Share

Pertemuan pertama

Meysa mengajak Nadhira untuk duduk. Dan meminta bibi yang mengurus rumah Meysa, membuatkan minuman dan makanan ringan untuk Nadhira. Nadhira bahagia sekali bisa bertemu lagi dengan Meysa. Dia pikir Meysa sudah melupakannya.

“Terima kasih bi,” ucap Nadhira dengan senyum manisnya, saat bibi memberikan secangkir teh dan beberapa makanan kecil untuknya.

“Sama-sama non, saya permisi dulu," jawab bibi dan berlalu pergi.

“Oh iya, apa yang kau katakan tadi?”

‘Jika Nadhira menikah dengan mas Reihan pasti mereka akan bahagia. Aku tau Nadhira adalah wanita yang baik. Dia pasti bisa membahagiakan mas Reihan dengan baik. Tapi apakah mas Reihan dan Nadhira mau melakukannya?’ ucap Meysa dalam hatinya sambil memperhatikan Nadhira.

“Mey, kau kenapa? Apa ada masalah denganmu? Apa aku bisa membantumu? Kau kenapa?” tanya Nadhira lembut.

Dia juga memegang tangan Meysa untuk menenangkan. Wajah Meysa terlihat sedikit pucat, dan ada kegelisahan yang Nadhira tangkap.

Yang Nadhira tau, Meysa bukanlah wanita yang melankolis. Meysa adalah wanita yang ceria. Selalu saja dia mampu membuat orang yang berada dekat dengannya tertawa. Dan yang Nadhira lihat kali ini bukan Meysa yang seperti itu.

“Nad, a-apa kau bisa membantuku?” tanya Meysa ragu-ragu.

“Ada apa? Kau bisa cerita jika mau, tapi kalau kau masih belum siap ya sudah nanti aja, tidak perlu di paksakan. Oh iya, bagaimana? Udah isi perutnya?” Meysa lagi-lagi terdiam dan sedikit tertunduk.

“Hei, mey. Kau kenapa? Aku minta maaf jika aku salah bicara. Tapi kau kenapa? Ini bukan seperti Meysa yang aku kenal. Ada apa? Jika aku bisa membantumu akan aku lakukan. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

“Nad, apa k-kau mau me-nikah dengan suamiku?” tanya Meysa ragu-ragu. Jantungnya sudah deg-degan saat mengatakan hal itu.

Sejatinya tak ada seorang wanita yang mau di madu atau merelakan suaminya untuk berbagi hati atau bercerai sekalipun. Tak ada yang rela. Tapi, apa Meysa bisa memilih saat ini? Tidak. Dia pun terluka dengan pilihannya itu.

“Apa yang kau katakan Mey? Kamu ngelindur? Jangan ngaco, ah. Aku minum tehnya ya? Aku haus sekali. Maaf ya?” ucap Nadhira sambil menyesap tehnya dan tersenyum.

“Aku memiliki penyakit Nad, Alzheimer.” Nadhira yang tadinya minum teh, langsung terdiam dan meletakkan kembali di atas meja. Dia menatap sahabatnya yang sudah menangis.

“Apa yang kau katakan Mey? Jangan bercanda seperti ini. Ada apa sebanarnya denganmu? Apa kau sedang bertengkar dengan suamimu? Kalian bisa bicarakan baik-baik Mey. Jangan melakukan candaan seperti ini. Dan lagi, perni...”

“Aku memang sedang sakit Nad. Kami sudah periksakan hal ini pada dokter satu setengah tahun yang lalu. Aku mengidap penyakit yang tidak bisa di sembuhkan itu. Aku sakit Nad," ucap Meysa yang sudah menangis dan menunduk serta menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Bagai-bagaimana bisa Mey? Kau pasti berbohong kan? Jangan bercanda seperti ini denganku Mey. Aku bisa membantumu untuk berbaikan dengan suamimu jika kau mengijinkannya. Aku tau kau sedang berbohong saat ini?” ucap Nadhira yang sudah memeluk tubuh Meysa.

Akhirnya Meysa menceritakan semua yang sudah terjadi pada Nadhira. Hasil tes dari dokter serta rekaman cctv di mana penyakitnya kambuh semua dia perlihatkan pada Nadhira. Nadhira sampai terkejut bukan main dengan semua yang sudah terjadi pada Meysa.

“Aku tak bisa membiarkan mas Reihan hidup terus denganku Nad. Aku tak ingin sampai dia menderita karenaku. Penyakit ini tak akan hilang. Yang ada penyakit ini semakin memburuk Nad.”

“Tapi itu bukan solusi yang tepat Mey. Mas Reihan pasti lebih tau mana yang terbaik untuk pernikahan kalian. Jika dia mau menikahimu, itu artinya dia sudah memilihmu sebagai istrinya sampai akhir hidupnya Mey.”

“Tapi aku sudah menyakitinya Nad. Sudah berkali-kali aku menyakiti mas Reihan. Aku bahkan sampai sekarang belum bisa memberikan seorang anak padanya. Padahal kita sudah 3 tahun lebih menikah. Aku hanya ingin melihat mas Reihan bahagia.”

“Mey, jodoh, anak dan takdir itu semuanya adalah garis yang Allah sudah tentukan. Jika kau menikah dengan mas Reihan, apalagi kalian saling mencintai. Itu artinya mas Reihan adalah jodohmu."

"Sedang anak adalah titipan dariNya. Jika kau belum di berikan seorang anak, pasti ada maksud dari Allah kenapa kalian belum di karuniai seorang anak."

"Dan ini semua adalah ujian dalam pernikahan kalian. Kau jangan semudah itu berkata seperti ini. Apa kau mengerti perasaan mas Reihan saat kau berkata ingin cerai? Pikirkan perasaannya juga Mey," jelas Nadhira panjang lebar.

Meysa tak bisa menjawab. Dia hanya menangis dalam pelukan Nadhira. Tapi yang Nadhira katakan semuanya adalah benar. Dia sama sekali tak memikirkan perasaan suaminya saat berkata seperti itu. Tapi sekali lagi, Meysa menganggap penyakitnya ini adalah beban untuk suaminya.

Karena yang dia pikirkan adalah kebahagiaan suaminya saja. Bagaimana menderitanya mas Reihan. Belum lagi saat dia penyakitnya semakin parah. Meysa malah merasa hidupnya sudah tak lama lagi.

Karena itu dia tak ingin meninggalkan suaminya sendirian tanpa ada yang mengurusnya ketika waktunya nanti tiba. Itu yang ada di pikiran Meysa.

“Kau bicarakan lagi baik-baik dengan suamimu. Kau jangan dengan mudah mengatakan hal yang sangat di benci seperti kata perceraian itu Mey. Sepertinya suamimu sudah pulang," ucap Nadhira karena mendengar suara mobil yang baru saja datang.

Tak terasa mereka mengobrol sampai malam.

“Ingat ucapanku Mey. Kalian bicarakan dulu berdua. Dari hati ke hati. Kau ikuti saja apa yang menjadi kemauan suamimu. Karena dia tau yang terbaik untuk kalian. Aku pulang dulu. Nanti aku akan kemari lagi. Assalamualaikum," ucap Nadhira sambil menghapus air mata Meysa dan memberikan pelukan pada sahabatnya itu.

“Waalaikumsalam.” Meysa mengantarkan Nadhira sampai depan.

Saat di depan mereka bertiga berpapasan. Nadhira yang tak berani memandang wajah Reihan hanya menunduk dan mengucapkan salam pada Reihan dan segera pergi dengan sepeda motornya.

Nadhira dan Meysa. Mereka berdua dulu adalah kembang sekolah. Kedua wanita ini sangat cantik. Jika wajah Meysa memiliki wajah cantik alami orang indonesia dengan kulit sawo matangnya.

Sedang Nadhira lebih memiliki wajah blasteran. Alisnya yang tebal dan kulitanya yang putih, serta tatapan matanya yang tajam membuatnya lebih terlihat orang dari timur tengah.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam.”

“Siapa dia sayang?” tanya Reihan sambil mengecup kening Meysa dan merangkulnya masuk ke dalam rumah mereka.

“Dia sahabatku Nadhira. Kemarin aku menghubunginya untuk datang ke sini. kami sudah lama tak bertemu. Aku merindukannya. Dia cantik kan mas?” tanya Meysa yang ingin tau reaksi suaminya saat melihat Nadhira tadi.

Tapi suaminya hanya tersenyum sebentar tanpa membahasnya lagi. Seakan enggan melihat siapa yang datang.

Meysa membantu suaminya untuk berganti pakaian. Setelah itu mereka makan malam. Saat makan pikirannya di penuhi dengan kata-kata Nadhira. Dia akan mencoba bicara setelah ini dengan suaminya.

“Sayang, aku sudah memikirkan matang-matang tentang apa yang aku katakan selama ini padamu. Maafkan aku ya sayang. Selama ini aku sama sekali tak memikirkan perasaanmu. Maafkan aku," ucap Meysa saat keduanya sedang berada di dalam kamar. Reihan tersenyum gembira mendengar ucapan Meysa.

“Sampai kapanpun aku akan selalu mencintaimu sayang. Apapun yang terjadi kau tetaplah istriku. Sudah jangan pernah memikirkan hal itu lagi. Kita bisa menghadapinya bersama,” jelas Reihan sambil mengusap pelan bibir Meysa.

Dia juga mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir istrinya dengan lembut. Sampai Meysa mulai terlena dan melingkarkan tangannya di leher Reihan.

Reihan dengan cepat melepas celananya dan membuat bagian bawahnya polos. Namun bibir mereka masih saling menikmati.

Dia menidurkan tubuh Meysa dengan pelan, dan tangannya menyingkap baju tidur Meysa hingga perut. Dia mulai menstimulus bagian sensitif istrinya.

Perlahan tapi pasti, Reihan akan kembali melakukan penyatuan dengan Sang istri. Tapi tiba-tiba kepala Reihan terasa pusing karena ada hantaman sesuatu.

"Ada apa denganmu Rei?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status