Aku masih ingat betul dengan jaket hitam ini. Bahkan wanginya pun sama dengan yang di pakai pria brengsek itu.Ya Allah, Mas Aidil.....Segera kulipat kembali jaket itu lalu aku letakkan di atas kasur. Aku ingin menanyakannya langsung kepada si empunya barang agar tidak menimbulkan fitnah.Jarum jam sudah menunjuk ke angka enam sore. Azan Magrib juga sudah berkumandang di semua masjid. Bergegas diri ini menggelar sajadah dan bertafakur diri karena hati sedang kalut saat iniTidak, aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap suamiku. Jaket semacam ini itu banyak sekali dijual di pasar. Mas Aidil tidak mungkin berbuat hal sebejat itu.“Duh, Intan. Kenapa kamu jadi seperti ini, tidak tahu diri sekali. Sudah di tolong, sekarang malah mau menuduh Mas Aidil yang bukan-bukan,” aku mengutuki diri sendiri.“Assalamualaikum, Sayang,” sapa Mas Aidil seraya membuka pintu.“Waalaikumsalam!” Aku segera bangkit dengan susah payah karena perut ini sudah semakin membesar.“Kamu sudah sholat, Mas?”“Su
Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku pulang ke rumah. Sudah rindu sekali diri ini menghirup udara pagi di pekarangan rumah Mas Aidil yang penuh dengan bunga-bunga. Bosan jika harus berlama-lama di rumah sakit dan mencium aroma obat-obatan terus.Mas Aidil memapahku masuk ke dalam mobil lalu meletakkan bantal di belakang kepala. Aku menatap wajah teduh laki-laki itu. Dia terlihat begitu tampan dan sempurna.“Maafkan aku, Mas,” ucapku seraya melingkarkan tangan di pinggang Mas Aidil.“Maaf untuk apa?” Dia mengusap pipiku lembut.“Karena aku sudah berprasangka buruk kepadamu. Tadinya pas aku baru nemuin jaket kamu di lemari, aku langsung berpikir kalau kamu lah orang yang sudah menodaiku!” ungkapku jujur.Dua bulir air bening mulai menyembul dari sudut mata laki-laki itu.“Sekali lagi aku minta maaf, Mas!” kata itu kembali kuucapkan.Mas Aidil masuk ke dalam mobil dan segera menyalakan mesinnya. Wajahnya memerah, mungkin dia marah, tersinggung, serta ti
“Kamu tidak usah takut sama aku, Intan. Aku bukan orang jahat!” ucap Kak Radit seraya terus mendekat.“Ka–kakak mau ngapain?” tanyaku tergagap, sungguh takut luar biasa.“Sudah aku bilang tidak usah takut, aku tidak akan menyakiti kamu!”“Bagaimana aku tidak takut, Kak. Kakak itu salah satu pelaku pemerkosa Mbak Lubna. Apa salah jika sekarang aku juga takut sama kakak?”“Kamu berbeda dengan Lubna, Intan. Kamu itu istimewa. Aku melakukan itu karena sakit hati kepada dia. Dia terus saja menyakitiku. Dia sudah menghianati cinta yang aku jaga selama bertahun-tahun.Dia bilang kalau dia sangat mencintaiku, tetapi dia memilih Aidil sebagai suaminya dan mengakhiri hubungan kami. Dia juga menghinaku, katanya aku itu impoten dan mandul. Maka dari itu aku ingin membuktikan kepada dia kalau aku tidak loyo seperti ucapannya.”“Jadi, Mbak Lubna itu mantan kekasih kamu, Kak?”“Iya, tetapi dia pindah ke kota ini setelah menikah dengan Aidil. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengannya dan menanyaka
“Bagaimana keadaan Intan, Aidil?” Terdengar suara ibu menanyakan keadaanku.Tidak lama kemudian wanita berhijab panjang lebar itu masuk menemuiku. Wajah Ibu dan Mas Aidil terlihat gelisah, begitu pula dengan diri ini yang sejak tadi sudah tidak bisa lagi berpikir dengan tenang.“Sakit ya, Nduk?” tanya Ibu seraya mengusap kepalaku kemudian mencium kening ini sambil menitikkan air mata.Kugenggam tangan Ibu erat, meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat.Entahlah, rasa sakit yang sedang aku rasakan membuatku merasa takut jika ini adalah jalan menghadap Sang khalik.“Intan nggak punya salah sama Ibu. Intan anak baik, Intan menantu Ibu yang paling sholehah.” Ibu berujar sambil sesekali menyeka air mata di pipi keriputnya.Andai saja keadaanku sedang tidak seperti ini. Tentu aku sudah turun dari ranjang dan langsung bersimpuh di pangkuan Ibu mertua. Akan tetapi keadaanku sedang tidak berdaya. Bahkan dokter melarangku supaya tidak banyak bergerak, sebab takut kehabisan air k
Intan masih saja menutup matanya, padahal sudah hampir dua belas jam dia keluar dari ruang operasi. Aku sangat takut kehilangan dirinya, terlebih lagi aku belum mengatakan kepada Intan kalau akulah laki-laki bejat yang sudah mematahkan sayap-sayapnya.Kuusap wajah ini sambil terus menata perasaan yang semakin terasa kacau juga selalu diliputi rasa bersalah karena sudah membuat Intan selalu dibayangi mimpi buruk.Jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Aku menyenderkan kepala di bibir ranjang karena rasa kantuk yang sudah tidak dapat lagi aku tahan, namun baru beberapa menit memejamkan mata terdengar suara Intan memanggilku. Bahagia sekali rasanya karena akhirnya kekasih hatiku membuka mata.“Tolong rahasiakan asal-usul dedek bayi, jangan sampai ada yang tahu kalau dia anak hasil perkosaan. Aku nggak mau dia diolok-olok oleh teman-temannya nanti!” Sungguh kata itu bagai belati yang menghunus tepat di hati. Sakit, perih hingga hampir menghentikan denyut nadi.Dia yang sedang be
"Kalian berdua keramas?" tanya Ibu seraya menyipitkan mata, membuat wajah ini seketika bersemu merah."I–iya, Bu!" jawabku malu-malu.Seulas senyum tergambar di wajah Ibu yang masih terlihat cantik. Aku melirik ke arah Mas Aidil yang juga terlihat salah tingkah.Ibu kemudian masuk ke dalam kamar kami dan mengambil Arkana untuk dimandikan.Setelah selesai dimandikan serta dipakaikan baju, aku segera menyusui bayi berusia dua bulan itu hingga putraku kembali terlelap."Doyan bobok anak Ayah!" ucap Mas Aidil sembari mengusap punggung tangan mungil Arkana. Dia lalu mencubit pipiku karena merasa gemas dengan putranya."Kok aku yang dicubit?" rajukku sembari mengerucutkan bibir.Mas Aidil terkekeh melihat ekspresiku, kembali mencubit pipi ini dan mendaratkan sebuah ciuman di bibir."Malu, nanti dilihat Ibu," bisikku, mencubit pinggang laki-laki itu."Ibu lagi serius baca, nggak bakal liat!" sahut Mas Aidil sambil mengerling nakal."Aidil, buka pintu!" Terdengar suara seseorang berteriak di
Tiba-tiba jantung ini terasa seperti diremas-remas, sakit sekali. Kenapa Mas Aidil tidak menghubungiku dan meminta izin terlebih dahulu. Biar bagaimanapun aku ini kan istrinya.Bergegas diri ini masuk ke dalam kamar, menumpahkan segala lara di sanubari sambil meremas dada yang terasa sakit serta sesak membayangkan orang yang paling aku cintai sedang mengucap ikrar janji suci pernikahan dengan wanita lain. Sungguh rasanya hati ini bagai tercabik-cabik. Sakit tak terperi.Aku terus memandangi Arkana yang sedang terlelap di atas tempat tidur. Kuciumi putraku itu, sambil terus menyeka air mata yang terus saja mengalir tanpa henti.“Kuat, Intan. Kamu harus bisa menerima semua ini. Aidil sudah mau menerima segala kekuranganmu, sekarang biarkanlah dia bahagia bersama wanita itu!’” Aku bergumam sendiri dalam hati, memberi motivasi untuk diri sendiri.Namun, walaupun aku berusaha ikhlas, hati ini tetap sakit sekali rasanya. Ditambah lagi nomor ponsel Mas Aidil sulit sekali dihubungi. Hatiku be
“Mumpung Arkana anteng sama Ibu, Tan. Kita kikuk-kikuk dulu sebentar!” rayunya lagi.“Tadi katanya kamu kangen sama Mas?” Dia membuka mata dan menatapku nakal.“Sebentar lagi magrib, Mas. Aku juga belum mandi. Badanku masih bau asem!”“Kan biar sekalian mandinya, Tan. Mas juga mau mandi.” Pria berhidung bangir itu terus merengek membuat diri ini tidak tega dan akhirnya mengalah.Membuka pintu kamar mandi, membersihkan bagian-bagian tertentu dan segera mengambil wudu. Setelah membaca niat mandi besar, langsung kusiram kaki sebelah kanan lalu sebelah kiri, naik ke bagian perut, dada kemudian menyiram kepala.“Aku gosok punggung kamu ya, Tan?” tanya Mas Aidil tiba-tiba mengagetkanku.“Kamu kok di sini, Mas?” Aku mengernyitkan dahi.“Emang nggak boleh?”“Boleh, sih. Tapi aku nggak denger kamu masuk!”“Nglamun mulu sih!” Pria bertubuh atletis tersebut kemudian menggosokkan sabun di punggung serta leherku.Azan magrib sudah berkumandang bersahut-sahutan di semua musala dan juga masjid dekat