnya mengajar. Mala hanya memilih beberapa barang yang memang memungkinkan dia bawa dan letakkan di salah satu sudut di rumah ini. Ukurannya yang lebih kecil membuatnya harus merelakan sebagian besar tak bisa tersangkut kesana. Lagi pula dia tak ingin terlalu terikat dengan pernak-pernik yang membawanya pada ingatan buruk mengenai suaminya. Sebuah foto dengan bingkai warna putih polos dipasang di kamar tidurnya. Hanya foto Kinanti sendirian sedang merayakan ulang tahunnya kedua yang dia bawa dari rumah itu. Selebihnya tak ada. Bahkan dia sudah m
"Kamu sudah yakin melepaskan rumah itu?" tanya Karina saat Mala menemuinya di butik milik wanita itu. Semenjak menikah Karina memang diminta untuk resign dari pekerjaannya. Beruntung niatnya membuka butik sendiri agar memiliki waktu yang lebih fleksibel disetujui oleh suami dan keluarganya. Mala mengangguk. Ditatapnya gaun-gaun pesta yang dijejer rapi di ruangan berukuran delapan kali tujuh meter di lantai dua ruko milik Karina. Terdengar suara embusan napas dari wanita di depannya. "Aku mendukungmu. Lekas pergi, setidaknya kamu bisa melepas sedikit bebanmu saat mengingat rumah itu." Karina menyesap kopinya perlahan. Aroma kopi menguar di ruangan itu. "Kapan kamu meninggalkan rumahmu?" tanya Karina. "Lusa. Rencana hari ini ke rumah di Golden, aku harus memastikan barang-barang apa yang akan kubawa dan kutinggal nantinya.""Yang jelas kenanganmu dengan Bayu harus kau tinggal seiring kepergianmu dari sana. Ingat Mala. Kau sangat berhak hidup lebih baik bersama Kinanti. Berjanjilah u
"Dimana kau, Mala? Mengapa rumah terkunci rapat? Dan wanita gila pengasuhmu itu pun tak ada di rumahnya!" teriak Bu Rahayu pada menantunya via panggilan telepon. Mala menjauhkan ponselnya dari telinga. Perjalanannya menaiki kereta bersama Kinanti sudah hampir membawanya ke Stasiun Purwokerto. Rumah yang sudah beralih tangan pun resmi ditinggalkannya dua hari yang lalu. Pantas saja rumah itu sudah dikunci rapat, anak dan menantu Bu Haryo belum menempatinya karena masih dinas di luar kota. Jika pun rumah itu berpenghuni, sudah dipastikan mertua Mala tak bisa melenggang seenaknya sendiri seperti kebiasannya yang sudah-sudah. "Lekas pulang, buka pintu gerbangnya. Kasihan Alvaro sudah menunggu lama. Anak Bayu kepanasan!" Anak Bayu? Rasanya Mala begitu muak mendengar ucapan mertuanya. Hatinya kebas dan tak peduli dengan apapun yang menimpa anak itu. Terkesan jahat, tapi lagi-lagi kesalahan orang tuanya membuat Mala memilih bersikap demikian. "Mala, kau dengar? Alvaro kepanasan!" Te
Mala memilih memusatkan pandangannya pada ponsel di tangan kirinya. Dia memesan taksi online yang akan membawanya ke rumah sang nenek yang memang tak begitu jauh dari stasiun. Mala meminta izin pada driver untuk membuka jendela mobil saat melewati jalanan. Sesekali dia tersenyum saat tempat-tempat yang dia lewati mengisahkan cerita tentangnya di masa lalu. Sekolah dasar tempatnya menimba ilmu, dimana kaki polosnya pernah dengan begitu rutin menapaki jalanan berbatu ke gedung tersebut. Bukan tak punya sepatu, tetapi karena dia ingin sepatunya cepat rusak jika digunakan terus-menerus. Dia memilih memakainya saat sudah di sekolah sehingga sepatu yang dibeli setahun sekali itu tak lekas rusak. Banyak sekali perubahan yang sudah terjadi di tempat masa lalunya. Villa dan Hotel yang dulu jarang kini bermunculan layaknya cendawan di musim hujan. Mala masih ingat gedung hotel lima lantai itu dulunya adalah kebun-kebun milik petani yang kini berubah menjadi bangunan yang kokoh. "Sudah sampa