Share

Bab 3

Wanita yang Mencuri Hati Suamiku

Part 3

"Aku pulang, ya. Maaf kalau kedatanganku mengganggu kamu."

"Kok kamu ngomong begitu?" Attar menatap Nada tak suka. Dari nada bicaranya, Attar tahu istrinya tengah kecewa karena ia tak acuhkan dari semalam.

"Soalnya kamu diam terus, gak seperti biasanya. Kamu juga kayak gak suka aku datang. Padahal, aku sengaja membawakan makan siang sebagai permintaan maafku karena kejadian semalam."

Attar menghela napas kasar. Melihat wajah Nada yang murung seperti itu, hatinya seketika merasa bersalah. Ia pun tak tahu mengapa bisa bersikap demikian. Padahal, kejadian seperti semalam bukan hal yang pertama. Nada sudah terlalu sering mengatakan jika ia belum siap memiliki anak, dan Attar selalu mencoba untuk mengerti dan tidak mempermasalahkan. Namun sekarang, ia merasa kesal pada istrinya hingga mengabaikannya. Apakah karena ia sudah terlalu lelah?

"Maaf, aku hanya sedang banyak pikiran." Attar mendekati Nada dan meraih jemari istrinya untuk digenggam. "Maaf, ya," ucapnya lagi.

"Karena semalam, kan? Kamu masih marah?"

"Sedikit. Tapi memang aku sedang ada masalah soal kerjaan. Maaf kalau jadi berimbas ke kamu," ujarnya sedikit berbohong. Tak apalah, Attar tidak ingin terjadi lagi perdebatan dengan istrinya karena hal yang sama.

"Sungguh, kamu sudah gak marah?"

"Sungguh." Attar mengangguk yakin. "Aku sayang sama kamu. Mana bisa kalau marah lama-lama," imbuhnya yang membuat Nada tersenyum lega.

"Aku juga sayang banget sama kamu. Maaf ya, kalau aku sudah sering mengecewakan. Aku janji, setelah kontrak kerjaku selesai, aku lebih fokus di rumah dan siap hamil. Kamu bisa sabar sedikit lagi, kan?" Nada menatap Attar penuh harap. Semoga saja Attar bisa memaklumi permintaannya.

"Tentu. Aku akan sabar nunggu kamu siap," jawabnya mencoba mengulas senyum. Attar tidak tahu apa yang ia katakan barusan memang tulus atau tidak. Tapi yang jelas, dirinya merasa jengah dengan pembicaraan yang sama dan berujung dirinya lah yang harus mengalah.

"Ngomong-ngomong, sudah berapa lama Naura jadi sekretaris kamu?" Nada mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia teringat Naura yang entah mengapa, saat melihat Attar menatap wanita itu, tatapan suaminya sedikit berbeda.

"Dua bulan lebih."

"Kok aku ngerasa dia kamu istimewakan."

"Maksud kamu?"

"Ya ... kalian makan siang berdua di ruangan ini. Setahuku, sekretaris kamu sebelumnya tidak pernah mendapat perlakuan istimewa seperti itu. Kecuali, menemani makan siang di luar setelah menemui klien. Tapi kalau Naura, menemani kamu makan di sini juga," papar Nada yang membuat tubuh Attar sedikit menegang. Memang, selama ini Attar tidak pernah meminta sekretarisnya untuk menemaninya makan di ruangannya, tetapi untuk Naura tentu berbeda. Entah mengapa, Attar selalu ingin berdekatan dengan wanita itu. Bersama Naura, Attar mendapatkan kenyamanan, mungkin karena itu lah alasannya.

"Cuma kebetulan saja. Tadi aku pesan makan siang dua porsi. Jadi, ngajak dia sekalian," kilah Attar.

"Terus, harus makan di sini bareng kamu?" kejar Nada.

"Sudahalah, Nad. Kok kamu jadi bahas Naura? Aku gak mau kita betengkar lagi cuma karena hal sepele seperti itu."

"Oke, maaf." Nada mengalah. "Aku cuma takut kamu suka sama dia."

"Kamu jangan berpikiran sampai sejauh itu. Mana mungkin aku duain kamu." Attar melunak. Ia raih tubuh Nada untuk didekapnya. "Jangan berpikiran macam-macam. Aku cuma cinta sama kamu."

Nada mengangguk dalam dekapan Attar. Ia berusaha mempercayai ucapan suaminya, meskipun entah mengapa, hatinya masih tidak terima.

"Aku pulang dulu, ya. Kamu kan harus kerja, takut ganggu."

"Aku antar sampai ke lobi," tawar Attar.

"Oke."

Mereka pun keluar dari ruangan Attar, berjalan berdampingan menuju lift. Sampai di sana, ternyata Naura sudah lebih dulu masuk dan menggeser tubuh untuk memberi ruang pada Attar dan istrinya.

Nada mengulas senyum pada Naura yang menyapanya. Attar sendiri memilih berusaha abai akan kehadiran sekretarisnya itu.

Suasana di dalam lift terasa canggung. Nada heran melihat Attar yang diam saja, tidak seperti biasanya. Apa mungkin karena ada Naura? Nada makin dilanda rasa curiga.

Mereka masih berada dalam keheningan. Sampai ... lift tiba-tiba saja berhenti dan lampunya padam. Naura menjerit, Attar pun refleks memeluknya yang terlihat ketakutan.

"Naura, kamu baik-baik saja?"

Naura tidak menjawab. Hanya keringat dingin yang keluar dan napasnya yang tersengal.

"Naura, kamu tenang. Jangan panik."

Attar melonggarkan pelukan, mengusap keringat yang mengalir di wajah wanita itu."

"S-saya takut, Pak. S-saya takut gelap."

"Oke, kamu tenang, ada saya di sini. Kamu pasti baik-baik saja."

Attar mengelus punggung Naura dan mengecup rambut wanita itu berkali-kali. Mengucapkan kata-kata penenang agar Naura tidak ketakutan lagi.

Attar tidak sadar, sedari tadi Nada melihat setiap perlakuannya pada Naura. Yang seperti ini, masihkan dikatakan tidak istimewa? Perhatian Attar terlalu berlebihan. Bahkan, ia sampai melupakan istrinya yang saat ini juga tengah ketakutan.

*

*

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status