Suasana di rumah keluarga besar Aditya pagi ini begitu hening. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan garpu di meja makan.
Aditya memang sangat tegas mendidik putra dan putinya. Dia melarang mereka berbicara atau bermain ponsel saat sedang makan. Sarah menyantap nasi gorengnya sambil melirik sang ayah yang duduk di kursi paling ujung dengan kesal. Semalam dia meminta ayahnya untuk memberi tahu Prada agar menceraikan Bimala. Namun, dia malah dimarahi sang ayah dan dilarang mencampuri urusan rumah tangga mereka. Padahal dia melakukan semua ini demi kebaikan Prada. Aditya sebenarnya sadar jika Sarah sedang kesal pada dirinya. Namun, dia memilih tidak peduli dan melanjutkan kembali sarapannya. Lagi pula Sarah sangat keterlaluan sampai menyuruh Prada menceraikan Bimala agar memiliki anak. Aditya meletakkan sendoknya setelah itu meneguk segelas air putih yang ada di hadapannya. "Ayah berangkat dulu." Rahayu buru-buru mengantar Aditya ke depan lalu mengulurkan tas yang dia bawa pada suaminya. "Mas tunggu sebentar." Aditya urung masuk ke dalam mobil ketika mendengar suara Rahayu. "Dasi Mas nggak rapi. Sini, aku rapihin." Tangan Rahayu dengan cekatan merapikan dasi yang dipakai oleh Aditya. Dia menepuk-nepuk dada Aditya setelah berhasil memasang dasi itu dengan rapi. "Sudah selesai." "Makasih, ya." Aditya tersenyum hangat. Dia sangat menghargai perhatian kecil yang Rahayu berikan pada dirinya. Mungkin ini salah satu hal yang membuat rumah tangganya dan Rahayu berjalan harmonis sampai sekarang. "Sama-sama. Mas masih marah sama Sarah?" "Ketara banget ya, kalau mas masih marah?" "He'em." Rahayu mengangguk. "Mas cuma nggak nyangka, bisa-bisanya dia nyuruh Prada nikah lagi biar punya anak. Apa dia nggak mikirin perasaan Mala? Mas benar-benar kecewa." Wajah Aditya mengeras ketika mengingat pembicaraannya dan Sarah semalam. Padahal dia sudah berusaha keras mendidik putra dan putrinya agar tumbuh menjadi orang yang baik. Namun, Sarah malah bertingkah seperti itu. Aditya merasa sangat kecewa dan gagal mendidik anak. "Mas merasa gagal menjadi orang tua," gumamnya lirih. "Jangan berpikir kayak gitu." Rahayu mengusap-usap lengan Aditya agar perasaannya menjadi lebih tenang. "Mas itu suami dan ayah yang paling baik sedunia. Wajar kalau Mas marah sama Sarah karena dia memang salah. Tapi marahnya jangan lama-lama, ya? Nggak enak banget tahu sarapan bareng tapi diem-dieman kayak gitu." Aditya tersenyum. Dia menggenggam jemari Rahayu lalu mengecupnya dengan lembut. "Makasih banyak, ya. Mas beruntung banget punya istri yang baik dan pengertian seperti kamu." "Mas bisa aja, sih." Wajah Rahayu bersemu merah. Aditya selalu punya kalimat cheesy yang membuat jantungnya berdebar seperti remaja yang baru pertama kali merasakan cinta, padahal mereka sudah menikah selama 30 tahun lebih. "Mas berangkat dulu, ya?" "Iya, hati-hati." Aditya mengecup puncak kepala Rahayu dengan penuh sayang sebelum masuk ke dalam mobilnya. Rahayu kembali ke dalam setelah memastikan kalau mobil Adiyta sudah tidak terlihat lagi oleh pandangannya. "Ayah udah berangkat?" "Hmm ...." Rahayu menanggapi pertanyaan Sarah hanya dengan gumaman setelah itu mengambil sebuah kotak makan. Kebetulan sekali dia hari ini membuat tempe bacem dan ayam bumbu cabai garam kesukaan Bimala. "Kesel banget aku sama ayah. Coba aja ayah setuju Prada cerai sama Mala. Ayah dan Ibu sekarang pasti udah gendong cucu." "Sarah." Rahayu menegur putrinya. "Jangan bicara kayak gitu lagi. Memangnya kamu mau dimarahi ayah lagi? Enggak, kan?" Sarah berdecak kesal, semua orang yang tinggal di rumah ini tidak ada satu pun yang memihaknya Padahal dia melakukan semua ini demi keluarganya karena dia tidak bisa memberi mereka keturunan setelah rahimnya diangkat akibat kecelakaan yang menyebabkan suaminya meninggal. Entah sihir apa yang Bimala miliki hingga membuat kedua orang tuanya dan Prada sangat menyanyangi wanita itu. "Kamu udah selesai sarapan belum?" "Udah," jawab Sarah ketus. "Tolong anterin ini ke rumah Mala." "Kok aku?" Sarah menatap paper bag yang Rahayu ulurkan dengan kening berkerut dalam. "Karena yang nganggur di rumah ini cuma kamu." "Nggak mau ah, lagian Sarah males ketemu Mala." "Arunia Sarah!" Sarah kembali berdecak kesal lalu meraih paper bag di tangan Rahayu dengan sedikit kasar. Rahayu terkekeh geli melihatnya. "Hati-hati bawanya. Awas aja makanan buat menantu kesayangan ibu tumpah." "Iya, bawel." Sementara itu Prada tidak pernah lelah menghubungi Bimala. Dia ingin meminta maaf pada Bimala dan menebus semua kesalahannya. Namun, Bimala tidak bisa dihubungi. Apa mungkin Bimala memblokir nomornya? Prada pun mencoba mengirim pesan pada Bimala. Namun, pesannya tidak ada satu pun yang terkirim. Semuanya centang satu. Prada : [Sayang, mas minta maaf. Tolong beri mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya] [Mas benar-benar menyesal menikahi Felia tanpa izin dari kamu] [Pulang ya sayang] [Please ....] [Atau mas susul saja kamu ke panti?] Prada menghela napas panjang lalu melempar ponselnya sembarangan. Penampilan Prada terlihat sangat kacau sekarang. Lingkaran hitam mengelilingi kedua matanya. Baju yang biasanya rapi sekarang kusut. Rahang yang biasanya halus pun sekarang ditumbuhi jambang tipis. Prada tidak bisa hidup tanpa Bimala. Dia butuh wanita itu untuk berada di sisinya. Akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia malah menyakiti Bimala hingga memilih pergi dari rumah. Dia memang breng*sek! Andai saja waktu bisa diputar, rasanya Prada ingin sekali kembali ke masa lalu untuk menghapus semua kesalahannya. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya sebesar apa pun penyesalannya. Prada meraih ponselnya yang tergeletak di sofa. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya karena pesannya tidak ada satu pun yang sampai ke Bimala. Haruskah dia menemui Bimala di panti asuhan? Prada meraih jaketnya di lemari. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia akan menemui Bimala sekarang dan menjelaskan semuanya, tapi pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. "Kak Prada." "Ya, Fel," ucap Prada ketika membuka pintu. Kedua matanya sontak membulat melihat bayi laki-laki yang sedang merengek di gendongan Felia. "Arkana kenapa?" "Haus kayaknya, Kak. Aku boleh nitip Arkana sebentar nggak, Kak? Aku mau buatin dia susu." Prada melihat ke belakang tubuh Felia dengan cemas. Felia pun kembali bicara seolah-olah mengerti dengan apa yang sedang Prada pikirkan. "Aku tadi mau minta tolong sama Bik Minah, tapi Bik Minah sedang pergi ke pasar." "Baiklah, sini, biar Arkana sama kakak." Prada meraih tubuh mungil Arkana ke dalam gendongannya. Dengan hati-hati dia menimang-nimang bayi itu agar berhenti menangis. "Jangan lama-mala ya, Fel. Kakak ada urusan penting habis ini." "Iya, Kak." Felia mengangguk lalu cepat-cepat membuat susu untuk sang buah hati di dapur. Dia berusaha membuatnya secepat mungkin agar Prada tidak menunggu terlalu lama. Setelah siap, dia segera memberikan botol susu itu ke Arkana. Namun, bel rumah Prada tiba-tiba berbunyi nyaring. Felia pun beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang. Kening Felia berkerut dalam melihat seorang wanita yang berdiri di hadapannya. Entah kenapa wajah wanita itu terlihat tidak asing di matanya. Mata, hidung, bahkan bibir wanita itu mirip sekali dengan Prada. "Maaf, Mbak siapa, ya?" Bukannya menjawab, wanita itu malah menatap Felia dengan lekat. Entah mengapa wanita itu merasa ada yang tidak beres di rumah adiknya setelah mencium parfum bayi bercampur minyak telon yang menguar dari tubuh Felia yang sedang membawa botol susu untuk Arkana. "Justru saya yang harus tanya. Kamu siapa? Kenapa kamu ada di rumah adik saya?" Felia terenyak medengarnya. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan kakak kandung Prada. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia memberi tahu wanita ini kalau dia istri kedua Prada? "Sa-saya ...." Felia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia bingung harus menjawab apa. "Siapa yang datang, Fel? Apa kamu masih la—Mbak Sarah!" Prada tidak melanjutkan kalimatnya, dia merasa sangat terkejut ketika melihat Sarah ada di rumahnya. Sarah pun tidak kalah terkejut. Dia pikir Prada masih bekerja di luar kota, tapi ternyata ada di rumah. Tidak lama kemudian senyum Sarah mengembang setelah menyadari kalau Prada sedang menggendong seorang bayi. "Pemandangan yang sangat menarik," gumamnya membuat Prada seketika mengembuskan napas lelah.Prada mengurangi kecepatan mobilnya ketika memasuki kawasan perumahan tempatnya tinggal. Malam ini jalanan terlihat lebih sepi dari pada biasanya, udara pun terasa lebih dingin. Prada sebenarnya ingin segera pulang lalu meminta maaf pada Bimala setelah mendengar penjelasan dari Sean. Namun, pekerjaannya hari ini sangat banyak dan dia baru bisa meninggalkan kantor ketika jam menunjukkan pukul delapan malam.Prada menghentikan mobilnya tepat di depan rumah. Sebelum turun dia mengambil sebuah paper bag berisi macaron dan seikat bunga mawar hijau yang tergeletak di bangku samping kemudi."Kak Prada sudah pulang?""Ah, iya, Fel." Prada merasa sedikit kecewa ketika melihat Felia yang membukakan pintu untuknya. Padahal biasanya Bimala yang menyambut kedatangannya."Padahal Kak Prada baru sehari jadi CEO. Tapi Kakak udah disuruh lembur. Kak Prada pasti capek banget, ya?" Felia merasa bersalah pada Prada. Lelaki itu harus bekerja ekstra keras demi menghidupi dirinya dan Arkana. Padahal dia ha
"Pak, ini berkas kerja sama dengan perusahaan CT Corp yang harus Anda tanda tangani."Prada menerima map berwarna biru tua yang diberikan sekretarisnya setelah itu mengucapkan terima kasih."Saya juga ingin memberi tahu kalau hasil rapat pagi tadi sudah selesai saya ketik.""Langsung saja kirim ke email saya, Karina.""Baik, Pak." Karina mengangguk patuh. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu bekerja dengan baik sebagai sekretaris Prada."Apa ada lagi?""Bapak ada pertemuan dengan perusahaan INB¹⁰⁰ untuk membahas produk baru yang akan dikeluarkan oleh perusahaan kita setelah makan siang nanti.""Baiklah, terima kasih banyak, Karina.""Sama-sama, Pak." Karina pun pamit undur diri dari ruangan PradaPrada mengembuskan napas panjang selepas kepergian Karina. Padahal dia baru sehari menjadi CEO, tapi ada banyak sekali tugas yang harus dia kerjakan. Memimpin rapat, memeriksa laporan, dan bertemu dengan klien penting.Prada kembali memeriksa berkas yang ada di hadapannya. Baru beberapa me
Felia mengerjabkan kedua matanya perlahan ketika ranjang yang berada di sebelahnya bergerak. Tubuh wanita itu sontak menegang ketika sebuah tangan tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat.Felia pun berbalik. Mulut ibu satu anak itu sontak menganga lebar karena wajahnya berhadapan langsung dengan dada bidang Prada."Kak Prada!" Felia refleks membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangan. Dia nyaris saja berteriak karena Prada tiba-tiba ada di kamarnya. Untung saja dia punya pengendalian diri yang baik."Kak Prada kenapa tidur di sini?" Felia menatap Prada dengan jantung yang berdebar hebat. Dia selalu merasa deg-degan jika berada di dekat Prada."Ingin saja," jawab Prada sekenanya.Felia diam-diam mengulum senyum. Tanpa perlu bertanya pun Felia sebenarnya tahu alasan yang membuat Prada tidur di kamarnya malam ini. Prada pasti kecewa dengan Bimala yang pergi ke mall bersama Sean tanpa meminta izin darinya.Seharusnya Felia tidak boleh bahagia di atas penderiataan Bimala. Akan tetapi
Bimala kembali mencoba untuk menelepon Prada. Namun, Prada lagi-lagi mengabaikan panggilannya. Sepertinya Prada kali ini benar-benar marah pada dirinya.Wajar saja kalau Prada marah karena dia sudah mengingkari janji yang dia buat pada lelaki itu.Bimala pun mencoba menelepon Felia. Namun, Felia juga mengabaikan teleponnya sama seperti Prada.Entah apa yang sedang Prada dan Felia lakukan sekarang. Mereka pasti sedang bersenang-senang untuk merayakan keberhasilan Prada hingga tidak memedulikan telepon darinya.Detik demi detik berlalu, tidak terasa sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Prada dan Felia belum juga pulang. Telepon dan pesan yang dia kirim untuk mereka pun tidak ada yang dibalas. Padahal dia ingin tahu bagaimana kabar mereka.Bimala memandang lesu spageti buatannya yang tersaji di atas meja makan. Bimala ingin sekali makan karena perutnya sudah sangat lapar. Namun, dia memilih menunggu Prada dan Felia pulang agar mereka bisa makan malam bersama.Bimala tiba-tiba b
Prada mencengkeram setir mobilnya dengan erat. Wajah lelaki berusia tiga puluh tahun itu terlihat mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Prada merasa sangat marah sekaligus kecewa dengan Bimala.Prada mungkin bisa memaklumi alasan Bimala yang tidak bisa mendampinginya hari ini karena ingin membantu Ibu Panti. Tapi apa yang dia lihat barusan. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri Bimala pergi ke mall bersama Sean. Bimala bahkan tidak meminta izin pada dirinya sebelum pergi.Kenapa Bimala tega membohonginya? Apa Bimala tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"Sial!" desis Prada terdengar penuh amarah. Tanpa sadar dia menambah kecepatan mobilnya membuat seorang wanita bergaun merah muda yang duduk di sebelahnya ketakutan."Kak Prada ...," gumam Felia dengan suara gemetar. Jantung Felia berdetak cepat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman dengan erat karena Prada mengendarai mobilnya dengan sangat kencang.Felia sepenuhny
Suasana panti hari ini lebih ramai dari pada biasanya. Ada sebuah panggung kecil yang dihiasi balon warna-warni di tengah halaman. Beberapa buah meja dan kursi pun tertata rapi di depan panggung tersebut.Semua penghuni panti tampak sibuk menyambut tamu yang akan datang, begitu pula dengan Sean. Dia sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini untuk membantu ibu panti."Kevin, tolong taruh kursi ini di sana." Sean menyuruh seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun untuk meletakkan kursi di tempat yang dia tunjuk.Sean mengembuskan napas panjang setelah itu menegakkan tubuhnya. Sepasang iris hitam miliknya memperhatikan sekitar dengan lekat untuk memastikan kalau semuanya sudah siap. Hari ini panti asuhan kedatangan beberapa pelajar dari luar negri. Mereka datang untuk memberi edukasi serta bantuan untuk anak-anak."Semua sudah siap, Se?" tanya Ibu Panti."Sudah, Bu." Sean melihat jam tangannya. Ternyata sekarang sudah jam sebelas kurang sepulih menit.Sean pun meminta anak-anak