Share

Perdebatan berakhir haru

Reihan segera pulang ke rumah, setelah mendapat telepon dari Meysa. Ia pulang bukannya ingin meminta penjelasan dari Meysa soal permintaan yang istrinya ucapkan lewat telepon tadi. Melainkan ia memang ingin bertemu istrinya dan melihat kondisinya.

Ia menganggap, sebagai angin lalu permintaan Meysa yang menurutnya konyol. Setelah dirinya sekali mengikat janji suci, maka akan ia selesaikan tanggung jawab itu sampai selesai.

Sebuah pernikahan bukanlah untuk main-main, tetapi untuk hubungan serius seumur hidup. Dan Reihan hanya ingin dengan Meysa, hubungan suci itu terjalin dalam hidupnya.

"Assalamu'alaikum sayang," sapa Reihan yang langsung memeluk tubuh sang istri dan memberikan kecupan hangat di kening.

"Aku membawakan pizza tuna dan camomal tea kesukaanmu," imbuhnya dengan memperlihatkan tangannya yang masing-masing membawa makanan kesuakaan istri.

"Waalaikumsalam mas." Meysa membalas senyuman hangat sang suami. Ia tau bagaimana sakit hatinya Reihan semalam karenanya. Malam yang harusnya penuh kebahagiaan, justru ia tolak mentah-mentah, akibat penyakitnya. Dan bahkan telah... melukainya.

"Mau makan sekarang, sayang?" tanya Reihan yang sudah melepas pelukannya. "Akan aku siapkan kalau begitu."

"Mas, aku tidak ingin makan itu Mas. Aku hanya ingin meminta jawabanmu soal... permintaanku tadi. Aku juga mau... meminta maaf atas kesalahan yang aku buat semalam," jelas Meysa sambil menyentuhkan jemarinya pada memar di kening Reihan karena pukulannya semalam.

"Sudah ya? Jangan pernah berbicara omong kosong lagi. Aku baik-baik saja," ucap Reihan yang sudah sangat menahan rasa kesal di hati. "Akan aku siapkan. Tunggu dulu ya." Ia mengacak pelan rambut sang istri sebelum akhirnya menuju dapur.

"Mas Rei, tapi Mas..." Reihan sama sekali tak ingin mendengarkan perkataan Meysa. Ia memilih pergi untuk menyiapkan Meysa makan.

Meysa hanya bisa melihat punggung Rei yang sudah pergi. Melihat wajah suami yang terluka, Meysa makin yakin dengan keputusannya untuk menikahkan Reihan dengan Nadhira.

***

Hingga malam Meysa sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk bisa membahas soal permintaannya pada Reihan. Reihan sangat menghindari dan lebih suka mengalihkan pembicaraannya dari pembahasan yang sangat ia tidak suka.

Dan kini saat keduanya dalam selimut yang sama, Meysa memberanikan diri lagi untuk bicara.

"Mas, kamu belum tidur 'kan? Aku... ingin membahas soal... permintaanku denganmu. Aku... masih ingin kau menikah dengan Nadhira Mas," ucapnya lirih.

Suasana kamar tampak hening, hanya ada suara mesin pendingan ruangan dan blower. Dengan hembusan napas Reihan yang terdengar di telinganya.

"Aku merasa jadi seorang wanita yang gagal jika sampai terus-terusan melukaimu Mas. Aku ingin melihatmu bahagia. Dan aku ingin jika kamu bisa... menikah dengan Nadhira."

"Dia wanita yang sangat baik. Sahabatku yang paling aku kenal. Dia pasti bisa membuatmu bahagia."

Reihan masih tetap bergeming. Tak ada respon sama sekali dari pria itu. Masih memeluk Meysa dari belakang. Sehingga hembusan napas masih terasa di ceruk leher Meysa yang menghangat.

"Mas, aku tau kamu mendengarkan semua ucapanku," seru Meysa. "Aku tak akan berhenti bicara sampai kau mengatakan sesuatu padaku."

Terasa hembusan napas Reihan yang berbeda, sehingga Meysa membalik tubuhnya untuk menghadap sang suami. Sejenak wanita itu memandangi wajah Reihan yanh masih memejamkan mata. Hingga akhirnya dengan berat Reihan membukanya.

"Kenapa kamu terus membahas masalah yang tidak penting seperti ini sayang? Sudah aku katakan. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah dan tidak akan mau mencari wanita lain apalagi menikah."

"Cukup satu ikrarku. Dan itu hanya buat kamu. Tidak akan ada lagi, Mae sebaik apapun, aku hanya mau denganmu. Tidak akan ada lagi wa--"

"Aku tau kamu sangat mencintaiku, Mas. Tapi aku tidak bisa terus membiarkanmu terluka seperti ini. Kau tau setiap kali aku sakit, bukan hanya kamu yang terluka. Tapi kita." Meysa duduk dari tidurnya.

"Aku sakit karena penyakitku, dan aku juga tau bagaimana perasaanmu yang sakit, bahkan kamu lebih sakit dari apa yang aku rasakan. Oke sekarang sakitku masih di tahap seperti ini. Tapi nanti? Beberapa bulan lagi? Atau mungkin beberapa minggu lagi? Apa yang akan terjadi?"

"Apa kamu tidak malu mendapat ejekan jika mempunyai istri gila? Alzheimer bukan penyakit sembarangan Mas. Ini penyakit langka yang tidak bisa di sembuhkan! Dokter saja tidak bisa mengatakan sampai kapan aku bisa bertahan?"

"Jika sampai aku di tahap akut, aku bisa bertingkah seperti orang gila. Atau mungkin aku bisa melukaimu lebih dalam. Dengan cara aku tidak akan bisa mengenalmu sama sekali!"

"Aku hanya ingin sebelum aku meninggalkanmu lebih buruk lagi dari ini, kau bisa bahagia. Aku mohon Mas. Please... menikahlah dengan Nadhira," mohon Meysa yang sudah menangis sesenggukan.

Melihat itu, Reihan pun ikut duduk dan memeluk sang istri. Hatinya sakit mendengar suara dan tetesan air mata yang keluar dari mata sang istri.

Benar, bukan dia saja yang sakit saat penyakit itu datang. Tapi istrinya juga, dan pasti merasakan hal yang sama di alam sadarnya. Sama seperti dirinya. Sakit.

Tapi wanita mana yang mau berbagi jika suami memiliki dua istri? Bukankah dengan hal ini justru akan menyakiti atau mungkin memperparah penyakit Meysa? Dan itu semua yang Reihan pikirkan. Karena pikiran Meysa sudah pasti akan semakin banyak hang di pikirkan.

"Aku mohon padamu Mas. Aku ingin kau menikahi Nadhira. Dia pasti akan menjadi seorang istri yang baik untukmu. Aku juga bisa memiliki teman. Saat sakitku tiba... Nadhira juga bisa menemaniku."

Reihan sama sekali tak mampu berucap. Bibirnya kelu. Ia memikirkan rasa sakit di hati sang istri untuk mengucapkan hal ini. Ini pun tidak mudah untuk Meysa berkata seperti itu dan rela membagi hati suami dengan wanita lain.

Tapi sekali lagi Reihan tidak ingin melakukan permintaan istrinya. Ia hanya ingin memiliki keluarga dengan Meysanya. Hanya dia. Bukan Nadhira ataupun orang lain.

"Please Mas, mengertilah posisiku sekarang. Aku hanya ingin kamu bisa bahagia di saat aku sedang tidak bisa lagi mengenalmu. Di saat aku tak menganggapmu sebagai suamiku. Melainkan orang asing yang tidak saling kenal."

"Mey, aku tau ini cobaan yang berat untuk pernikahan kita. Kita bisa terapi ke Negara terbaik untuk menyembuhkan penyakitmu. Aku tidak harus menikah. Ingatlah, akan selalu ada jalan keluar untuk kita. Allah tidak akan memberikan cobaan, melebihi kemampuan kita. Dan itu tidak harus dengan aku yang menikah lagi," jelas Reihan akhirnya.

"Mas... kita sama-sama tau dan paham jika penyakit ini tidak ada obatnya untuk sembuh. Yang ada nanti aku akan semakin menjadi gila! Dan Allah memberikan Nadhira untuk solusi pernikahan kita." tegas Meysa yang sudah melepas pelukan Reihan.

Kedua mata mereka saling beradu. Mata wanitanha yang sudah sangat memerah dan basah, sungguh tak mampu Reihan melihat hal itu.

Wanita cantik yang selalu ia puja. Wanita yang cerewet dan segala yang ada dalam dirinya. Semua begitu sempurna di depan matanya.

"Aku tau, sangat tau kalau ini sangat berat untukmu. Tapi aku tidak bisa melihatmu menderita mas. Sakit di sini mas. Sakit!" Meysa menunjuk hatinya dan ia remat sesaat.

"Aku tidak menyuruhmu untuk mwncintainya. Tapi dengan adanya Nadhira, setidaknya kamu ada teman di saat sakitku datang. Nadhira pasti akan bisa mengobati lukamu."

"Aku hancur Mas, melihatmu seperti itu. Aku tidak bisa," ucap Meysa yang akhirnya meringsek dalam pelukan suami.

Jika sudah seperti ini, Reihan tidak bisa mengambil keputusan. Karena nyatanya ia lemah dengan cintanya. Meysa sungguh segalanya untuk Reihan.

Kesakitan hati istrinya sudah begitu besar. Penyakit yang di milikinya sungguh sangat membuatnya takut. Dan itu yang mengusik pikiran Reihan yang akhirnya kini ia mulai bisa mengambil keputusan.

"Baiklah. Jika itu keinginanmu." Reihan bernapas panjang sebelum akhornya ia meneruskan ucapannya. "Aku setuju, dengan permintaanmu. Aku akan menikahi Nadhira sesuai apa yang kau inginkan, sayang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status