Hamparan bunga melati dan sedap malam menyambut penglihatan Lintang kala wanita itu membuka kaca jendela kamarnya. Semerbak wangi menyerbu hidungnya, begitu menenangkan. Matahari masih enggan keluar dari peraduan. Hujan deras semalam masih menyisakan udara dingin, yang perlahan menyusup dari celah teralis jendela yang gordennya tersingkap, menyapa lembut kulit Lintang, hingga dia harus menggosok kedua lengannya untuk memberi rasa hangat.
Berbalik menatap Gayatri yang masih tidur pulas di atas ranjang. Bayi itu sama sekali tidak terganggu dengan kokok ayam yang terdengar bersahutan. Lintang tersenyum tipis, berjalan mendekat, lalu menyelimuti tubuh mungil dan rapuh itu hingga batas dada. Gayatri sedikit menggeliat merenggangkan tangannya, hanya sebentar setelah itu kembali tertidur.Setelah memastikan putrinya kembali lelap. Lintang berjingkat menjauhi ranjang dan keluar. Berjalan menuju dapur, mendapati Mbak Murni telah berada di sana. Wanita itu terlihat sibuk mengaduk sesuatu di atas kompor. Lintang mendekat bermaksud membantu wanita paruh baya itu."Bikin apa, Buk?" tanya Lintang sambil melongok ke dalam panci.Murni menoleh sekilas seraya tersenyum. "Masak sup iga, kesukaan Mbak Lintang," jawabnya sambil memasukkan daun bawang ke dalam panci.Lintang tersenyum. Hatinya menghangat karena wanita itu masih mengingat makanan favoritnya. Apa lagi saat dia melihat di atas meja, telah tersaji segelas teh yang masih mengepulkan uap panas. Lintang mendekat ke meja makan dan mencium aroma jahe dan melati dari gelas tersebut."Ibuk juga udah buat teh jahe buat, Mbak. Ayo diminum, biar anget," ucap Murni sambil meletakkan sup yang telah matang ke atas meja."Makasih, ya, Buk. Masih ingat sama kesukaan Lintang," ucapnya tulus. Mata wanita itu memanas, membuat pandangannya mengabur karena bulir bening yang menggenang di pelupuk mata.Murni menghela napas panjang dan dalam, dia membimbing Lintang duduk di kursi yang ada di dekat meja makan. "Lintang itu sudah seperti putri Ibuk sendiri. Ibuk minta maaf waktu itu perginya kelamaan, pas balik rumah udah kosong. Tetangga yang ngasih tau, kalau Mbak diserahkan ke panti asuhan. Ibuk udah berusaha cari kamu, tetapi ngga ketemu," jelas Murni terdengar sengau. Sepertinya dia juga ikut menahan tangis.Tak urung air mata yang ditahan Lintang luruh juga. Ucapan Murni membuka kembali pintu ruang tergelap di hati yang telah dia segel lama, tempat di mana semua kenangan buruk terkurung, kenangan yang sangat ingin dia hancurkan dari ruang ingatan."Ibuk, Lintang kangen sama Ibuk, ayah, dan Mama." Akhirnya tangis itu pecah juga. Tanggul di mata Lintang tak mampu lagi menahan luapan sungai kecil yang sejak tadi hendak meruah.Murni segera memeluk tubuh Lintang yang gemetar. Membiarkan anak mantan majikannya itu menumpahkah semua luka yang luruh bersama air mata, meski dia belum menceritakan apa pun, tetapi Murni bisa merasakan perih yang sedang merajam hati wanita beranak satu itu."Sudahlah ... jangan menangis lagi. Tidak ada satu daun pun gugur tanpa ijin Tuhan, begitu pula semua kesedihan dan penderitaan, selalu DIA beri sesuai dengan kemampuan kita. Bersabarlah." Nasehat Murni sambil mengelus lembut punggung Lintang.Meski tak menjawab, tetapi dia bisa merasakan anggukan Lintang seiring pelukan yang mengetat, mungkin hanya itu yang dibutuhkan hati yang sedang terluka, sebuah pelukan hangat dan untaian nasehat penguat.*Selesai sarapan, Lintang kembali beranjak ke kamar, bermaksud melihat Gayatri. Biasanya bayi itu sudah bangun dan bermain sendiri dengan gelang kaki yang mengeluarkan suara gemerincing. Begitu membuka pintu, mata Lintang melebar seiring jantungnya yang berdentum keras. Putrinya itu terlihat mengejang di atas ranjang. Mata bayi itu mendelik ke atas dengan tangan terkepal. Sontak Lintang menjerit memanggil Murni dan Rima. Cepat dia menghampiri bayinya, lalu membopong keluar dengan raut panik. Panas menguar dari tubuh bayi delapan bulan tersebut, membuat Lintang tak tahu harus bagaimana."Ibuk! Tolong, Gayatri, Buk ... tolong!" seru Lintang kepada Murni dan Rima yang tergopoh menghampiri.Kedua wanita itu tak kalah panik. Rima segera meminta Murni mengantarkan Lintang ke rumah sakit menggunakan motor, karena hanya itu transportasi yang tersedia di panti. Sigap Murni mengemudikan motor menuju rumah sakit terdekat dengan Lintang membonceng di belakang. Tangis wanita itu semakin deras sambil memanggil nama sang putri. Pikirin buruk berbondong-bondong datang menghampiri benaknya. Lintang tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu dengan Gayatri.¤"Apa yang terjadi?!" seruan Arsen mengalihkan fokus Lintang dari ruang NICU. Tampak pria itu datang bersama Anita, membuatnya kembali memalingkan muka.Setelah Gayatri mendapat penanganan dari dokter, Lintang segera menghubungi Arsen. Walau bagaimanapun pria itu harus tahu keadaan sang putri. Sayangnya, kedatangan pria tersebut menambah tetesan asam di atas luka Lintang. Apa mereka sudah tinggal bersama sekarang? Pertanyaan itu menambah lagi sayatan luka di hatinya. Begitu mudah Arsen menggantikan tempatnya. Penyesalan yang ditunjukkan pria itu kemarin tidak terlihat sama sekali."Gayatri step, sekarang sedang ditangani dokter," jawab Lintang datar."Kenapa bisa step? Apa saja kerjaan kamu? Menjaga satu anak saja tidak becus?!" ketus Arsen membuat Lintang menoleh dengan cepat"Ngga becus? Aku juga ngga mau terjadi apa-apa sama Gayatri. Ini musibah," jawab Lintang serak. Belum hilang nyeri karena perbuatan Arsen, sekarang pria itu tega menuduhnya lalai. Sepertinya pria itu bukan Arsen yang dikenalnya, pria itu begitu banyak berubah tanpa dia sadari."Udahlah, kamu itu terlalu keras kepala. Coba kamu ngga ngotot minta cerai dan tetap di rumah, Gayatri bakal baik-baik aja," serang Arsen lagi, seakan belum cukup luka yang dia beri, lalu menambahkan satu hantaman lagi, membuat Lintang semakin terpuruk.Tubuh Lintang gemetar menahan emosi yang hendak meledak. Akan tetapi, dia berusaha menekan sangat dalam, mengingat rumah sakit adalah ruang publik dan dia masih cukup waras untuk tidak mempermalukan dirinya sendiri.Namun, luka yang masih berdarah kembali meradang mendengar kata-kata Arsen. Pria itu semakin leluasa menyudutkannya, seolah tak ada tersisa sedikit empati untuknya. Lupakah dia? Jika dialah yang menyulut api dalam rumah tangga mereka, dia yang berbuat curang, lalu bagaimana bisa Lintang akan diam begitu saja setelah mengetahui dirinya dibohongi habis-habisan."Lalu aku harus menutup mata atas perselingkuhan kamu, begitu? Membiarkan kalian menginjak harga diriku sebagai istri? Tidak! Aku masih sangat waras untuk tidak menerima pengecut dan pengkhianat sepertimu!" tolak Lintang dengan suara bergetar. Nyaris tubuhnya ambruk andai saja Murni tidak memeganginya. Wanita paruh baya itu hanya diam mendengar perdebatan kedua orang di hadapan, tetapi tidak untuk pria yang baru saja datang dan menatap kedua orang yang bersitegang tersebut."Siapa yang berkhianat, Lintang? Jelaskan pada, Papa!""Meski selalu terlihat baik-baik saja, aku tetaplah aku yang membutuhkan pegangan kala badai menggulung dalam ketidakberdayaan."==============Lintang menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangis wanita itu pecah kala menceritakan pengkhianatan sang suami di hadapan Handoko--Papa Arsen--Dia membuka kembali lembar demi lembar album pernikahan yang ternoda titik hitam, seperti mengiris perlahan hatinya yang sudah tidak utuh lagi. Wanita itu tidak baik-baik saja, meski beberapa hari ini dia mencoba tegar, mensugesti diri jika dia sanggup menelan pil pahit yang disodorkan Arsen.Nyatanya, dia tetaplah seorang wanita. Di balik pembawaannya yang tegas dan mandiri, Lintang amat sangat rapuh, jiwanya haus kasih sayang yang hilang sejak masa kanak-kanak. Bahtera yang dia harapkan terus mengarungi lautan, harus kandas terhempas puting beliung. Handoko yang mendengar cerita menantunya tersebut hanya diam seraya menatap tajam ke arah Arsen, yang berdiri mematung di hadapan sang papa. Be
"Luka mampu membuat seseorang terjatuh, lalu merasa tak punya masa depan. Namun, luka juga bisa menempa hati menjadi sekuat baja."=================Lintang menggedor pagar tinggi yang berdiri kokoh di depan rumah Handoko. Wanita itu terus berteriak hingga suaranya berubah serak. Setelah mendengar penolakan Lintang, Handoko memerintahkan satpam membawa wanita itu keluar dari rumahnya, pun Arsen. Pria paruh baya itu tidak mengijinkan Lintang membawa Gayatri, sebelum wanita itu merubah niatnya untuk bercerai. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula, begitulah hidupnya sekarang. Lintang terus berteriak, meski Murni berusaha menenangkannya. Wanita itu ikut menangis melihat kondisi Lintang yang berantakan. Dia hanya bisa memeluk tubuh wanita tersebut yang luruh ke tanah. Keduanya berpelukan sambil menangis sesugukkan, terdengar memilukan bagi siapa yang mendengar."Sudahlah, Mbak. Sebaiknya kita pulang. Gayatri aman di sini. Mbak juga harus pikirkan kesehatanmu?" bujuk Murni sambil menge
"Sabarlah hati. Jika kamu dilukai, artinya kamu masih perlu diuji agar tetap kuat menerima segala berkah di masa depan."===========Matahari bersinar sangat garang, seolah-olah ingin menyengat apa saja yang dia sentuh dengan cahayanya. Tak banyak orang berlalu-lalang di tengah teriknya yang terasa membakar kulit. Pun Lintang, wanita itu bahkan mengernyitkan dahinya saat silau menerpa kaca pelindung helmnya. Harusnya tadi pagi dia telah berada di rumah orang tuanya dan mengeluarkan Anita dari sana. Akan tetapi, perdebatan dengan Buk Rima memakan waktu yang cukup lama. Wanita itu menyayangkan kekeraskepalaan Lintang, dia menganggap Ibu Gayatri tersebut terlalu arogan dengan keputusannya, terlalu terburu-buru, sehingga memutuskan sesuatu tanpa berpikir jernih dan dalam.Namun, Lintang menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Baginya, kesalahan apa pun akan termaafkan, tetapi tidak sebuah perselingkuhan. Apalagi dengan jelas keduanya telah berzina. Adanya janin di rahim Anita membuktikan
"Kadang, tak cukup satu ujian untuk membuktikan kita pantas atau tidak menerima berkah. Tetapi, ikhlas menerima semua cobaan dan meyakininya sebagai cara Tuhan menyayangi kita."==============Lintang membiarkan sepoi angin membelai rambutnya perlahan. Tatapan wanita itu jatuh pada gulungan mega yang terbias warna saga. Sang bagaskara begitu congkak memamerkan pesonanya pada semesta, selalu saja begitu kala dia hadir ataupun tenggelam. Dia mampu membuat seluruh mata tertuju padanya kala melukis selarik warna jingga di ujung cakrawala.Suara ombak terdengar keras menampar batu karang yang berdiri kokoh, asin laut terasa menyerbu indera penciuman dan meninggalkan rasa lengket di pipi Lintang. Wanita itu menggenggam kunci rumah yang diserahkan Arsen dengan terpaksa. Dia berhasil mendapatkan rumah peninggalan orang tuanya kembali. Dengan tatapan kemarahan Anita, dia meninggalkan kedua orang yang kemudian bersitegang tentang di mana Anita akan tinggal. Dia tak mau tahu apa pun perdebatan k
"Hatiku tak pernah mengenal kata benci, tetapi kau melukai dengan kejam. Kau tanamkan di dadaku sesuatu yang disebut dendam."=============Gedung berlantai tiga tersebut terlihat menyolok di antara bangunan lainnya. Bercat kuning gading dengan tempelan batu alam di empat tiang penyangga canopy, membuat gedung itu terlihat unik. Di pintu masuk bisa dilihat banner yang bertuliskan ucapan selamat datang dan sebuah boneka kucing berwarna emas yang menggerakkan tangannya, seolah memanggil orang-orang datang. Lintang tersenyum melihat mimik lucu boneka tersebut. Memang dialah yang mengusulkan meletakkan boneka plastik itu di sana, selain lucu, menurut kepercayaan orang Cina, kucing emas tersebut penarik rejeki. Awalnya hanya sebuah miniatur, tetapi ketika berjalan-jalan di sebuah mall, tanpa sengaja melihat dan langsung membelinya.Begitu masuk ke dalam gedung, beberapa karyawan percetakan yang mengenal Lintang menganggukkan kepalanya hormat. Mereka rata-rata sudah bekerja selama tiga tah
"Kita tak bisa mengira seperti apa masa depan. Namun, bisa merencanakannya dengan baik dan pemikiran matang, selanjutnya ... biar Tuhan yang putuskan."=================Lintang menuruni tangga dengan tergesa. Air mata yang dia tahan sejak tadi luruh juga. Wanita itu tidak mengira Arsen tega melakukan semuanya. Pengkhianatan, sandiwara, dan merebut sesuatu yang harusnya menjadi miliknya. Entah di mana Arsen meletakkan nuraninya. Tidakkah pria itu ingat apa yang telah dia korbankan untuk sampai di titik ini? Arsen tahu dengan jelas bagaimana dia jatuh bangun merintis usaha tersebut. Beberapa kali hampir tutup karena orderan yang masuk tidak seberapa, tetapi biaya operasional bangunan tetap harus dikeluarkan. Kalah saing dengan percetakan besar lain yang lebih lengkap sarananya. Namun, itu semua tak menyurutkan semangat Lintang. Mentalnya yang telah terasah mandiri dan kuat sejak kecil, terus menerus mencari cara untuk menutupi semua pengeluaran. Beruntung dia tidak membayar sewa gedu
"Kita harus bagaimana, Murni? Keuangan panti memprihatinkan. Kita tidak mungkin membiarkan anak-anak itu kelaparan. Belum lagi tunggakan listrik. Sejak Pak Handoko tidak lagi menjadi donatur kita, semua kesulitan datang silih berganti. Donatur yang lain juga mengurangi sumbangannya."Murni hanya diam mendengar keluhan Buk Rima. Dia menatap iba pada wanita yang mulai menua itu. Mendedikasikan hidupnya demi menjaga anak-anak terlantar, lalu mencarikan keluarga yang lebih layak agar anak-anak tersebut bisa mencecap bahagia, merasakan memiliki keluarga utuh.Murni adalah saudara jauh Buk Rima. Setelah semua anaknya menikah dan mengikuti suami mereka, Murni merasa kesepian. Dulu dia terbiasa menjaga Lintang kecil, tetapi sebuah keadaan memaksa mereka berpisah. Akan tetapi, takdir berkata lain saat mempertemukan mereka kembali di panti asuhan tempat Lintang dibesarkan. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Di saat dia mencari bocah cilik itu, Lintang justru tinggal di tempat saudaranya sendiri
"Hadirmu seperti silir angin yang tentramkan hatiku. Basuh semua luka ini. Namun, aku terlalu takut untuk bahagia, karena dia tak pernah tertulis di garis tanganku."===============Andai kematian itu bisa diminta, maka Lintang akan sukarela menjadi orang yang pertama melakukannya. Andai bunuh diri itu bukan sebuah perbuatan laknat, maka wanita itu sudah melakukannya sejak dulu. Andai ... benak wanita itu kini dipenuhi banyak perandaian. Lintang berjalan tertatih menyusuri trotoar. Langkahnya tak tentu arah, tangannya menyeret koper terasa lemah. Kebakaran yang menghanguskan rumah kedua orang tuanya menghancurkan hati dan harapan Lintang. Menurut tetangga sekitar, kebakaran itu terjadi akibat korsleting listrik dari gudang mebel yang berada di sebelah rumahnya. Api dengan cepat membakar karena jalan gang yang dilalui cukup sempit untuk dilalui mobil pemadam kebakaran, hingga petugas kesulitan memadamkan api. Personel DAMKAR itu harus mengambil jalan memutar agar bisa mencapai rumah L